Part 12. What a feeling

1547 Words
Hasil tidak pernah menghianati usaha -- dhani perdana-- *** Kegiatan Dhani setelah hari minggu kemarin Naya meresmikan hubungan mereka, adalah bangun lebih pagi untuk menjemput sang kekasih. Ia tersenyum ... Naya sudah resmi menjadi kekasihnya. Jangan tanya bagaimana perasaan Dhani setelah sekian lama sabar, menunggu Naya mau membuka hati untuknya. Berbagai usaha ia lakukan untuk mendekati gadis yang sudah lama membuatnya bertekuk lutut. Bukan hal mudah memenangkan hati gadis itu. Terbukti setelah lebih dari 10 tahun baru dia bisa bernafas lega. Naya gadis yang setia dengan komitmen yang sudah dibuatnya. Bahkan ketika Abi, yang saat itu masih berstatus kekasihnya menghilang tanpa ada kabar, Naya masih memegang teguh komitmen bersama Abi. Tidak goyah dengan segala bentuk perhatian yang ia berikan. Maka saat Naya akhirnya bersedia menerimanya sebagai kekasih, ingin rasanya ia melompat-lompat saat itu juga. Untung saja logika masih berteman baik dengannya, hingga ia urung melakukannya didepan Naya. *** Pagi ini, ia sudah siap berangkat menjemput Naya. Disambarnya kunci mobil dan dompet diatas nakas sebelah tempat tidurnya. Ia segera melangkah keluar kamar, turun ke lantai 1 untuk kemudian keluar pintu utama. Setelah mengunci pintu, kakinya melangkah ke samping rumah, tempat mobil taruna merahnya berada. Mobil yang sudah dikendarainya sejak 2001. Ia sudah berfikir untuk mengganti mobilnya setelah 9 tahun, tapi belum sempat terealisasi ketika ia memilih untuk membangun sebuah rumah terlebih dahulu. Diusianya yang hampir 30 th, dia sudah harus mempersiapkan semua untuk keluarganya kelak. Keluarga yang diimpikan ada Naya didalamnya. Dan kini saat mimpinya itu terlihat ada di depan mata, ia bersyukur karena sudah memiliki rumah, yang meskipun tidak terlalu besar, tapi terasa nyaman untuknya. Rumah dua lantai yang ia design sendiri dengan bangga. Ia akan segera mengajak Naya melihat rumahnya. Meminta pendapat gadis itu jika ada bagian yang ingin ia rubah. Semalaman Dhani bahkan tidak bisa memejamkan mata. Perasaan terlalu bahagia dengan jantung yang terus berdebar kencang membuat matanya enggan menutup. Akhirnya semalaman ia memilih mengerjakan pekerjaannya ditemani secangkir besar kopi. *** Naya duduk didepan meja riasnya. Menyisir rambut coklatnya lalu mengikatnya keatas. Mengoleskan foundation dan sedikit bedak tabur diwajahnya. Polesan terakhir lipstik oren yang dipilihnya agar senada dengan kemeja pendek yang dipakainya. Hari senin selalu menjadi hari yang kurang disukai Naya, namun hari ini sedikit berbeda saat ia mengingat perubahan statusnya. Ia sudah bukan lagi jomblo, dan sudah bertekat membuat hubungannya dengan Dhani berhasil. Dia akui belum mencintai pria itu, tapi rasa sayang sudah ada. Dhani juga pria baik, dan dia membenarkan kata-kata sahabatnya, bahwa Dhani layak mendapatkan kesempatan. Ia berdiri, memperhatikan penampilannya sekali lagi. Kemeja lengan pendek warna orennya ia padukan dengan celana denim putih 7/8. Memilih sepatu berhak 5 cm warna putih dan tas kerja warna hitam, Naya keluar kamar kos nya. Ia akan menunggu Dhani di bawah. Baru saja ia sampai di lantai satu rumah kos, matanya sudah menangkap mobil Dhani yang memasuki halaman rumah kos. Ia mempercepat langkahnya supaya Dhani tidak perlu turun dari mobil. *** Dhani yang melihat Naya keluar dari rumah kos, mengurungkan niatnya untuk parkir. Ia memundukan mobilnya lalu berputar kembali. Berhenti sejenak menunggu Naya naik ke mobil, lalu segera melajukan kembali kereta besinya. " Udah sarapan?" Tanya Naya setelah duduk nyaman di samping Dhani. Dhani menggeleng, menengok Naya sesaat lalu kembali fokus ke depan. " Belum sempat. Entar di kantor aja minta tolong OB beliin." Naya membuka tas nya, lalu mengeluarkan tepak berwana biru, meletakkannya diatas dashbord. " Tadi aku bikin sandwich. Entar dimakan buat ganjel perut dulu biar nggak masuk angin karena telat makan."  Dhani menoleh, tersenyum. " Thank you sayang." Naya membalas senyum Dhani, merasakan jantungnya mulai berdesir dan berdetak cepat. Desir yang terasa menyenangkan. *** 15 menit mobil Dhani sudah berhenti didepan lobi perusahaan tempat Naya bekerja. Naya melepaskan sabuk pengaman, memiringkan duduknya menghadap Dhani. " Makasih ya Dhan udah diantar." Dhani menarik pelan bahu Naya, memajukan kepalanya untuk mencium kening kekasihnya. " Selamat bekerja, yang semangat kerjanya." senyum terbit dibibirnya. Naya mengernyit. Dia baru sempat memperhatikan Dhani. " Mata kamu kenapa?" Tangan kanannya bergerak mengusap bawah mata Dhani. " kok bengkak" lanjutnya. Dhani memegang tangan Naya yang sedang mengusap wajahnya, memberikan Naya senyum terbaiknya. Pandangan matanya teduh menatap Naya " Nggak bisa tidur." " Kenapa?" Mata keduanya masih saling tertaut. " Terlalu bahagia. Serasa mimpi buat aku Nay, dan aku nggak pengin bangun dari mimpi indah itu." Naya tersenyum, mengusap pipi kekasihnya dengan tangan Dhani yang masih menangkup tangannya. " Bukan mimpi. Terima kasih sudah bersabar menghadapiku."  Dhani membawa turun tangan Naya, menggenggamnya erat. " Aku mencintaimu ... sangat mencintaimu." Naya terhenyak. Apa yang harus ia katakan. Berbohong bahwa ia juga mencintainya, atau jujur dengan bilang bahwa perasaannya belum sejauh itu. Beberapa detik terlewat tanpa menjawab, akhirnya Naya lebih memilih melempar tubuhnya untuk memeluk Dhani, berbisik ditelinga pria itu " Terima kasih sudah mencintaiku sebesar itu. Tolong jangan pernah melepaskanku." Dhani mencium kepala Naya " Tidak akan." Suara klakson mobil dibelakangnya membuat Naya dan Dhani sama-sama melepaskan pelukan mereka. Saling tersenyum sebelum Naya akhirnya turun dari mobil. " Hati-hati di jalan. Kabari kalau sudah sampai kantor." pesan Naya yang diangguki Dhani sebelum pria itu kembali melajukan mobilnya keluar menuju tempatnya bekerja. *** " Pacar baru Nay?" Seli yang baru saja memarkirkan mobilnya mensejajari langkah Naya memasuki lobi. Naya mengangguk malu-malu. " Happy for you." ungkapnya sambil tersenyum, dan menepuk punggung bawahannya. Mereka berjalan bersama menaiki tangga menuju lantai dua. " Udah nggak kontak sama Alka dan putrinya?" Pertanyaan Seli membuat Naya menghitung, sudah berapa lama dia tidak berbicara lewat telpon dengan gadis yang sebentar lagi akan berusia 6 tahun itu. Terakhir bertemu adalah saat pentas seni di sekolah mekka. Waktu itu akhirnya Naya memutuskan datang sesuai permintaan gadis kecil itu. Alka menjemputnya dibandara lantas membawanya mendatangi sekolah Mekka. Melihat binar mata Mekka saat melihat dia datang membuat hati Naya menghangat. Gadis itu berteriak heboh memperkenalkan Naya kepada teman-teman dan juga gurunya. Sungguh Naya merasa kasihan pada anak itu. Mekka tidak pernah mendapat kasih sayang dari seorang Mama. Waktu itu bahkan Naya sempat berpikir menyalahkan Alka dalam hati. Seharusnya pria itu menikah lagi, untuk memberikan sosok Ibu pada putri semata wayangnya. Bukankah akan lebih mudah memberi sosok ibu baru saat putrinya masih bayi?. Tapi kemudian ia sadar tidak punya hak menghakimi orang lain. Mungkin Alka punya alasan kuat kenapa lebih memilih membesarkan mekka sendiri sebagai single parent.  " Udah lumayan lama nggak ada kontak sih mbak." jawab Naya ketika ia sadar belum menjawab pertanyaan seli. " Oh ya ?" Seli agak terkejut mendengar jawaban Naya. Dia pikir Naya masih dekat dengan Alka dan putrinya. " Alka udah putus sama teman kuliah mbak. Mbak pikir karena dia dekat sama kamu Nay." Naya menghentikan langkah, matanya membulat menatap Seli. " Kok mbak bisa kepikiran  Naya yang jadi penyebab putusnya mereka sih mbak ? Naya aja nggak tahu kalau mereka putus." dumelnya. " Bukan gitu Nay. Jangan tersinggung. Sebelumnya teman mbak cerita kalau putri Alka tidak menyukainnya. Anak itu sering menyebut tante Nana saat bersamanya. Mbak sih nggak omong apa-apa ke dia. Tapi mbak tebak tante Nana yang bocah itu maksud pasti kamu." Seli melanjutkan langkahnya setelah mengatakan itu. Sementara Naya masih terdiam. Merenung apa benar secara tidak langsung ia yang menjadi penyebab putusnya Alka dengan kekasihnya. Karena putrinya lebih menyukai dirinya dibanding kekasih papanya. Itu sebabnya beberapa minggu ini Mekka tidak meneleponnya. Sang Papa mungkin kesal dan sedang berusaha menjauhkan Mekka darinya. Beberapa spekulasi melintas dikepala Naya. " Heh ... jangan melamun ditengah jalan."  Naya berjengkit ketika sebuah tepukan mendarat dibahunya. Pak Amin yang bekerja dibagian akunting berjalan mendahuluinya. Naya segera bergerak melanjutkan langkah menuju meja kerja yang selama ini ditempatinya. *** Naya gelisah. Ia mencoba fokus mengerjakan pekerjaanya, tapi pikirannya tetap bercabang kemana-mana. Bayangan wajah sedih Mekka melintas didepan mata. Ia mengambil handphone lalu mengutak-atik sebentar. Mengetik beberapa kata sebelum kembali meletakkannya di meja. Pandangannya terarah ke depan komputer. 'Fokus Nay ... fokus. kerja' bisiknya pada diri sendiri. Menghembuskan nafas panjang lalu jari-jarinya mulai bekerja. Beberapa kali matanya melirik kearah benda persegi yang tergeletak diatas meja. Masih belum ada balasan dari Alka. Benar. Naya memang memutuskan untuk mengirim pesan pada Alka. Menanyakan kabar Mekka. Perasaan yang tidak tenang memaksanya memberanikan diri untuk lebih dahulu menghubungi pria itu. Sudah dua jam dari saat pesan terkirim, bahkan Alka masih belum membalasnya. Naya kesal, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Dia belum memiliki keberanian untuk menelepon Alka terlebih dahulu. Ia menggerak-gerakkan lehernya yang terasa pegal. Telepon di mejanya berdering. Secepat kilat Naya mengangkatnya. " Halo" " Ayo maksi Nay." Rara, salah satu squad makan siang Naya yang menghubungi. Matanya melirik jam dinding. Ternyata sudah waktunya makan siang. "Oke" jawab singkat Naya kemudian kembali meletakkan gagang telpon ke tempatnya.  Naya hendak berdiri dari kursinya ketika benda persegi yang sedari tadi membuatnya gelisah berbunyi. Segera ia sambar benda itu. Jarinya bergerak cepat membuka pesan yang masuk. " Mekka baik Nay. Kemarin sempat demam beberapa hari, tapi sekarang sudah sehat." Naya mendesah lega. Bersyukur mengetahui keadaan Mekka baik-baik saja. Tangannya terulur meletakkan kembali handphone ke atas meja. Namun urung ketika kembali terdengar notifikasi pesan masuk. Ia kembali menarik benda itu mendekat dan membukanya. " Saya masih di singapura. Sudah hampir dua minggu. Itu sebabnya Mekka belum menghubungimu." Naya menajamkan penglihatannya. Membaca pelan-pelan setiap kata yang tertulis. Bibirnya menyunggingkan senyum. Lalu yang Naya tahu hatinya terasa menghangat. Ia senang mengetahui bahwa Alka tidak dengan sengaja menjauhkannya dari Mekka.  Perasaan apa ini, batin Naya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD