BAB 23. Menggali Kenangan

1124 Words
“Loh, itu Mba Alananya datang!” seru Mang Karim sambil mengaduk-aduk nasi goreng yang sedang ia masak. Kepala Andra menoleh kearah yang Mang Karim lihat. Dan Andra menelan ludahnya berat, saat ia juga melihat Alana yang terkejut melihatnya. Sepertinya Alana juga hendak menghampiri gerobak Mang Karim. “Wah, memang yang namanya feeling seorang istri itu tidak pernah salah ya. Tahu saja Mba Alana kalau suaminya sedang nongkrong di dekat gerobak saya,” ucap Mang Karim lagi yang seakan tidak ada habisnya menggoda mereka yang tanpa Mang Karim tahu, adalah sudah bukan lagi suami istri. Alana memilin jemarinya semakin mendekat. Sedangkan Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan. Sambil Andra berdecak dalam hati. ‘Ah, sialnya! Kenapa juga aku harus bertemu dengan Alana di sini?’ batin Andra. “Mba Alana apa kabar? Sudah hampir sepuluh tahun tidak bertemu tapi Mba Alana terlihat semakin ayu saja.” Alana menunduk tersenyum kecil mendengar sapaan Mang Karim. “Terimakasih, Mang. Engh, aku ke sini mau pesan nasi goreng. Masih ada ‘kan, Mang?” tanya Alana. “Aduh, nasinya habis, Mba Alana. Pesanan Mas Andra ini penghabisan. Kenapa Mba Alana tidak makan berdua saja dengan Mas Andra. Kan biar lebih romantis gitu. Biar kayak dulu lagi, makan sepiring berdua di dekat gerobak saya.” Mang Karim melemparkan senyum penuh godaan pada Alana dan Andra. Namun kedua orang yang digoda itu justru malah mengalihkan wajah mereka salah tingkah. Andra mengusap tengkuknya. Dan diam-diam pandangannya terangkat, dan ia melihat Alana dengan ujung matanya. Dilihatnya wanita itu tampak kecewa saat Mang Karim mengatakan bahwa nasinya sudah habis. “Emh, ya sudah Mang. Tidak apa-apa kalau memang sudah habis. Mungkin lain kali saja aku ke sini. Makasih ya Mang.” Mang Karim mengerutkan keningnya bingung saat Alana membalikan diri hendak pergi, sementara Andra ada di sini. Lalu Alana akan pergi ke mana? “Nasi goreng punyaku tidak jadi Mang. Berikan pada Alana saja,” kata Andra yang akhirnya membuka suara. Membuat langkah Alana terhenti dan wanita itu berbalik menoleh pada Andra yang sudah berdiri tak jauh di hadapannya. Untuk beberapa saat, kedua manik mata mereka saling bersinggungan. Keduanya saling menatap dalam dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Sedangkan Mang Karim sendiri tampak menggaruk tengkuknya bingung. Tapi kemudian ia mengangguk cepat. “Siap Mas Andra.” Alana menggeleng. “Tidak perlu, Mang. Aku tidak apa-apa. Biarkan saja nasi gorengnya untuk Andra. Aku lain kali saja.” “Tidak! Cepat bungkusakan nasi gorengnya, Mang! Dan berikan pada Alana. Aku sudah kenyang sekarang.” Andra berkata dengan menampilkan wajah datarnya pada Alana. Lalu ia merogoh uang dari dompetnya dan meletakannya di saku kemeja lusuh milik Mang Karim. “Itu uangnya, Mang. Lain kali aku akan makan di sini,” kata Andra. “Jangan, Mang. Aku membawa uang sendiri! Pakai uangku saja.” Alana menyodorkan uang dua puluh ribu pada Mang Karim. Namun Andra mendorong tangan Alana. “Tadi aku yang pertama pesan, jadi sekarang aku yang bayar!” tegas Andra dengan tatapan tak mau dibantah. Alana tercenung di tempatnya, sementara Mang Karim terkejut melihat uang yang Andra berikan padanya terlalu banyak. “Maaf, Mas Andra. Tunggu kembaliannya,” teriak Mang Karim saat Andra menjauh. “Kembaliannya ambil saja, Mang!” Andra mengibaskan tangannya di udara tanpa membalikan badan. Kakinya melangkah tegas menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari gerobak lelaki tua itu. Alana menatap nanar pada mobil Andra yang kini sudah melaju dan menjauh dari pandangannya. ‘Aku tak menyangka kalau kita akan bertemu di tempat ini, Ndra,’ desah Alana dalam batinnya. Tapi seruan Mang Karim membuatnya terhenyak dan mengerjap. “Ini nasi gorengnya, Mba Alana,” ucap Mang Karim menyodorkan kantung kresek berisi bungkusan nasi goreng pada Alana. Dan Alana langsung menerimanya sambil tersenyum mengangguk. “Terimakasih Mang.” Mang Karim balas mengangguk seraya tersenyum lebar. Namun setelah Alana berbalik dan berlalu dari hadapannya. Mang Karim kini menghembuskan napas pelan. “Duh, Gusti. Ada apa sebenarnya dengan Mas Andra dan Mba Alana? Kenapa mereka tidak terlihat semesra dulu? Dan.. kenapa mereka pulang kearah yang berbeda. Apa jangan-jangan.. mereka sudah berpisah,” gumam Mang Karim dengan lirih. *** Kini kaki Andra melangkah memasuki rumah mewahnya. Namun Andra sudah bisa menebak apa yang akan terjadi saat ia disuguhi wajah masam Nita dan Darma yang menatapnya tajam dari ruang tengah. "Selamat malam, Ma. Pa!" Andra menyapa sebentar. Dan ia baru akan beranjak naik ke atas tangga hendak ke kamarnya, saat Darma menyeru dengan keras. "Sampai kapan kamu akan seperti ini terus, Andra?!" sentak Darma. Andra menghembuskan napasnya lelah. Tapi ia tak urung membalikan badannya dan melangkah lebih dekat pada kedua orang tuanya. "Apa maksud Papa? Aku baru saja pulang Pa. Aku capek tapi begitu datang langsung mendapat sambutan yang tidak menyenangkan seperti ini." Andra mengacak rambutnya pelan. Kemudian berdiri tegap di hadapan Darma dan Nita yang sama-sama menatapnya lurus. "Kenapa tadi kamu tinggalkan Sherly begitu saja di restoran? Di mana sifat jantan kamu sebagai seorang lelaki, Ndra. Apa pantas bagi seorang lelaki meninggalkan wanita sendirian di malam-malam begini?" Darma melipat kedua tangan di dadanya. Dan Andra hanya mengedikkan bahu. Lagi dan lagi pasti yang dibahas adalah wanita itu. 'Ck! Dasar tukang ngadu!' decak Andra dalam hati. "Aku tidak meninggalkan dia sendirian kok, Pa. Aku sudah menyuruh Pak Parmin agar menggantikanku untuk menemani Sherly makan malam," sahut Andra dengan nada yang terdengar begitu santai. Tapi cukup untuk membuat wajah Darma dan Nita semakin geram. "Parmin itu supirnya Sherly! Kenapa kamu malah suruh dia buat gantikan kamu?! Yang harusnya dinner malam ini itu kalian, Ndra. Kamu hanya tinggal duduk manis di depan Sherly, sambil menikmati makanan bersama dia. Apa susahnya sih?!" serobot Nita dengan kesal. Andra memicingkan mata menatap pada ibu kandungnya itu. "Mama dan Papa bisa berkata begitu, karena kalian tidak pernah peduli dengan perasaanku. Yang kalian pedulikan hanya tentang Tuan Arwen dan perjodohan ini." "Andra! Perjodohan ini juga demi masa depan kamu! Papa dan Mama sudah berusaha untuk memilihkan calon wanita yang tepat untuk mendampingi kamu mengelola perusahaan. Dan Sherly adalah satu-satunya wanita yang terbaik pilihan kami. Papa heran, kenapa kamu sulit sekali untuk menerima Sherly. Apa jangan-jangan.. Kamu masih mencintai w************n itu sampai sekarang?" tebak Darma dengan memicingkan mata. Sementara Andra langsung terhenyak mendengarnya. "Ini tidak ada sangkut pautnya dengan Alana, Pa--" "Papa tidak menyebut namanya. Dan kamu pun jangan pernah sekali-kali menyebut nama wanita itu di dalam rumah ini. Nama dia bahkan tidak pantas untuk sekadar diucapkan di dalam rumah kita!" tegas Darma dengan wajah tuanya yang menatap lurus pada Andra. Nita mengangguki ucapan suaminya. Ia pun tampak tak sudi mendengar nama wanita miskin itu. Kebencian di hati Nita terhadap Alana agaknya sudah tak bisa terselamatkan lagi. "Iya, Ndra. Mama juga satu pemikiran dengan Papamu. Apa jangan-jangan kamu masih mencintai w************n itu!" tambah Nita dan Andra seketika langsung mengepalkan tangannya di kedua sisi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD