BAB 22. Bertemu Alana Lagi

1155 Words
Namun, setelah cukup lama Sherly menunggu, tidak ditemukannya tanda-tanda Andra akan kembali. Bahkan hingga makanan yang mereka pesan telah terhidang di atas meja pun, batang hidung Andra belum juga muncul. “Ke mana Andra? Tidak mungkin dia hanya ke kamar kecil selama itu?” Sherly melirik-lirik kearah tangga, dimana terakhir kali ia melihat tubuh tegap Andra menghilang di sana. Hinggalah seseorang muncul dan menghampiri Sherly. Dia adalah sopir Sherly yang bernama Pak Parmin. Lelaki tua itu tergopoh-gopoh datang dan tiba-tiba saja mendudukan dirinya di tempat duduk Andra begitu saja tanpa permisi. “Pak Parmin kenapa ke sini? Andra-nya mana?” tanya Sherly dengan intonasi suara yang tinggi. “Eh, anu, Non. Tuan Andra yang menyuruh saya ke sini. Katanya Non sendiri yang mau ditemenin makan sama saya. Jadi Tuan Andra langsung pulang.” Pak Parmin menjelaskan dengan terbata-bata. Tampak raut ragu dan takut yang tergambar di wajah tua itu. Mendengar penuturan Pak Parmin, sontak saja kedua bola mata Sherly melotot tak percaya. “Apa? Andra pulang? Dan dia juga bilang begitu sama Pak Parmin?” sentak Sherly yang dibalas anggukan oleh Pak Parmin. “Iya, Non. Katanya Non tidak mau ditemenin makan sama Tuan Andra. Tapi Non maunya ditemenin makan sama saya. Kalau saya sih, mau-mau saja Non. Lah wong dikasih makan gratis sama orang cantik masa nolak,” ucap Pak Parmin sambil mengulum senyum. Tapi wajah Sherly tampak murka dan langsung menyiramkan orange jus miliknya pada sopirnya itu. BYUR! “Heh! Bandot—tua! Jangan kebanyakan ngehayal ya! Mana mungkin aku sudi makan berdua dengan lelaki tua seperti kamu! Sadar diri, kamu itu cuma supirku. Yang seharusnya duduk di sini itu adalah Andra. Aku mau dia yang makan malam bersamaku!” hardik Sherly sambil bangkit berdiri dari duduknya. Dengan gelagapan, Pak Parmin menatap Sherly takut dengan menelan ludahnya kasar. “T-tapi tadi Tuan Andra bilang—“ “Tuan Andra, Tuan Andra. Kamu percaya saja sama kata-kata dia. Dia bohong. Dia bilang begitu pasti karena mau kabur dari acara makan malam kita! Hhh.. Andra! Aku gak bisa terima ini. Aku akan adukan sama orang tua kamu! Kamu sudah keterlaluan, Ndra. Kamu mengacaukan dinner romantis kita!” Sherly mengentak-entakkan kakinya kesal. Kemudian ia merogoh ponselnya dari dalam tas. Lalu menghubungi seseorang. Ya. Siapa lagi kalau bukan Nita. Jika Andra melakukan sesuatu yang membuatnya kesal setengah mati, maka Sherly akan langsung mengadukan perbuatan Andra pada Nita ataupun Darma. Karena Sherly tahu, kedua orang tua Andra itu pasti sangat takut kehilangan kesempatan dari perjodohan bisnis ini. Sebab mereka tahu benar seberapa kayanya ayah Sherly. *** Sementara itu di dalam mobilnya. Andra menahan tawa saat Nita terus saja mengomelinya lewat telpon, padahal saat ini Andra sedang mengemudi. ‘Kamu itu sudah keterlaluan, Ndra! Masa kamu tinggalin Sherly begitu saja dengan supirnya. Sherly itu sudah sangat sabar menghadapi sikap kamu yang batu itu. Kurang baik apa lagi dia sama kamu, Ndra?’ omel Nita. Andra memegang ponselnya dengan sebelah tangan, sedangkan tangan yang satunya sibuk menyetir. “Hatinya kurang baik, Ma. Dia tidak bisa menghargai orang dan aku tidak suka dengan tipe wanita seperti dia!” balas Andra. ‘Andra! Jangan buat Mama dan Papa malu di hadapan Tuan Arwen! Kamu harus bisa bersikap manis pada Sherly. Buat Sherly senang sesekali apa susahnya sih?” seru Nita kesal. Andra hanya mendengkus masam. “Bilang saja Mama takut kehilangan asset mewah yang Tuan Arwen tawarkan jika aku mau menikahi Sherly. Maaf, Ma. Aku belum tertarik untuk melepaskan kebebasanku demi harta. Urusan dengan Tuan Arwen itu urusan Mama dan Papa. Sudah dulu, Ma. Aku sedang menyetir. Dah!” TUT! Andra langsung memutuskan sambungan telponnya tanpa perlu menunggu sahutan dari Nita. Karena Andra tahu, ibunya itu pasti akan terus memaksanya dengan kalimat yang sama. Hingga Andra bosan mendengarnya nyaris setiap hari. Namun, Andra menghentikan mobilnya seketika saat matanya melihat ke bibir jalan. “Alana..” Andra melihat seorang pedangang nasi goreng berserta gerobaknya. Tampak pedagang itu sedang duduk di sebuah bangku panjang sambil mengibas-ngibaskan topi lusuhnya untuk mengusir hawa panas. Ya. Di malam seperti ini pedagang nasi goreng itu merasa kepanasan. Mungkin karena belum mandi sejak siang. “Mang Karim..” gumam Andra pelan. Matanya menatap lurus pada pedangang itu sedangkan benaknya melayangkan ke masa lalu. “Dulu kamu yang selalu ngajak aku untuk makan nasi goreng Mang Karim di pinggir jalan, Alana,” desah Andra mengenang saat-saat dulu. Ketika dirinya dan Alana masih terikat dalam sebuah pernikahan. Saat itu, nyaris setiap malam Alana akan mengajak Andra untuk membeli nasi goreng lelaki tua itu. Mereka sangat menyukai rasanya yang enak. “Entah sudah berapa tahun lamanya aku tidak pernah lagi merasakan nasi goreng buatan Mang Karim. Mungkin tidak ada salahnya jika sekarang aku mencobanya lagi,” ujar Andra tersenyum tipis. Lalu turun dari mobilnya. Begitu tubuh jangkung Andra yang berbalut jas mewah itu berjalan makin mendekat kearah gerobak, seketika Mang Karim menghentikan gerakan tanganya yang sedang mengibas topi. Kini mata lelaki tua itu membeliak menatap tak percaya pada apa yang ada di hadapannya. “Mas Andra!” pekik Mang Karim menelan ludah. Ia memindai tubuh Andra dari atas ke bawah. Seakan ingin memastikan jika ia memang tak salah lihat. “Ini betulan Mas Andra, ‘kan? Saya teh tidak salah lihat?” tanya Mang Karim mengucek matanya. Lelaki tua perantau asal sunda itu sudah berdiri dari duduknya. Andra tersenyum lalu mengangguk. “Betul, Mang. Ini aku Andra. Mang Karim tidak salah mengenali orang.” “Wah? Ganteng pisan Mas Andra. Alhamdulilah sekarang sudah pakai jas mewah. Lama tidak bertemu ternyata Mas Andra sudah jadi orang hebat yah.” Mang Karim tersenyum lebar. Menampilkan deretan giginya yang sudah mulai ompong. “Iya, Mang. Lama kita tidak bertemu. Aku tak sengaja lewat sini dan melihat Mang Karim sedang duduk. Aku jadi lapar ingin nasi goreng. Bisa buatkan satu, Mang?” “Bisa Bisa, Mas Andra. Silakan duduk. Biar saya buatkan dulu nasi goreng yang spesial buat Mas Andra.” Mang Karim menunjuk bangku panjang dengan jempol tangannya. Mempersilakan Andra untuk duduk di sana. Setelahnya Andra menghempaskan pantatnya, tiba-tiba saja Mang Karim yang sedang menaruh penggorengan di atas kompor bertanya sesuatu yang membuat Andra tercenung bingung. “Nasi gorengnya dibungkus ‘kan, Mas? Buat dimakan bareng sama Mba Alana ya? Biar romantis di rumah.” Mang Karim menggoda menaik-turunkan alisnya pada Andra yang hanya tersenyum kecut. Beberapa saat Andra terdiam. Tapi kemudian ia berdeham lalu menjawab. “Nasi gorengnya dimakan di sini saja, Mang,” sahut Andra sembari menatap lurus ke depan. Enggan melihat wajah Mang Karim, karena Andra takut jika lelaki tua itu mungkin akan bertanya hal lain lagi padanya. “Mba Alana apa kabar, Mas? Sekarang sudah punya momongan belum?” Andra menarik napas panjang mendengar pertanyaan Mang Karim yang semakin membuat dadanya sesak. Enggan menjawab, Andra memilih memalingkan wajahnya ke samping lain. Berpura-pura seolah tak mendengar pertanyaan dari lelaki tua itu. Namun, tiba-tiba saja Mang Karim berseru dengan senang. Membuat tubuh Andra seketika menegang di tempatnya. “Loh, itu Mba Alananya datang!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD