BAB 5.  Rasa Cemburu

1019 Words
Sekeluarnya dari perusahaan Andra, Alana berlari sambil mengusap air matanya. Ucapan Andra begitu tajam, seperti sebilah pisau yang siap menusuk dadanya. Semua hinaan, tuduhan, serta sikap ketus Andra padanya, telah mematahkan hati Alana. Laki-laki itu sungguh menjelma menjadi sosok Andra yang berbeda. Alana tak lagi kenal dengan perangainya. Begitu naik ke dalam minibus, segera Alana duduk menyandarkan punggungnya di kursi yang kosong. Air mata kembali meluruh selaras dengan relung hatinya yang terasa diremas oleh tangan tak kasat mata. 'Kamu tidak tahu apapun, Ndra. Kamu tidak tahu apapun. Yang kamu tahu, hanya setiap kebohongan yang diumbar oleh kedua orang tua kamu tentang aku. Mereka berdua yang memaksaku pergi. Mereka lah yang paling berperan atas luka yang kamu derita delapan tahun yang lalu,' desah Alana dalam batinnya. Manik matanya berlari keluar jendela, menatap pada jalanan yang tampak sedikit lenggang. Kaca minibus sedikit terbuka, membuat rambut Alana yang tergerai indah bergerak tertiup angin. Sayangnya, angin itu sama sekali tak menyejukan hati Alana yang memanas. 'Aku tak menyangka, mengapa Tuhan harus mempertemukan kita lagi, Ndra. Jujur aku tidak siap menerima setiap tatapan kebencian yang kamu lemparkan sama aku. Andra yang dulu ku kenal begitu lembut, sekarang sudah berubah. Meski aku senang melihat kamu sudah bisa berjalan lagi. Tapi hatiku perih, Ndra. Hatiku perih saat harus mendapat kebencian dari lelaki yang masih sangat aku cintai.' Kini Alana menyandarkan kepalanya, mendongkak menatap pada atap bus dengan nyalang. Hembusan napas lelah keluar dari mulutnya. Kalau boleh jujur, Alana sangat merindukan Andra. Selama ini lelaki itu sering mampir dalam mimpinya. Ketika berjumpa dengan Andra, ingin sekali rasanya ia memeluk Andra dengan erat. Tetapi kemudian Alana sadar. Jika Andra yang sekarang sudah tak mampu lagi ia jangkau. *** Hari ini adalah hari dimana Alana bekerja untuk yang pertama kalinya di perusahaan Andra. Sengaja sekali Alana bangun lebih pagi dari biasanya, demi menghindari keterlambatan yang tidak ia inginkan. Sebagaimana seorang sekretaris, Alana tampil rapi dengan blous berwarna peach serta bawahan rok span hitam selutut. Rambutnya yang hitam lurus, dibiarkan tergerai namun tetap rapi. "Bersiaplah, Alana! Kamu pasti bisa bekerja dengan benar. Meski Andra adalah mantan suami kamu, tapi kamu harus berusaha profesional dalam bekerja. Jika dia kembali merendahkanmu, maka kamu jangan memasukannya ke dalam hati. Anggap saja semua ucapan Andra hanya angin lalu. Kebenciannya tidak akan membuatmu rapuh!" Alana bermonolog. Memberi semangat pada dirinya sendiri. Manik matanya melirik kearah pintu ruang kerja Andra yang tertutup rapat. Hampir setengah jam Alana duduk di kursinya, tapi ia belum juga melihat batang hidung Andra. Laki-laki itu belum tiba di kantor. Namun, suara pintu lift yang berdenting terbuka, membuat pandangan Alana beralih ke sana. Alana nyaris terperanjat, ia lalu berdiri dengan segera saat mendapati siapa yang baru saja keluar dari dalam lift itu. Andra! Tubuh tegap dan jangkungnya telah terbalut dengan stelan jas kerja berwarna hitam. Dipadu dengan kemeja putih, serta didukung dengan dasi abu yang menjuntai di depan badannya yang bidang. Membuat penampilan seorang Andra tampak begitu nyaris sempurna. Alana tersenyum miris dalam hati. 'Kamu memang selalu terlihat tampan, Ndra. Dulu dadamu itu adalah tempat dimana aku bersandar dengan nyaman. Tapi sekarang aku sudah tak bisa memilikinya lagi. Semua yang ada dalam diri kamu sudah bukan milikku.' batin Alana. Kaki panjang milik Andra, melangkah lebar menuju ke ruang kerjanya. Tentu saja Andra akan melewati meja Alana terlebih dahulu. Sadar dengan posisinya yang hanya sekretaris Andra, Alana segera menundukan kepala seraya menyapa Andra selayaknya bawahan kepada boss-nya. "Selamat pagi, Tuan Andra!" Andra menghentikan langkahnya sejenak. Hanya sejenak! Karena selanjutnya, laki-laki itu kembali membawa kakinya pergi melanjutkan langkah. Meninggalkan Alana begitu saja tanpa merasa perlu membalas sapaan wanita itu. BRAK! Alana menatap nanar pada pintu ruangan Andra yang merapat di hadapannya. Alana lalu mendudukan dirinya kembali dengan lemas. Hatinya mendesah mengingat sifat Andra yang terasa jauh berbeda dengan dulu. Tapi kemudian Alana sadar. Laki-laki itu bukan lagi Andra miliknya. Mereka sudah tak saling memiliki, semenjak jemari Alana membubuhkan tanda tangan di atas surat cerai yang sudah memporakporandakan kebahagiaan mereka. *** Setelah jam makan siang selesai, Alana diminta oleh Andra untuk mengantarkan sebuah berkas penting ke ruangannya. Maka bergegas Alana pergi dari pantry kantor. Menyudahi makan siangnya yang belum tandas. "Aku harus cepat mengantar berkas yang diminta Andra. Aku tidak ingin Andra marah dan menganggapku tidak becus bekerja." Alana meraih berkas yang sudah ia siapkan di atas meja, lalu kemudian tangannya mengetuk pintu ruang kerja Andra. Tok! Tok! Tok! Alana mengetuknya berkali-kali. Tapi ia tak mendengar sahutan dari dalam. "Apa mungkin Andra tidak ada di ruangannya?" gumam Alana ragu. Yang Alana tahu, Andra hanya menelponnya dan menyuruhnya mengantar sebuah berkas penting. Itu saja! "Ah, sudahlah. Sebaiknya aku buka saja pintunya. Mungkin Andra sedang keluar. Aku akan simpan berkasnya di atas meja kerja dia," kata Alana seraya mendorong pintu dan membentangkannya lebar-lebar. "Aakhhh..." Desahan mendadak yang didengar membuat Alana terhenyak mundur ke belakang. Terlebih, saat matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuat ulu hatinya berdenyut. Andra tidak sedang keluar. Laki-laki itu sedang duduk di kursi kerjanya. Hanya saja, sambil memangku seorang wanita yang pakaian bagian atasnya berantakan. Dan tadi Alana melihat Andra sedang bermesraan dengan wanita itu. "Apa kamu tidak tahu cara mengetuk pintu, Alana!" bentak Andra dengan intonasi yang tinggi. Suaranya terdengar kesal. Tapi Andra tetap memangku wanita itu. "Ma-maaf, Tuan. Aku sudah mengetuk pintu dari tadi. Aku pikir Tuan Andra tidak ada di dalam ruangan," cicit Alana pelan dengan membelakangi Andra. Sembari mendekap erat berkas di dadanya, Alana enggan menatap ke arah sana. Alana tidak mau hatinya terluka kian dalam. Cukup sudah pemandangan tadi mematahkan hatinya hingga hancur berkeping-keping. "Sepertinya sekretaris kamu itu tidak tahu sopan santun, sayang. Dapat darimana sih, dia?!" Suara wanita itu terdengar sebal membuat Alana meremas jemarinya kuat. Wanita itu memanggil Andra dengan sebutan sayang? Siapa sebenarnya dia bagi Andra? Hati Alana bertanya-tanya. "Sekali lagi aku minta maaf. Aku hanya berniat mengantar berkas penting yang Anda minta." Alana membuka suara. Berharap ia bisa segera pergi dari sana. Hatinya yang sesak butuh bernafas lega. "Kemarilah! Dan simpan saja di atas mejaku! Setelah itu, segera tinggalkan kami! Dan jangan lagi menggangguku jika tidak penting. Karena aku masih ingin menghabiskan waktu bersama calon tunanganku!" tegas Andra yang kata-katanya membungkam bibir Alana. Deg! Calon tunangan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD