VIII. Kiss Pill

1234 Words
Wajah-wajah kentara lega usai melaksanakan praktikum terlihat satu persatu mulai keluar ruangan. Tak terkecuali Rindy. Gadis cantik itu keluar paling akhir dengan sneli dokter yang masih melekat di badan. Rambut sebahunya ia simpul satu yang bila berjalan, surainya ikut bergerak. "Rindy!" panggilan itu menghetikan langkah pemilik nama. Menoleh ke samping kanan, terlihat Angga melangkah mendekatinya. "Ada apa Kak?" tanya Rindy setelah Angga tepat didepannya. "Ini buat kamu." akibat efek praktikum yang menyita seluruh otaknya tadi masih memengaruhinya, Rindy sampai tidak menyadari bahwa Angga datang tidak dengan tangan kosong. Senior tampan itu menyodorkan sebuket bunga sweet alyssum yang tak lain bunga kesukaannya. Rindy menerimanya dengan senang hati. Menghirup wangian manis menenangkan seperti namanya. Sedikit kepenatannya menyingkir bersamaan hembusan napasnya rileks. Angga tak dapat menahan sunggingan di bibirnya ketika mendapati gadis yang disukainya menyukai pemberiannya. "Makasih Kak." Angga mengangguk kalem. Kemudian keduanya berjalan di koridor. "Emh, Ndy?" "Iya?" "Weekend ini, ada waktu gak?" "Emang kenapa Kak?" bukanya menjawab, Rindy malah bertanya balik. "Gak papa sih. Cuma kalo ada, aku mau ajak kamu jalan." ucapnya skeptis. Selain karena kesibukan Rindy sebagai mahasiswa lebih dari yang dirasakannya, entah kenapa Angga merasa Rindy selalu menjaga jarak. Itulah kenapa Angga tidak berani mengajak gadis itu seperti mengajak kencan cewek lainnya. Maksimal satu bulan empat kali. Itupun kalau jawabannya iya. "Boleh Kak." ujar Rindy kontan menimbulkan bungah dihatinya. Namun euforia itu tidak bertahan lama ketika Angga menangkap sesuatu di wajah Rindy. Angga berjalan selangkah lebih dulu dan berhenti tepat di depan Rindy. Refleks gadis itu berhenti dan sedikit mendongak untuk melihat Angga. Angga menangkup wajahnya penuh khawatir. "Muka kamu pucet banget, Ndy? Kamu sakit? Aku antar pulang ya?" Rindy menurunkan tangan cowok itu. "Aku gak papa Kak. Cuma pusing dikit aja." "Ck. Walaupun dikit tapi tetep sakitkan? Udah aku antar aja. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa." "Tapi Kak—" Angga menarik tangannya menuju parkiran membuat gadis itu pasrah tak bisa menolak. Sesampainya di rumah Rindy langsung membersihkan diri. Gadis itu berjalan lesu ke dapur mengambil nasi dengan lauk seadaanya. Walaupun saat ini ia sama sekali tidak bernapsu makan, namun Rindy mencoba memaksanya untuk penunjangnya meminum obat. Badannya memang sudah tidak enak semenjak kemarin. Hanya saja gadis itu memaksa masuk kuliah karena ada jadwal praktikum. Setelah minum obat, Rindy kembali masuk ke dalam kamarnya dan langsung merebahkan diri menjemput mimpi. Belum sempat menyelami alam bawah sadar, gadis itu terpaksa membuka mata ketika ponselnya di atas nakas berdering tanda telepon masuk. Diambilnya benda pipih itu dan nama pemanggil jelas tertera dilayar handphone nya. Nando Incoming "Halo babe," buka Nando sesaat setelah panggilan diterima. "Iya," sahut Rindy lirih. Dan cowok diseberang sana menyadari suaranya yang lemah. "Alih ke vidcall, Ndy." pintanya dan Rindypun menurut. Kini wajah tampan Nando memenuhi layar ponsel Rindy. "Kamu dimana?" "Di rumah." "Kamu kayak lemes gitu, Sayang. Kamu sakit?" Rindy mengangguk pelan dalam posisi berbaring. Gadis itu memeluk bantal dengan mata sayu membalas tatapan Nando di sana. Rindy sudah tidak terlalu kaget akan panggilan Nando. Dari awal kenal Nando, Rindy seperti familiar begitu saja atas panggilan intim yang Nando berikan. Dan cowok itupun terus melakukannya hingga sekarang. "Parah gak, hum? Apanya yang sakit? Mau ke rumah sakit? Biar aku kesana jemput kamu." rentetan kecemasan tergambar jelas di wajah Nando. Rindy tersenyum tipis. "Gak usah. Aku cuma kecapean aja. Udah beli obat kok, tadi di apotik." samar-samar Rindy mendengar kebisingan disekeliling Nando. Menandakan cowok itu sedang tidak di rumah. Nando menyugar jambulnya lalu menatap fokus lagi kearah Rindy. "Udah makan?" "Udah sekalian minum obat tadi." "Makannya banyak gak?" timpal Nando lebih seperti menuding. "Cuma tiga suap. Gak napsu." jawabnya makin lesu. "Gak boleh gitu, Rindy. Napsu gak napsu harus makan." tegurnya memperingati. Nando yang duduk disalah satu meja food court mall mengalihkan pandang dari ponsel ke depan. Melihat seorang wanita mingguannya yang ketiga di bulan ini, Nando langsung menatap wajah Rindy di ponsel. "Ndy, udah dulu ya. Pesenan aku udah dateng. Aku mau makan dulu. Cepet sembuh ya, Sayang." Rindy hanya mengangguk sebagai jawaban. Nando mengedipkan sebelah mata, sambunganpun terputus. Meletakkan handphone di atas nakas, gadis itu kembali berbaring yang tak butuh waktu lama napas halusnya mengiringi menandakan pemilik raga telah terlelap. Keesokkan paginya Rindy merasa kondisinya sudah lebih baik dari kemarin. Ia bahkan sudah siap-siap pergi ke kampus. Tapi sebelum itu Rindy menuju ke ruang makan yang sudah terdapat Wira, sang ayah dan bundanya, Ratih disana. "Pagi Yah, Bun." sapanya kemudian duduk berhadapan dengan bundanya dan Wira di bagian kepala meja makan dari posisi kedua perempuan itu. Kedua orang dewasa itu mengangguk kalem sebagai balasan. Sang Ayah yang mengenakan kacamata baca bergagang emas terlihat sibuk dengan smartphone ditangannya. Tak pelak pria pertengahan limapuluh tahun itu sesekali menyuap nasi goreng buatan sang istri kedalam mulut. Rindy bergeleng menyayangkan. "Yah, Ayah gak mau fokus makan dulu? Taruh dululah hapenya. Kan kita lagi makan." tegur Rindy halus disertai senyuman manis andalannya. Wira menoleh pada putrinya. Wajah seriusnya lambat laun luntur digantikan senyum hangat menanggapi Rindy. Wira mengangguk dan mengelus kepala gadis mungil itu pelan. "Anak ayah yang terbaik." pujinya tulus. Ratih tersenyum hangat menjadi saksi interaksi suami dan anaknya. Rindy memang tipe orang yang tidak bisa membiarkan ketidakdisiplinan terjadi disekitarnya. Entah siapapun orang itu, Rindy akan spontan menegur. Tentunya bukan dengan cara memarahi dan mencela habis-habisan. Cukup dengan mengatakan kesalahan orang itu, dan tidak lupa menggunakan kalimat baik yang sekiranya tidak menyakiti hati orangnya. "Oiya, Ndy. Semalem ada gojek yang nganterin sesuatu." ucap Ratih memberitahu. Rindy mengeryit jadinya. "Anterin apa, Bun?" "Bentar, bunda ambil." Ratih pergi sebentar ke arah ruang tamu dan tak berapa lama kembali lagi dengan sesuatu ditangannya. Diberikannya benda itu kepada Rindy. "Suplemen?" "Iya. Bunda tadinya mau kasih sekalian nanya ke kamu semalem. Cuma kamar kamu di kunci. Emang kamu lagi gak napsu makan, Sayang?" "Eh, itu, Rindy kemarin sedikit gak enak badan. Jadi makannya dikit, deh." jelas Rindy. "Kamu sakit? Kok gak kasih tau bunda? Terus sekarang gimana? Kalo masih sakit jangan dipaksa masuk kampus." "Iya, Sayang. Meskipun kamu calon dokter, tapi kamu tetep manusia. Logikanya, kalo dokternya kurang sehat, gimana sama pasiennya? Lebih baik istirahat satu hari ketimbang diagnosa dan performa kamu sebagai dokter terhadap pasien itu menurun. Jatuhnya kamu akan dicap tidak profesional." Ayahnya menimpali. Padahal jika mau membalas, Rindy akan mengatakan tidak akan ada bedanya jika seandainya dia sudah menjadi dokter saat menghadapi situasi ini. Maksudnya, jikapun Rindy istirahat satu hari karena sakitpun—apalagi hanya sakit demam—orang awam pasti akan beramsusi dia tetap tidak profesional. Mementingkan penyakit demam biasanya dengan penyakit-penyakit parah diluaran sana. "Rindy udah sembuh kok, Yah, Bun. Semalem Rindy udah minum obat. Buktinya Rindy udah seger." ujarnya meyakinkan kedua orangtuanya. Rindy kembali menaruh tanya pada kemasan berisi botol suplemen di depannya. "Bun, Gojeknya bilang gak ini dari siapa?" "Dia sempet bilang sih, pas bunda tanya. Tapi bunda lupa. Mungkin temen kamu." semakin penasaran Rindy membuka kardus kecil kemasannya dan mengangkat botol dari dalam. Dan benar, terdapat sebuah kertas kecil berwarna pink yang sepertinya di tuliskan oleh sang pemberi. Get well soon Dear❤ And, my kiss pill for you Nando- Ternyata Nando. Batinya. Rindy mencoba menahan senyum yang sayangnya gagal ketika memperhatikan kata demi kata tersebut. Cowok yang sudah dua minggu dekat denganya itu memang acap kali memberikan sesuatu padanya. Tanpa diminta dan tak terduga. Dalam kurun waktu itu pula intensitas pertemuanya dengan Nando bahkan lebih banyak dari cowok lain yang dikenal Rindy. Sebenarnya bukan karena disengaja—untuk Rindy. Karena dasar pertemuan keduanya dilakukan oleh Nando sendiri. Cowok itu sudah tiga kali datang ke kampusnya dan mengajak Rindy ke sebuah tempat. Rindy yang saat itu memang tidak ada janji dan tidak enak jika menolak akhirnya mengiyakan. Tapi, setidaknya Rindy menyukai setiap tempat yang dipilih Nando. Dan gadis mungil itupun tak bisa berbohong kalau iapun senang bila berada didekat Nando.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD