Dari arah lift sebuah hotel, Nando dan seorang wanita baru saja keluar dengan wajah cerah. Keduanya sesekali tersenyum lebar ketika masing-masing mengeluarkan candaan. Berhenti sejenak untuk melakukan check out sebelum kemudian benar-benar meninggalkan hotel dengan sebuah mobil sport hitam milik Nando.
"...Oh, jadi lo anak pemilik butik yang gue datangin kemarin." dengan pandangan fokus ke jalanan Nando mengangguk samar. "Pantes aja lo bisa kasih lima dress kemarin secara cuma-cuma sama gue." Nando sekilas menoleh ke arah wanita disampingnya merasa kurang suka dengan ucapannya barusan.
"Gue gak asal ambil, tapi membayari baju itu. Meskipun butiknya punya nyokap, gue gak mau merugikan." wanita itu melengkungkan kedua sudut bibir kebawah seperti mengejek. "Lagipula kalo lo mau, kita bisa terbang keluar negeri sekarang juga dan beli pakaian atau apapun itu disana." mata wanita disampingnya membeliak diikuti ekspresi antusias tak terkira.
"Lo serius?" Nando mengangguk tak acuh. Sebenarnya dia kesal pada wanita ini. Ucapanya berhasil sekali menyentil harga diri Nando seolah meragukan finansial yang dimiliknya. Dan benar saja, baru diiming-imingi dengan ucapannya barusan, wanita itu melingkarkan tangannya di lengan Nando dan menyender intim di bahunya.
"Gimana kalo Singapur? Selain deket, kebetulan ada yang gue mau banget disana." Nando diam tidak merespon.
Di jalanan yang cukup sepi Nando mengeryit ketika ada sebuah Brio merah memalang di jalan. Nando berhenti dan memutuskan turun.
Seorang wanita dengan turtleneck knit dress melekat ditubuhnya keluar mobil merah tadi dan berjalan ke arah Nando dengan pandangan mata penuh emosi.
Sesampainya tepat di depan Nando, wanita itu langsung melayangkan telapak tangan pada salah satu pipi Nando.
PLAKK
"b******k! Kalo aja gue gak ikutin mobil lo kemarin, saat ini gue masih jadi cewek b**o mau-mauan ditipu playboy setan kayak lo!" Nando menatap datar wanita yang barusan menamparnya.
"Terus?" wanita itu semakin murka. Wajahnya memerah seperti bom siap meledak.
"Terus? Dasar b******n! Lo tinggalin gue kemarin di hotel buat nemuin cewek lain. Dan sekarang lo masih bisa sesantai ini?!" wanita itu geregetan sendiri. Mata tajamnya kini bergeser pada wanita yang baru saja keluar dari mobil Nando. Ia mendekati wanita tersebut dan tanpa aba-aba langsung menjambak rambut coklat gelap terawat sang rival. Si korban sontak menjerit kesakitan akibat serangan brutalnya.
"Dasar cewek murahan gak tau diri!"
"Apaan sih?! Lepasin gila, sakit!" kedua wanita itu saling melempar kata penuh pekikkan tak tertahan. Satu dengan amarahnya yang sudah meletup. Satunya lagi dengan rintihan dan rasa kesal diserang tiba-tiba.
"Sakit? Rasain! Itu pantas buat jalang kayak lo!" kali ini wanita satunya balas menyerang dengan menyentak kasar kuncir kuda milik lawannya hingga ia menjerit panjang kesakitan dan kesempatan itu dimanfaatkannya mendorong tubuh si wanita pemarah.
"Gue sih gak heran ya, kenapa Nando mau ninggalin pacarnya demi gue. Abisnya ceweknya bar-bar gak karuan. Gak beda sama orang gila." ujarnya bergumam diakhir yang masih dapat didengar orang didepannya. Wajah putih wanita dihadapannya semakin memerah dengan rahang yang berkedut mengobarkan api yang tak tertolong.
Keduanya saling menatap nyalang siap saling menerkam. Dan tarik menarik rambutpun kembali terjadi.
Di tempatnya Nando menatap jengah pertarungan antara pacar dan wanita yang baru ditemuinya kemarin. Nando membalikan diri dan masuk ke dalam mobil. Meraungkan gesekan ban diatas aspal, ia meninggalkan keduanya begitu saja.
.....
Nando berhenti didepan sebuah restoran sederhana modern. Didepannya terdapat gambar batik khas dari beberapa daerah di Indonesia. Nando melangkah memasuki restoran. Pengunjung lumayan banyak hampir memenuhi tempat yang tersedia di siang hari ini.
Nando mengedarkan pandangan mencari seseorang. Sudut bibirnya terangkat ketika mendapati apa yang dicarinya. Nando merajut langkah mendekati objek, dimana seorang gadis berapron cokelat muda sedang membereskan piring di salah satu meja.
Nando sudah berada dekat di belakang Rindy yang belum menyadari keberadaannya itu. Cowok itu menutup mata Rindy membuat gadis itu terkejut, refleks melepas telapak tangan besar yang menutupi matanya lalu berbalik cepat.
"Nando!" panggilnya disertai sebal diawal yang berangsur menjadi lega. Nando tersenyum manis melihat tingkah kaget Rindy. "Kamu mau ngapain kesini? Mau makan? Pesen apa?"
"Banyak banget nanyanya. Dasar bawel." Nando mencubit gemas pipi chubby Rindy. Rindy merengut sambil mengusapi bekas cubitan Nando. "Aku udah makan tadi."
"Terus kesini ngapain?"
"Mau liat sayangnya akulah."
"Emang ada? Siapa?" tanya Rindy polos karena benar-benar tidak tahu.
"Maunya sih pacar. Cuma..." Nando menatap Rindy intens. "kamu mau gak jadi pacar aku?" Rindy mengerjapkan mata beberapa kali. Tanpa bisa dicegah wajahnya memanas tak tahu harus bagaimana. Ia berusaha menghindari iris hitam Nando yang seolah melucutinya. "Mau gak?" lanjut Nando menggoda Rindy. Ia tahu Rindy bulshing akibat ucapannya tadi. Dan, memang itu tujuan Nando. Lihat? Gadis itu terlihat semakin menggemaskan. Andai saja ditempat sepi, Nando tidak akan ragu mengapit pipi merona itu menggunakan bibirnya.
"Hahaha..." tawa Nando menghilangkan ekspresi blushing Rindy digantikan dahi mengerucut. "Aku mau ketemu kamu aja. Gak boleh emang?" lanjutnya setelah tawanya surut.
"Boleh sih. Cuma aku lagi bantuin Bunda. Kamu gimana entar? Nunggu disini?" tatapan Nando turun melihat piring kotor yang sebelumnya hendak dibawa Rindy.
"Ini dibawa ke belakang?" Rindy mengangguk skeptis. Kebingungannya semakin bertambah saat Nando membawa satu tumpukan piring kotor ditangannya. "Aku bantuin."
Rindy kebagian membawa beberapa gelas yang ia taruh diatas nampan kayu. Tiba ditempat cuci piring, keduanya bergantian meletakkan piring-piring kotor tadi diatas wastafel panjang menyamping.
Berdasarkan hasil pengamatan Nando, sepertinya hanya ada mereka berdua disana. Hanya terdapat samar-samar suara ibu-ibu yang memasak di dapur yang terletak tepat disamping ruangan itu. Ratih atau bunda Rindy memang lebih memilih ibu-ibu rumah tangga yang pintar memasak ketimbang mengajak koki sebagai partner. Alasannya sederhana. Selain ingin memberi pekerjaan pada mereka, Ratih merasa akan lebih hidup bila ia mengajak ibu-ibu tersebut. Karena dengan begitu, iapun bisa sambil bersenda gurau juga tidak kesepian.
Kembali pada Nando. Ditempatnya Nando menerbitkan senyum penuh arti.
"Rindy,"
"Iya?"
"Sebenarnya aku kesini, karena ada yang aku mau kasih ke kamu." ucapnya misterius.
"Apa?"
Nando mengambil sesuatu dari kantong dibagian dalam jaket kulitnya. Ternyata sebuah kotak hitam beludru persegi. Nando menyodorkan kotak kedepan Rindy dan mengkodenya agar gadis itu menerimannya.
Ragu-ragu Rindy mengambil kotak itu. Mata bulatnya semakin melebar yang malah terkesan semakin menakjubkan setelah membuka kotak itu dan melihat isinya. Ia menatap Nando tak percaya.
"Ini... apa?" Rindy mempertanyakan kalung berantai halus berwarna gold didalam kotak. Kalung itu memiliki dua mata. Tepat dikepalanya berbandul bulan sabit dan dibandul kedua yang terletak dirantai yang dibiarkan menjuntai kebawah yang apabila dikenakan akan tepat lurus di belahan d**a pemakainya bermatakan bintang.
"Itu buat kamu. Sini aku pakein," jawab Nando. Sedangkan Rindy masih tidak percaya akan apa yang terjadi. Untuk apa Nando memberikan kalung cantik yang siapapun akan tahu itu bukan barang murah. Kalau hari ini hari lahirnya, mungkin Rindy masih memaklumi. Tapi ini... untuk apa?
"Tapi Nan-" ucapannya terpotong karena Nando sudah terlebih dahulu melepaskan apronnya lalu memasangkan kalung itu kelehernya dari depan.
Dalam posisi intim itu Rindy hanya bisa terdiam menunggu Nando selesai membantunya. Namun hingga beberapa menit berlalu, Nando tak kunjung menarik diri darinya. Rindy mengeryit ketika merasakan sesuatu yang basah ditengkuknya.
"Nando? U-udah?" katanya kemudian menelan saliva kasar. Nando tak kunjung menjawab. Makin kesini Rindy merasa benda kenyal yang diyakininya bibir Nando itu merambat turun ke sisi lehernya mereflekskan Rindy mencengkeram jaket yang dikenakan Nando.
Sedangkan cowok itu masih fokus dengan sesekali memberi kecupan dan jilatan disana. Seorang Nando kalau sudah anteng dengan suatu hal, ia sulit membagi fokus untuk yang lain. Jadi ketika kedua tangannya sudah menangkup sisi wajah Rindy yang menggemaskan dengan sorot mata lurus kearah bibir mungil merah muda alami yang dimiliki gadis itu, Rindy serta merta mendorong Nando.
Lain dengan Rindy yang menjadi kikuk, Nando justru mendengus kesal yang ditutupinya dengan senyuman hangat memaklumi. Yang polos harus diajarin dulu, Nando. Sabar. Batinnya berbicara.
"Kalungnya jadi makin cantik kalo dipake kamu." Rindy tersenyum tipis. Efek perbuatan Nando masih belum bisa dihiraukannya.
"Tadi... kamu ngapain?" Nando mengeryitkan dahi pura-pura tidak paham.
"Yang mana?"
"Yang itu... tadi."
"Yang itu yang tadi mana?" Nando maju memangkas jarak membuat Rindy refleks mundur yang sayangnya berakhir oleh pinggangnya yang menubruk wastafel.
Rindy mendongak mengakibatkan keduanya bersitatap dalam diam. Napas dapat dirasakan masing-masing saling menerpa wajah. Nando menyungging senyum geli dan mundur membuat Rindy kembali bernapas lega.
"Aku pikir tadi keringat kamu. Tapi ternyata aku salah. Mana ada keringat manis banget." ujarnya melantur.
"Lagian kamu aneh. Mana ada orang liat keringat terus dijilat?" Rindy berekspresi jijik.
"Punya kamu manis soalnya." malas meladeni Nando yang bersikap aneh, Rindy memilih melanjutkan tugasnya mencuci piring. "Kamu pulang jam berapa?" tanya Nando yang kini memperhatikan dirinya dari samping.
"Habis maghrib." Rindy menjawab tanpa menoleh.
"Lama ya. Yaudah deh, kalo gitu aku pulang duluan aja. Salam buat Bunda kamu."
"Hm." Nando hendak berbalik yang kemudian ditundanya.
"Rindy," Rindy lantas menoleh dengan raut menunggu apa yang akan diucapkan Nando. "Pilih bulan atau bintang?" Rindy bertanya-tanya dalam hati. Ada apa dengan cowok ini?
"Bulan?" jawabnya yang justru kearah bertanya.
"Kamu yakin?" Rindy mengangguk saja. Nando ikut mangut-mangut dengan mata tak melihat karahnya. Dan sedetik kemudian Rindy dibuatnya kembali membeliak.
Bagaimana tidak? Nando dengan tak disangka mencium mata kalung berbentuk bulan yang menggantung dilehernya. Usai melakukan itu, Nando tanpa dosa keluar dari sana membiarkan Rindy dengan pandangan terpaku kearah dimana dia pergi.
Satu yang menjadi titik tanyanya.
Bagaimana kalau tadi Rindy memilih bintang? Apa Nando akan mencium benda yang letaknya tepat di atas belahan dadanya?