Weekdays

1659 Words
Mereka Kesiangan. “Bagaimana sih bisa kesiangan!” omelnya yang ditanggapi April dengan memutar bola mata, Yoga tanpa sehelai kain pun bergegas masuk ke kamar mandi sambil terus mengomel karena dia ada meeting penting jam sembilan pagi. Sementara April sudah selesai mandi lebih dulu.  “Siapa ya yang semalam nggak tau waktu, ngajak bergadang!” balas April melempar kesalahan pada sang suami yang sudah pasti tidak di dengar karena Yoga sudah menutup pintu kamar mandi. Sambil menunggu suaminya selesai mandi, April langsung berpakaian, merapikan ranjang, memilihkan setelan kerja untuk Yoga, baru saja dia mau keluar kamar untuk membuat sarapan... “Pril handuk!” teriak Yoga dari dalam kamar mandi, April sudah menduga suaminya lupa mengambil handuk dijemuran khusus handuk dekat pintu kamar mandi. “Kebiasaan banget! “jangan anduk itu, udah kotor.” “Kalau udah kotor taruh di keranjang.” Omelnya April percuma, Yoga tidak akan mendengar, segera dia mengambil handuk baru, mengetuk pintu dan tangan Yoga terulur mengambilnya barulah di keluar kamar untuk membuat sarapan, tepatnya membuat sesuatu yang bisa sedikit mengobati perutnya yang perih karena lapar. "Pril, ayo Senin nih. Bentar lagi pasti macet parah." teriak Yoga memanggil April yang baru saja selesai merias wajah, April keluar dari kamar. Hari ini dia diantar suaminya. Bicara soal hari Senin, April yakin bukan cuma dia yang mengalami bahwa entah kenapa jalanan akan lebih padat dan sibuk di hari ini, dibanding hari ke depan nanti, memang bukan hal aneh lagi, Jakarta selalu tidak pernah tak mengenal kata macet. "Bentar dong, ini juga udah maksimal buat cepat!" memakai Heels, April mengikuti langkah Yoga yang sudah akan keluar apartemen. "Yoga... wait!" "Apalagi? ada yang ketinggalan? Kebiasaan kamu ini!" Yoga terlihat kesal karena belakangan ini hafal betul tabiat istrinya yang mudah lupa saat sedang berburu dengan waktu. Pernah beberapa minggu lalu, dia menahan kesal harus kembali putar setir untuk kembali ke apartemen karena April meninggalkan laptop berisi file penting yang isinya bahan meeting dia pagi ini. sepanjang jalan, yoga mengomel dan April terus meminta maaf. April tersenyum kecil, melangkah mendekat pada suaminya. "dasi kamu kurang rapi." tangannya terampil membenarkan dasi yang berada di leher suaminya. Yoga menghela napas, membalasnya dengan mencium pipinya. "Terima kasih. Kamu yakin, sudah memastikan nggak ada yang ketinggalan?" "Sudah dibawa semua, let's go.." Lalu mereka bergandengan keluar apartemen. Yoga menjalankan mobil meninggalkan gedung apartemen, bergabung bersama mobil lain sudah berbaris padat di jalanan Jakarta Senin pagi ini. “Baru juga keluar kawasan apartemen, udah sepadat ini.” keluh April. “Ini senin Pril, biasa seperti ini, kita aja yang malah ke siangan.” “Bukan hanya senin deh, bukan Jakarta kalau nggak macet begini.” Balasnya. Yoga berulang kali menghela napas menghadapi kemacetan tersebut. Lalu dia melirik istrinya yang santai mainkan ponsel. Jika April di mobil sendiri, mungkin dia sudah dengarkan lagu sambil menuggu mobil di depannya berjalan. Sayang, Yoga punya selera lain. Dia lebih suka sunyi, katanya mendengar suara musik makin buatnya pusing bukan rileks. Yoga menurunkan kaca ketika memanggil salah satu anak penjual koran kota yang berjalan dari arah depan. "kamu ada uang tunai?" Tanya dia pada April. "Ada, jangan bilang di dompet kamu kosong?" Kadang April harus rajin-rajin cek isi dompet suaminya, untuk persiapan jika Yoga perlu uang tunai. Kadang suaminya menganggap itu tak penting, kalau ada apa-apa di jalan yang butuh uang tunai pasti lebih repot kalau sampai cari atm terdekat. "Masih ada." April lalu menyerahkan selembar uang lima puluh ribu, Yoga mengambilnya lalu memberikan pada anak lelaki sekitar berusia sepuluh tahun tersebut tanpa memgambil kembaliannya, membuat anak lelaki itu terlihat sangat senang. "Kamu bisa baca berita online." Kata April mengomentari, Yoga menyimpan koran di dashboard. "Kalau setiap orang berpikir seperti kamu, percetakan koran manual bisa tutup terus anak-anak putus sekolah itu bukan hanya nggak dapat kesempatan pendidikan juga kehilangan tempat mencari nafkah." Kata Yoga, membuat April menyengir dan tak mengatakan apa-apa lagi. Kantor mereka memang searah, masih satu wilayah. Beberapa kali  dalam seminggu mereka makan siang bersama. Setelah berkendara hampir empat puluh menit, akhirnya sampai di depan kantor April. Mobil berhenti tepat di depan lobi, membuka sabuk April mengecup pipi juga mencium punggung tangan suaminya. "Makan siang bareng?" Tanya April "Nggak bisa, aku meeting diluar sama klien." April mengangguk, "kalau menunggu aku lama, kamu balik duluan aja." "kenapa nggak ngomong sih, nyebelin banget! Tau gitu aku bawa mobil tadi." Keluhnya. "Mella baru mengabari tadi kalau ada jadwal meeting sore ini." Dia menyebut nama sekretarisnya. "Ya udahlah ya... aku nanti minta antar Papa aja. kamu hati-hati di jalan. Bye." April keluar, Yoga langsung menjalankan mobil menuju kantornya. *** Beberapa orang menyapa selama dia berjalan menuju bagian departemen marketing. Hari sudah siang, aktivitas kantornya sudah ramai. "Morning, Bu." April menghentikan langkah menuju ruangannya. Berbalik menghadap Ririn, sang asisten. "Morning, Rin. Love Monday, ya. Ke siangan nih saya." Ririn tersenyum, “Belum telat banget kok, bu. Oh iya Bu, pak Sultan minta meeting dimajukan satu jam lebih awal." Sekertarisnya lalu menyebutkan jadwal hari ini, beberapa email yang harus segera April baca. "Papa sudah datang?" “Sudah Bu.” Beritahunya. “Rin, kita ketemu di ruang meeting, siapkan bahan presentasi kita. Saya ada urusan dengan papa dulu." April memang bekerja di perusahaan retail makanan milik keluarganya. Ririn mengangguk lalu keluar dari ruangannya, melaksanakan perintah atasannya. April menyimpan tas, mengambil note untuk meeting, dia akan menemui Papa terlebih dulu. Menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya, dia siap memulai hari ini, jadi karyawan baik selama di kantor. Menyampingkan dulu peran sebagai seorang istri. *** Yoga benar-benar lembur, menelepon dan April pulang ikut Papa. "Mampir, Pa?" "Nggak, papa langsung pulang aja.” “Oke deh.” “Kamu ajak suamimu akhir pekan ini menginap di rumah. Mama sudah kangen sama kamu, setiap hari berisik tanya kamu sehat nggak, ngeluh terus kamu yang akhir pekan lalu nggak ke rumah." April tertawa, padahal dia hampir tidak pernah lepas komunikasi dengan mama. "Iya, nanti aku bicarakan sama Yoga." Papa mengangguk, "panggilan kamu ke suamimu itu, masih nama?" "Iya, kenapa sih? Kan aku dari dulu panggil gitu." Papa berdecak. "Mama kamu saja sampai sekarang nggak pernah sekali pun panggil nama papa secara langsung. Biar lebih sopan dan hormat sama suami lho nak, apalagi udah punya anak, biar anakmu nggak mencontoh.” Karena kebiasaan itu juga membuat April baru tahu nama orang tuanya setelah sekolah. "Entar aja kalau udah punya anak, aku ganti. Sekarang terdengarnya aneh ah pah, Yoga juga nggak protes!" "Ya sudah terserah, kalau panggilan kamu masih sama di depan Mama. Jangan minta bantu papa ya, kalau kamu diceramahi." April tertawa, lalu mencium pipi papa  "pak Joko bawa mobilnya hati-hati, ya. Titip lelaki tampanku ini" Katanya kepada sopir pribadi keluarganya, Papa terkekeh mendengar panggilan anaknya itu. "Siap non!" Saut pak Joko. "Ya udah aku masuk ya Pa, mau siapkan makan malam. Papa yakin nggak tertarik coba masakan putri papa?" Bujuknya sekali lagi. Papanya kian tertawa, lalu mengelus puncak kepala putrinya dengan sayang. "Nanti aja, kalau jadi menginap di rumah harus kamu yang masak. Tapi, tetap harus di awasi mama. Papa nggak mau ambil risiko terkena hipertensi karena garam yang kamu masukan terlalu banyak." "Papa! Ish aku kan udah belajar banyak, Yoga saja bilang enak kok!" "Mana ada suami yang berani bilang nggak enak makan masakan istrinya." Papa tidak berhenti menggoda April April kesal, dia membuka pintu dan keluar. "Yoga kan bukan papa yang takut sama istri." Kelakarnya yang membuat papa mendelik dan tertawa bersama. "Dasar anak ini!" "Ya sudah bye Pa, salam buat mama tercinta.. aku juga kangen banget." "Iya, bye sayang." April menunggu sampai mobil papa pergi, barulah dia masuk ke apartemen. Memilih mandi, barulah dia masak untuk makan malam. Sebelumnya dia akan memastikan dulu pada sang suami.  Tetapi, Yoga tidak juga membalas pesan dan mengangkat telepon. Jadi April berpikir mungkin Yoga akan makan diluar dan dia jadi tidak semangat untuk masak. Pukul sepuluh kurang lima belas, Yoga baru sampai di rumah. Dia terlihat kusut dan lelah. "Masak apa, pril?" Gerakkan April yang akan meletakkan tas suaminya terhenti. "Kamu belum makan?" "Belum. Cuman minum kopi dan makan roti tadi jam tujuh." April menyesal, kenapa tadi dia tidak memasak juga buat Yoga. April hanya masak mie instan. Lalu dia ingat, akhir pekan lalu dia sudah sedia beberapa potong ayam yang telah masak dibumbui kuning, akan praktis untuk di goreng atau bakar. "Kamu mandi dulu aja, pas kamu selesai makanan akan siap." Jawabnya meyakini. Yoga tidak menolak, dia masuk kamar mandi dan April keluar kamar menuju dapur. Dia lalu membuat ayam bakar, Selera Yoga adalah sedikit kering. Membuat sambal, dan menggoreng tahu. Sesuai perhitungan, tepat Yoga keluar kamar, tepat juga semua makanan untuk suami siap. Yoga langsung tak menunda lagi begitu melihat masakan yang disiapkan begitu menggoda dan membuat dia semakin lapar. "Bagaimana?" April menelisik memperhatikan wajah serius Yoga yang menekuni makanannya. Menuangkan air putih digelas, lalu meletakkan di hadapan suaminya. "Enak. Besok siapkan ini lagi." Yoga berkata jujur, istrinya benar-benar belajar memasak. Buktinya masakannya semakin hari semakin enak dan ini alasan kenapa Yoga menolak ajakkan makan malam klien tadi saat meeting. Dia menghargai April, yang berusaha menjadi istri terbaik untuknya. Semua piring bersih, dua potong ayam habis dimakan Yoga. "Biar aku saja yang cuci." Yoga mencegah April yang akan mencuci bekas makannya. "Nggak usahlah, ini sedikit ko." Tolak April tapi tidak di indahkannya, Yoga tetap menggeser istrinya, ia mengambil alih. "Ya udah deh, kamu memaksa ya.." April mengalah, membiarkan Yoga melakukannya. Sementara dia memilih duduk di sofa tengah sambil menonton televisi. Yoga datang langsung bergabung, "Makasih." April tercenung mendapat kecupan manis di pipi. Yoga jarang bersikap seperti itu. "Untuk?" "Makan malam dengan masakan yang semakin enak..." pujinya untuk pertama kali yang terlihat tulus. Mendengar itu, membuat dia tersenyum dengan desiran hangat di hatinya. "Anytime, suamiku..." balasnya lalu merebahkan kepala di bahu Yoga. Sambil menunggu kantuk datang, mereka menikmati tayangan di televisi. April memang tidak tahu seperti apa pernikahan diawali tanpa cinta ini, tapi satu hal yang pasti. Ketika menjalani ini semua, April tidak pernah main-main. Dia menyukai perannya dan berusaha menjadi istri yang baik untuk suaminya. [to be continued]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD