Bossy!

1614 Words
Cooking class baru saja selesai, Chantika mengajari masakan berbahan rempah-rempah yang banyak, masakan padang. Seperti ayam Pop dan sambal hijau. Yoga sangat menyukai masakan Minang, maklum keluarga ibunya berasal dari Minang. Tadi terlihat mudah, karena dibantu chantika. Entahlah, apa akan berhasil jika dia melakukannya sendiri nanti. Me: bentar lagi aku pulang, aku masak ayam pop, dan sambal hijau. Nanti kita makan sama-sama. Suamik: Ya. Singkat sekali! Cibirnya dalam hati. Tidak berniat membalasnya lagi, April kembali menikmati es buah, Chantika yang membuat. Sementara, kakak sepupunya itu sedang sibuk menyuapi putri bungsu yang baru merayakan ulang tahun ke satu, minggu lalu. Si kembar—Andra & Satya—kebetulan sedang tidak di rumah, mereka dibawa orang tua Riefaldi ke undangan relasi bisnis keluarga mereka. Pantas saja, Chantika bisa meluangkan waktu untuk mengajari dia masak. "Gue masih nggak percaya, lo sama yoga benaran jodoh!" Itu suara berat suami sepupunya, Riefaldi—sahabat Yoga. "Al, jangan godai terus Aprilnya!" Tegur Istrinya. Riefaldi selalu begitu. Diantara semua, dia terdepan untuk dengan jelas mengatakan tidak bisa percaya kalau April yang dulu paling menghindari Yoga, justru setuju untuk menikah dengannya. "Kita paling tahu, sayang. Bagaimana ini anak terlihat paling anti sama Yoga. Dulu kamu tahu, Yoga terang-terangan di depan kita dekati dan lo jelas nggak tertarik untuk meliriknya, kan?" Tunjuk Riefaldi pada April. Andai Riefaldi juga tahu, bahwa April pun tidak tahu kenapa dia jadi memiliki perasaan pada Yoga. Padahal, dia sudah tahu suaminya itu dulu, mendekatinya hanya berpura-pura dan tidak mungkinkan, April bilang semua itu terjadi karena mereka sudah sering ‘bobo bareng’. Dia masih cukup waras untuk membuka hal paling pribadi tersebut. Hanya cukup menjadi rahasia dia dan Yoga, oh tentu saja Tuhan dan malaikat pencatat dosa-dosanya. "Itu pertanyaan sama buat Ka Chantika, kenapa kakak mau nikah sama ini lelaki!" Ucapnya sarkasme, sambil menunjuk muka Riefaldi sebal. Riefaldi tertawa keras, hingga putri kecilnya teralih kan, menatap papanya dan ikut tertawa. "Gue jelas berkarisma, chantika mana mungkin menolak. Iyakan, sayang?" Tanpa malu, lelaki itu mencium bibir istrinya. "Aduh, sakit.. yank!" Dia meringis, karena dihadiahi cubitan maut istrinya. "Udah deh kalian, nggak usah bahas hal yang sama berulang-ulang. Nggak bosan apa!" Dia kemudian kembali menyuapi Mishall. "aaaa sayang, nah.. good girls." "Entar sore pada mau nobar di tempat Irfan?" Chantika langsung menoleh, "Nobar apa?" Sepertinya, Riefaldi belum bilang sama istrinya. Riefaldi menyengir lebar. "MotoGP, di tempat Irfan nanti jam empat." "Ko, kamu nggak bilang. Terus entar yang jemput si kembar siapa?" April tidak bisa menahan tawa, melihat wajah kikuk Riefaldi. "Apa lo ketawa-ketawa!" Dia melotot memperingati. "Ya elah, lagi lo kebiasaan kalau mau main lupa izin sama istri." Ledek April lagi. "Kamu benar, Pril." Chantika kembali pada suaminya. "Memang, kamu tuh kebiasaan. Kalau mau ada acara kasih tahunya dadakan." Chantika mencibir. Padahal apa susahnya kalau bilang, para istri juga tidak akan melarang selama itu masih positif. Sama seperti para istri, para suami juga butuh ‘me time’. "Sayang, aku lupa.. Swear!" Chantika menghela napas, "Ya sudah, nanti berangkatnya kamu sambil antar aku. Pulang nobar kamu jemput kami." Putusnya pengertian, tentu saja Riefaldi senyum semringah. "Iya, setelah selesai aku pasti langsung jemput kamu. Masak apa, yank? Lapar nih!” Interupsi Riefaldi kembali membuat Chantika beralih padanya lagi. "Dari tadi aku sudah ajak, mau makan kapan, kan? Kamu bilang, nanti saja." Chantika sedang kesal aja masih bisa lembut begitu, April jadi heran. "Tadi lagi tanggung kerjaan, sayang." Riefaldi lalu berdiri. "Ikut makan yuk, Pril." Ajaknya "Nanti aja, di rumah. Makasih." "Ya elah, dilarang sama Yoga lo makan di rumah gue?" April memutar bola mata ke atas, "Apaan sih, aneh aja!" Riefaldi terkekeh, kemudian berlalu ke ruang makan. Benaran lapar rupanya dia. Chantika meletakkan mangkuk di meja. "Pril, nitip Shal bentar ya." "Oke.. ini nggak apa-apa kalau aku yang lanjut menyuapi, Shal?" Chantika memberi senyuman lebar, "bolehlah.. hitung-hitung belajar, kan?"  Katanya lalu menyusul suaminya. April tercenung, menatap balita cantik di depannya. Mata beningnya, memancar indah. Seakan menggambarkan, betapa suci anak seusia mereka. "Apakah aku akan siap, memiliki anak secantik dirimu, satu?" Mishall yang tidak paham, malah tertawa, tangannya terulur mengelus pipi tantenya itu. Sentuhan lembut yang membuat dua sudut bibir April tertarik. "Teeeee!" Mishall bergumam lucu, khas bahasa bayi. "Maaam!" April tertawa, bayi gembul ini protes karena April belum juga menyuapi. "Ya ampun, pantas pipi kamu kayak bakpau gini. Si cantik, mam-nya pintar." Lalu dia mulai menikmati menyuapi balita cantik itu, dengan telaten. Chantika yang berniat untuk melihat keduanya, terdiam dibatas pintu pintu penghubung ruang makan dan ruang keluarga. Tersenyum kecil melihat April sampai Dia yakin, setiap wanita akan siap menjadi ibu. Karena kodratnya memang begitu, April hanya butuh waktu untuk meyakini itu. *** Me: kamu dimana? Belum selesai acara nobar-nya? Berulang kali April melihat Chat terakhir yang dikirim beberapa jam lalu, sudah jam delapan malam. Tapi, Yoga belum kembali dan tidak ada kabar sama sekali. April, menghela napas. Ke mana Yoga? Harusnya acara nobar mereka sudah selesai. Pikirnya. Tidak tahan jika harus menebak-nebak, akhirnya diputuskannya untuk menghubungi, Chantika. Riefaldi pasti tahu ke mana, yoga. Tidak sulit menghubungi sepupunya, "Hallo, pril?" setelah menjawab salam Chantika langsung bertanya. "Ka Al, udah pulang belum.. Kak?" April berharap jawabannya adalah belum, untuk membuat hatinya lebih tenang. "Udah, ini kami baru sampai rumah." Seketika perasaannya jadi gelisah. April berdiri, wajahnya tegang. "Yoga belum pulang, boleh minta tolong tanyakan pada kan Al, nggak kak?"  "Oh, bentar aku tanyakan." Terdengar suara obrolan di seberang sana. April harus menunggu beberapa detik. "Pril.." "Iya, Ka?" April menunggu jawaban dengan cemas "Yoga masih sama Irfan, Al pulang duluan." April mendesah lega, suaminya ternyata masih di tempat sahabatnya. Kemudian dia mengucapkan terima kasih dan menutup panggilannya. Tidak lama notifikasi masuk. Suamik: Jangan menungguku, tidurlah lebih dulu. Artinya dia harus lebih lama, merasa sendirian di apartemen. Wajahnya murung, kemudian menekuk kedua kaki hingga naik diatas sofa. April memeluk dirinya sambil menatap hampa pada layar ponselnya, di mana ada foto suaminya yang diambil diam-diam saat mereka sedang Honeymoon di Italia waktu itu. Lalu April menatap ke sekitar ruangan Apartemen, sepi dan hampa. Kalau sedang ditinggal sendiri seperti ini, perasaan itu membuat dia kalut. Yoga tidak memikirkan dirinya, bagaimana dia sendirian di malam Weekend seperti ini. April bukannya melarang Yoga kumpul atau datang ke acara teman-temannya. Hanya saja, Yoga terkadang lebih terlihat tidak ingat bahwa dia kini memiliki istri yang sendirian menunggu di rumah. Inilah alasan terkuatnya, mengapa April kekeh ingin tetap bekerja. Dia tidak bisa membayangkan, jika seharian harus di rumah, menunggu suami pulang. Hampir tengah malam saat Yoga pulang ke rumah, langsung ke kamar dan mendapati istrinya sudah tidur di ranjang mereka. Yoga mendekat, hendak menarik selimut saat menyadari istrinya memakai salah satu kaos favoritnya. Jersey Inter Milan, tim sepak bola favoritnya. "udah pulang?" April menyadari kehadiran Yoga, dia bertanya tanpa membuka mata. "Tidurlah lagi, aku mandi dulu." "Heum.." gumaman dia sebagai jawaban, lalu mengubah posisi miring ke kanan, dan melanjutkan tidur. **** Alarm yang di setting membangunkannya, tangannya terulur dari balik selimut mematikan alarm tersebut sebelum benar-benar membuka mata. April sudah membiasakan diri tidur dibelit lengan kekar ini yang sulit dilepaskannya. Jujur saja, dia masih kesal dengan Yoga karena semalam lelaki itu pulang larut. April berbalik untuk bisa menghadap suaminya, dia memperhatikan wajahnya. Yoga mengerakkan kepala, mengerjapkan mata. "Jam berapa ini?" "Lima, nggak lari pagi?" Tubuhnya bergerak, menarik tangannya dari pinggang April. Dia berbalik. "Nggak, aku masih mengantuk banget." April tidak menanggapi, dia memilih bangun beralih ke kamar mandi. Sampai jam sepuluh, Yoga masih belum bangun juga. Istrinya sengaja tidak membangunkan dan memilih pergi ke supermarket sendiri. April mendorong troli dan mengambil berbagai macam barang sesuai daftar catatannya. Menelusuri daftar belanjaan dan memastikan tidak ada yang terlupa. Ponselnya berbunyi, saat dia sedang melihat-lihat di wilayah daging. Yoga Calling... April menarik napas panjang, membiarkan sesaat barulah diangkat. "Kamu dimana?" Yoga menodong langsung. "Supermarket, aku sudah meninggalkan pesan dan sarapan diatas meja makan." Sepertinya Yoga tidak membuka tudung sajinya. Sehingga pesan yang dia tinggalkan tidak dibacanya. "Sarapan kamu belum dimakan?" Pasti nasi goreng yang dia siapkan sudah dingin, akan tidak enak jika Yoga memakannya. "Belum. Kenapa nggak banguni aku?" "Kalau gitu, sebaiknya jangan kamu makan. Pesan saja dari luar, pasti udah nggak enak." "Itu urusan gampang, kamu masih di supermarket?" "Ya, aku nggak membangunkan karena kamu terlihat nyenyak sekali. Jelas, kamu butuh tidur lebih panjang, setelah main sampai malam." Kata April sedikit mencibir. "Naik apa? Kunci mobilmu ada diatas nakas?" Yoga tidak menanggapi cibiran April. "Taksi." "Jangan ke mana-mana sampai aku sampai!" Perintahnya, lalu tanpa menunggu mengakhiri panggilan. "Bossy!"  menggeram, April kesalnya bukan main, bahkan kalau dia tak waras dan mengingat dimana dia sedang berada. Pasti April sudah teriak dan marah-marah. Rasanya, kesal sendiri punya suami tidak peka seperti Yoga. *** Yoga benar-benar muncul, dia mengabari sudah di lobi Mal. April tentu langsung mendorong troli yang membawa beberapa kantong belanjaan, hampir semua berisi keperluan rumah tangganya, bahan makanan. "Kenapa nggak masuk aja sih, di dalam pilihan tempat restonya banyak." Tanya April heran, begitu Yoga sudah duduk di balik kemudi setelah memasukkan kantong-kantong belanjaan ke bagasi. "Kamu beli bahan makanan?" "Ya, itu isinya sebagian besar stok bahan makanan. Kenapa?" April menarik sabuk pengaman. Mobil mulai meninggalkan halaman Mal. "Aku mau coba menu yang baru kamu bisa." "Hah? Kamu mau apa?" April melongo, dia langsung menatap suaminya. Jelas dia terkejut, karena baru sekarang Yoga meminta dia masak, secara khusus. "Masak, kamu sudah belajar. Pasti ada masakan yang mulai kamu bisa, kan? Aku mau makan masakan baru kamu." "Ada, kebetulan aku tadi beli bahan-bahannya. Tapi, kamu harus jujur ya nanti. Kalau enak, bilang enak dan sebaliknya. Aku nggak akan tersinggung." Kritik adalah hal membangun untuk memperbaiki yang kurang, agar ke depannya jauh lebih baik. Termasuk, dalam hal masakannya. April lebih menerima jika yoga jujur saat nanti mencoba masakannya. [to be continued]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD