Ana duduk di meja makan hendak menyingkirkan piring sarapan yang tidak di makan oleh Braven. Tetapi ia hanya diam dengan pikiran nya sendiri.
"Baca itu…" ucap sekretaris Jane (46) yang baru datang.
"Apa ini??"
"Peraturan lengkap yang saya buat. Dan saya akan memberitahu mu tentang bunga lili itu…"
Ana menoleh penasaran. "Ya.. katakan tentang itu"
Jane duduk tepat di hadapan nya.
"Ibu tuan Braven sudah meninggal 8 tahun lalu. Ia mempunyai trauma pribadi terhadap bunga itu. Ia juga meninggal karena bunga itu. Yang melakukan nya adalah keluarga bibi Pramita yang ingin merebut aset keluarga tuan Braven. Bahkan saat kematian ibu nya, bibi Pramita datang dengan bunga Lili… itu sangat menyakiti hati tuan Braven. Hingga kini pun bibi Pramit sering mengirim bunga Lili kesini sebagai bentuk penghinaan. Saat datang atau bertemu, lagi-lagi bunga itu juga bibi Pramit berikan. Tuan sudah muak dan depresi jika menyangkut bunga tersebut. Jadi usahakan jauhkan dari pandangan nya.."
Ana begitu menyimak nya dan kembali merasa bersalah. "Tetapi kenapa anda tidak memberitahu saya sejak awal?"
Jane tersenyum, "Ada buku biru di nakas kamar mu. Semuanya ada di sana. Kamu tidak baca?"
"Ah.. aku tidak tau" jawab nya menunduk.
"Yasudah. Jangan sampai hal seperti ini terulang lagi. Jika ada yang ingin di tanyakan, hubungi Zero number" ucap nya santai berlalu pergi.
-----------------
Braven terheran melihat meja makan yang sudah lengkap dengan makanan. Lalu Ana keluar membawa piring lainnya.
"Duduklah, tuan. Saya mencoba menu kesukaan anda"
"Apa yang kamu lakukan??" tatapannya menajam.
Ana menarik kursi untuk Braven. "Saya menyesal dengan apa yang telah saya lakukan. Saya minta maaf.."
Braven pun duduk, "Apa kamu sedang main-main dengan saya?!! Kamu sudah saya pecat…"
"Keadaan nya lebih buruk dari perkiraan saya. Sampai-sampai saya tidak berpikiran panjang. Saya minta maaf dengan tulus. Hal itu tidak akan terulang lagi" ucap Ana lemah.
Sementara mata Braven fokus pada bibir Ana dan pikiran nya melayang lagi. Tangan nya meraih pinggang Ana dan memaksa untuk duduk dipangkuan nya dengan wajah yang berdekatan.
"Tuan.. apa yang anda lakukan?"
"Benarkah kamu menyesal??"
"Ya.. saya menyesal. Tapi bisakah saya berdiri saja??"
Namun Braven justru mempererat tangan nya di tubuh Ana. "Baiklah.. kalau begitu kamu akan saya hukum"
Ana menoleh, "Di hukum?? Tapi saya sudah minta maaf"
Braven tersenyum, "Mulai saat ini kita bicara santai saja. Layani aku lebih baik lagi. Jangan melawan.. dan tidurlah dengan ku malam ini"
"Apaa?? Tidurr dengan anda?" Ana terkejut dengan permintaan Braven.
"Ku bilang santai saja" perintah nya.
Ana berusaha melepaskan eratan Braven, "Ya baiklah.. hhgg kalau begitu lepaskan aku dulu. Aku bisa menuruti yang lain, tapi kenapa harus tidur bersama?? Aku hanya seorang pelayan!"
"Kalau begitu seharusnya melayani ku, bukan??" tanya Braven mencoba menggoda nya.
Akhirnya Ana bisa lepas dan berdiri, "Ya, tapi bukan melayani yang seperti itu. Sudahlah…" ucap nya hendak ke belakang. Tetapi lagi-lagi Braven menahan nya.
"Baiklah.. jangan marah. Yasudah kalau tidak mau tidur bersama. Siapkan kimono tidur ku di kamar" kepalanya mengarah ke atas memberi perintah.
Ana menghela nafasnya, "Aku harus melakukan panggilan penting dulu. Makanlah.. nanti aku menyusul"
"Yasudah.."
………
Braven keluar dari kamar mandi hanya dengan lilitan handuk sepinggang. Rambut dan punggung nya masih sedikit basah. Ana sempat terpaku melihat badan kekar milik Braven di sertai beberapa tatto.
"Aku siapkan yang ini. Sudah ya.."
"Tunggu dulu. Pakaikan sekarang.." pinta Braven.
Tidak ingin berdebat. Ana maju dan membantu Braven mengenakan nya. "Kamu bukan anak kecil, tuan. Selalu saja minta di pakai kan" keluh nya.
Braven memajukan wajah nya. "Ada apa dengan ekspresi itu?? Kamu sedang kesal? Karena saya?"
"Bukan.. ada yang lebih membuatku kesal"
"Katakan.."
Ana menatap Braven beberapa saat. Kenapa ia tidak terpikirkan? Tadi ia sempat menelepon pihak bank luar negeri dan meminta di kirimkan email prosedur untuk transfer uang nya ke rekening disini. Tetapi ternyata si Pengusaha tua bangka Paris yang berusaha menikahi nya itu terus menghubungi pihak bank dan bahkan mempunyai kuasa untuk menahan transaksi apapun.
Mudah saja. Pria itu memang memiliki segalanya termasuk power dan koneksi. Setelah meminta bantuan teman nya di Paris. Ia diberitahu bahwa setidaknya harus mempunyai seseorang yang handal dan berkuasa untuk menyelesaikan hambatan disana dengan pihak bank.
Ana ragu dan takut mengatakan nya. Tetapi hanya ini satu-satunya cara dan tidak ada salahnya mencoba.
"Sebenarnya aku ada masalah. Dan ingin meminta bantuan mu.. tolong aku kali ini saja. Setelah itu aku bisa langsung melunasi hutang bibi juga" ucap nya khawatir.
"Apa yang kamu bicaraka, Ana?"
"Aku.. memiliki sejumlah uang di bank luar negeri. Tetapi ada masalah sehingga aku tidak bisa mengambilnya"
"Berapa banyak? Itu tidak sulit, kamu hanya perlu pergi kesana dan mengikuti prosedur saja" jawab Braven.
"Umm.. sekitar 9 Milyar jika dirupiahkan. Tetapi ku bilang tadi, ada masalah yang sangattt sulit"
Braven mulai berpikir dan duduk di ranjang nya. "Kamu punya uang sebanyak itu? Boleh juga ternyata menjadi pemain biola. Apa ada pekerjaan sampingan di kapal pesiar?" Goda Braven dengan tatapan aneh.
Ana merasa kesal mendengar nya, "Apa yang kamu pikirkan!! Tentu saja jika dilihat dari dimana aku bekerja. Penghasilan disana sangat besar, aku juga cukup mempunyai kelas tinggi. Sering dipanggil dalam acara besar. Aku sangat bekerja keras dan tidak berhura-hura"
"Benarkah…kalau begitu jelaskan apa masalah nya? Masalah yang sangattt sulit itu ??"
Pertanyaan itu membuat Ana menelan ludah dengan susah payah. Braven mungkin akan mulai berpikir bahwa ia w***********g disana jika sampai pengusaha kaya raya mengejar nya untuk di nikahi.
(... Ana mulai menjelaskan… )
Braven berubah tanpa ekspresi. Ia terlihat berpikir serius. Apa arti dari itu? Apa Braven tidak ingin membantunya? Ingin mengusirnya?
"Kemarilah…" ucap Braven dingin.
Ana mendekat dengan ragu, duduk disamping Braven.
"Tentu saja aku bisa membantumu dengan mudah. Meskipun aku tidak tau seberapa kaya dia. Tetapi akan sangat membutuhkan usaha dan koneksi yang tidak mungkin kamu lakukan sendiri" ucap Braven berbisik.
"Kamu bisa membantuku?"
"Dengan syarat…".
"Apa?"
Tatapan mereka bertemu.
"Kita menikah, setelah kamu kembali dari Paris" bisik nya dengan halus.
"Apa??!!!! Menikah? Maksud tuan, kita??" Ana syok bukan main mendengar syarat tersebut.
"Ya.." angguk Braven.
Bersambung...