Chapt. 2

956 Words
Pagi hari.          Braven selesai dari kamar mandi dan bersiap untuk ke perusahaan. Tetapi pandangan nya terjeda melihat wanita semalam ada diruang ganti nya sedang menyiapkan pakaian.  Braven berjalan mendekat tanpa ekspresi sambil mengencangkan handuk yang terlilit di pinggang nya. Tangan nya merenggang tepat di hadapan wanita itu, membuat Ana menatap tidak mengerti sekaligus terkejut dengan visual Tuan nya.  Ana pun mundur 2 langkah lalu membungkuk.  "Tuan. Saya Ana pengganti bibi Nun" "Cepat pakaikan kemeja" ucap nya dingin. Ana buru-buru membantu Braven mengenakan kemeja dan bahkan memakaikan dasi pilihan nya. Selama itu pula Ana tidak berani berkata apa-apa. Sebab tampang Braven yang mengerikan. Kini ia bahkan tidak tau lagi harus apa, sementara Braven menghadap kaca besar sedang memakai jam tangan. Ia mengikuti langkah Braven ke meja makan. Mengambilkan sarapan yang sudah ia buat pagi-pagi tadi. "Duduklah" singkat Braven. "Ya??" tanya Ana. "Makan bersama saja. Duduk.." Tentu saja Ana merasa tidak enak. Ia menolak dengan sopan dan hendak menyiapkan sarapan untuk tukang kebun dan pekerja lainnya. Baru berjalan beberapa langkah, Braven memanggil nya dengan suara bariton mengerikan. "Saya bilang duduk, kamu tidak mengerti? Harus saya ulangi?"  tanya nya dengan tatapan lurus. Ana membuang pandangan sejenak. Jantung nya berpacu tak terkendali. Lebih baik menuruti saja untuk saat ini. /Ana mulai memakan sarapan nya. Beberapa suapan berlalu. "Nama mu Ana?" tanya nya datar tanpa melihat kearah nya. "Iya, tuan. Nama saya Riana"  "Usia_ ?" Ana meneguk minuman nya, "Saya 28 tahun" Braven telah selesai dan mengusap bibir nya dengan tisu. Melihat ke arah Ana dingin. "Apa pekerjaan asli mu?" "Saya… saya pemain biola disebuah kapal pesiar. Sudah 4 tahun ikut berlayar dari Prancis" ucap nya jujur. Hal itu membuat Braven melihatnya lebih jelih lagi. Dari penampilan dan keanggunan nya memang sudah jelas terlihat. Wanita ini tidaklah buruk. Ia semakin berpikiran liar terhadap Ana. "Baiklah…" ucap nya singkat. Melihat punggung Braven menjauh pergi, membuat Ana dapat bernapas lega. Aura nya benar-benar mengerikan. Ia juga tidak percaya ternyata bos nya masih muda dan tampan. Ia pikir akan melayani orang tua yang tinggal di Villa besar. -------------- Pukul 22.56 Seperti kemarin, Ana berada di taman samping menggunakan dress tidur yang sepanjang mata kaki. Kali tidak sedang menulis, hanya melipat kedua tangan nya di d**a untuk menahan dinginnya angin malam. /Villa ini bagaikan rumah impian nya. Sempat berpikir untuk membeli yang seperti ini juga menggunakan uang dollar simpanan nya. Ana sampai merasa tidak sabar hari itu datang, setelah menyelesaikan pekerjaan nya. 8 bulan lagi. Hmm ini bahkan baru saja di mulai. /Terbentuk garis senyum di wajah nya. "Apa yang kamu lakukan disini???" suara pria mengejutkan Ana. Ia membungkuk karena ternyata ia adalah tuan muda. Wajah nya terlihat sedang marah. Apa yang terjadi. "Tuan…" "Apa kamu tidak mengerti?? Kemarin saya sudah membuang bunga Lili yang kamu letakan di bathub saya. Dan sekarang menaruh nya lagi??" "Maaf, tuan. Saya hanya.. saya pikir itu sudah layu, maka nya saya letakkan yang baru. Apa tuan tidak menyukainya? Kalau begitu biar sa---..." belum sempat melanjutkan ucapan nya. Braven sudah terlanjur meledak. Ia mencengkram tangan Ana sekuat tenaga hingga Ana merasa kesakitan, "Berani nya kamu datang kesini tanpa tau apapun?!!" "Tapi, bunga itu diberikan oleh tukang kebun. Saya kira untuk hiasan" ucap Ana menahan perih. "Enyahlah bersama bunga itu. Kalian sama-sama membuat saya muak!!" ia mendorong Ana dan berbalik masuk ke dalam dengan marah. Ana pun mengejar nya, sambil memohon ampun. "Maaf tuan. Bukan seperti itu… saya benar-benar tidak tau dan mengakui kesalahan saya.. saya tidak akan melakukan nya lagi. Tapi bisakah anda memberitahu alasan nya, mengapa anda begitu marah hanya karena bunga itu?" Mendengar ucapan Ana, Braven berhenti tepat setelah menaiki anak tangga. Ia menatap Ana dengan frustasi. "Tuan… setidaknya katakan mengapa…" Tanpa aba-aba dengan penuh amarah, Braven mendorong Ana ke pilar dan mencium nya dalam-dalam. Tangan nya memaksa tubuh Ana agar tidak bergerak. Menggerakkan semau nya, sekuat-kuat nya. Ciuman panas itu tidak kunjung Braven lepaskan. Bahkan tanpa sadar bagian d**a Ana terbuka saat Braven membuka matanya. Kemudian kembali memejamkan mata menikmati manis nya bibir Ana. Sementara Ana berusaha melawan tetapi berakhir pasrah karena kehabisan nafas dan tenaga. Ia tidak kuat melawan tubuh kekar Braven. Hingga akhirnya ciuman itu berakhir dengan hembusa nafas Braven yang sangat dekat. Mata Ana memerah, ia memalingkan wajah nya kesal. Hati nya menjadi tidak terima.  Braven menatap nya tajam. "Bagaimana bisa anda mencium pelayan seperti ini?? Apa bahkan anda mengenal saya??!!" air mata nya mengalir membalas tatapan Braven. Masih dengan posisi yang sama. "Kenapa kamu datang? Apa kamu hanya membawa tubuh mu tanpa mempelajari hal penting sebelum menginjakkan kaki di sini??!!" Ana sesenggukan, "Ya, saya datang hanya membawa tubuh. Tetapi bukan untuk di perlakukan seperti ini, tuan. Biarlah saya membersihkan toilet dan mengepel lantai.. tetapi anda sungguh melewati batas" Braven tersenyum miring, asal meludah ke lantai. "Apa kamu yakin tidak mencaritahu saya lebih dulu dan menjadikan target? Atau.. seseorang mengirimkan mu kesini? Katakan !!" Ana tidak mengerti. "Apa yang tuan bicara kan? Anda.." "Katakan yang sebenarnya!!" Bentak Braven mengerikan. "Tidak ada!! Saya kesini untuk melunasi hutang bibi dan membayar biaya perawatan nya. Apa lagi yang ingin anda tahu?? Penilaian anda benar-benar kejam" ucap nya merasa cukup dan pergi menuruni anak tangga kembali ke kamar. Lalu terdengar suara pecahan guci di atas. "Ana.." panggil Jane yang baru saja datang. Namun Ana melewati nya. Jane berlari ke atas melihat kekacauan disana. "Tuan muda. Apa yang terjadi??" "Singkirkan bunga sialan itu!" ucap nya berlalu pergi. Kini Jane mengerti. Ia pun mencari keberadaan bunga tersebut dan membuang nya. Hal fatal seperti ini juga membuat Jane frustasi. Setelah membereskan nya. Jane rasa ini bukan waktu nya untuk bicara. Ia pergi dan akan kembali lagi besok. Sementara Braven pergi ke bar privat nya. Di ruang penyimpanan anggur bawah tanah. Pikiran kacau setiap kali berpikir terlalu jauh. Hingga tidak ingin mempercayai Ana lagi. #Keesokan pagi. Suasana sangatlah dingin. Ana menahan kesal nya dan bersikap profesional saja tanpa memperdulikan pria itu. Tetapi sudah berdiri lama di depan kamar Braven tidak juga di buka kan pintu. Hingga akhirnya Ana turun menunggu di meja makan. Dan benar saja. Braven datang, lalu Ana segera menyiapkan piring. "Pergilah. Tidak usah datang lagi" singkat Braven. Ana menatap tidak percaya. 'Apa?' Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD