"Jangan terlalu yakin, Bu. Belum tentu dia seperti yang Anda katakan, lagipula itu sudah cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan Anda jika Anda bisa mengelolanya. Berhenti bergantung pada putri Anda, meskipun Anda sudah berjasa dalam hidupnya. Seorang anak dibesarkan bukan sebagai aset untuk masa tua, mereka memiliki tujuan hidup sendiri kelak. Jika Anda tidak mau, maka kembalikan saja." Lois mengoceh panjang lebar, agar Maria sadar.
"Huh, kelihatannya saja elit dan berduit, tapi tetap saja perhitungan. Kamu masih perawan kan, Calli?" tanya Maria menatap putri angkatnya itu.
"A-aku akan membereskan barang-barangku dulu," ucap Callista gugup dan segera berbalik masuk.
"Jangan bilang kamu sudah tidak perawan, Calli! Kenapa tidak menjawab?!" tanya Maria berteriak.
"Pertanyaan macam apa itu, sedangkan sekarang aku merasa seperti dijual. Bisa-bisanya Mama tawar-menawar seperti sedang menjual barang," gerutu Callista tanpa menggubris Maria.
"Dasar anak tidak tahu diri, selalu berpura-pura polos. Tapi lihatlah, dia pasti sudah benar-benar tidak perawan lagi. Percuma saja aku menjaganya selama ini, tahu begitu aku jual sejak lama." Maria mengoceh pelan tapi masih bisa di dengar oleh Lois.
"Setelah dia ikut kami, Anda tidak punya hak lagi atasnya. Jadi jangan pernah mengusik apalagi mendatanginya," ucap Lois mengingatkan.
"Kalian ini aneh, kami yang membesarkannya dengan susah payah. Tapi kalian yang menguasainya setelah dia berguna, padahal apa yang kalian berikan tidak sepadan dengan apa yang sudah kami keluarkan."
"Anda harus sadar, jika dia hanya bekerja di restoran itu apa mungkin dia akan menghasilkan sebanyak yang kami berikan? Bukankah suatu saat dia akan memiliki kehidupannya sendiri, jangan bilang kalau Anda akan mengikatnya sampai dia tua?"
"Terserah kami dong, aku dan suamiku membesarkan dia juga dengan biaya yang tidak sedikit. Bahkan memberikannya pendidikan," sahut Maria tidak mau kalah.
"Pendidikan yang bahkan tidak dilanjutkan? Itu kenapa dia hanya bisa bekerja di restoran," ucap Lois sinis.
"Apa Anda menyelidiki semuanya tentang kami? Kenapa Anda bisa tahu banyak?" tanya Maria mengernyitkan dahinya.
Lois hanya tersenyum sinis, tidak menjawab lagi apa yang dikatakan Maria. Sementara itu, di kamarnya Callista yang sedang membereskan barang-barangnya sedang mengatur strategi dalam pikirannya. Dia menatap jendela di kamarnya, sedikit sulit untuknya keluar melalui jendela itu karena ada teralisnya. Itu kenapa dia sering masuk lewat jendela dapur yang tidak memakai teralis.
"Aku ada ide, aku keluarkan saja barang-barangku lewat jendela itu, begitu juga dengan tasnya. Nanti aku keluar dari jendela dapur, aku pura-pura saja ingin minum. Akhirnya aku dapat ide juga," gumam Callista tersenyum sendiri.
Callista segera beranjak, dia mengeluarkan kembali barang-barangnya yang ada di dalam koper. Dia memasukkan beberapa di koper untuk pura-pura di bawa keluar, tapi barang yang biasa dia pakai akan dilemparkan keluar dan dibawa dengan tas biasa. Setelah melakukan apa yang direncanakannya, Callista keluar dari dalam kamar.
"Kita pergi sekarang," ucap Lois.
"Tunggu sebentar, aku mau minum dulu. Aku sangat haus dan harus ke kamar mandi," sahut Callista menghentikan langkah Lois.
"Cepat, kami tidak punya banyak waktu."
"Iya-iya, namanya juga haus dan kebelet."
Callista bergegas menuju dapur, dia langsung keluar melalui jendela. Dia memutar ke arah jendela kamarnya, dengan cepat memasukkan barangnya ke dalam tas. Seperti orang dikejar setan, Callista melakukannya dengan sangat cepat. Dia pun berlari ke arah tembok belakang dan melompat dari sana, untungnya tembok itu tidak terlalu tinggi. Karena tidak mungkin dia melalui pagar depan karena ada orang-orang Maxime di sana.
"Taksi, mana taksi." Callista berlari ke arah jalan besar yang untungnya tidak jauh, dia menghentikan taksi yang kebetulan lewat.
"Syukurlah akhirnya aku bisa terbebas dari orang-orang itu," batin Callista menyandarkan tubuhnya yang lelah karena berlari dan terburu-buru tadi.
Lois yang menunggu Callista merasa risau saat lima belas menit berlalu tapi Callista tidak kunjung keluar, dia pun memerintah rekannya untuk memeriksa Callista. Salah seorang anak buah Maxime langsung menuju dapur, dia mencari kesana-kemari tapi tidak melihat Callista dia pun bergegas keluar kembali.
"Dia tidak ada di dalam, sepertinya dia kabur."
"Apa kamu sudah memeriksa dengan benar?" tanya Lois beranjak kembali.
"Sudah, Bang. Tapi tidak ada dimana-mana," sahut rekan Lois itu.
"Cepat cari dia!" titah Lois dan bergegas kelisr dari rumah itu.
Maria hanya tersenyum, menyadari jika Callista kabur. Yang penting baginya saat ini, Lois tidak membawa kembali uang yang sudah diberikan padanya. Artinya dia bisa memiliki uang itu, dia pun bergegas membawa tas berisi uang ke dalam kamar dan menyimpannya.
"Syukurin, akhirnya kalian tahu rasanya dikerjai anak itu. Terserah kalian mau bagaimana, yang penting uangnya sudah jadi milikku." Maria mengoceh sendiri dan kembali keluar untuk mengunci pintu.
"Berani sekali dia kabur, apa dia punya banyak nyawa." Lois menggerutu kesal sambil mengemudikan sendiri mobil yang tadi dikemudikan rekannya.
Saat Lois sedang mencari Callista, ponselnya tiba-tiba berdering. Lois yakin itu adalah bos-nya, dia sedikit takut untuk mengangkatnya tapi dia tetap harus mengangkat panggilan itu.
"Kenapa lama sekali, apa kalian ke ujung dunia?" tanya Maxime kesal.
"Maaf, Bos. Wanita itu kabur saat di rumahnya," jawab Lois takut-takut.
"Apa? Mengurus satu orang saja kalian tidak becus! Cepat cari dia!" tukas Maxime emosi.
"Baik, Bos." Hanya itu yang bisa Lois katakan, dia merasa bersalah karena sudah lalai menjalankan tugasnya.
Lois berkeliling mencari keberadaan Callista tapi tidak juga menemukannya, dia tidak tahu harus mencari kemana lagi. Sudah hampir tiga jam dia mencari tanpa arah yang jelas, Lois bisa menduga apa yang akan didapatnya karena tidak becus bekerja. Dia ingin mencari Callista sampai dapat, tapi sama sekali tidak ada bayangan di mana dia berada. Dengan terpaksa, akhirnya Lois memutuskan untuk kembali. Karena dia merasa hanya akan sia-sia mencari keberadaan Callista, karena pastinya dia akan bersembunyi saat ini.
Setibanya kembali ke markas, Lois dan beberapa anak buahnya menghadap Maxime. Dengan tatapan tajam dan penuh kemarahan, Maxime memukuli mereka satu persatu. Bukan hanya dengan tangan kosong, tapi sebuah cambuk menghantam tubuh mereka. Namun, tidak ada teriakan sama sekali. Seolah mereka sudah terlatih untuk menerima pukulan seperti itu.
"Bagaimana bisa kalian kehilangan hanya seorang wanita biasa?! Apa yang kalian lakukan sampai dia bisa kabur?" tanya Maxime dengan napas memburu karena lelah setelah memberikan hukuman pada anak buahnya.
"Maafkan saya, Bos. Saya sudah lalai menjalankan perintah, tadinya kami sudah selesai bernegosiasi dengan keluarganya. Dan dia juga sudah bersiap pergi, lalu dia pamit untuk ke kamar mandi. Rupanya itu rencana untuk dia kabur," jelas Lois.
"Aku tidak mau tahu, kalian harus menemukannya. Aku berikan waktu tiga hari!" tegas Maxime.
"Baik, Bos. Saya berjanji akan segera mungkin menemukannya," sahut Lois.
Maxime hanya mengangguk, dia mencoba meredam emosinya. Dia yang tidak terbiasa dengan hal yang menurutnya sebuah kegagalan, benar-benar tidak habis pikir dengan kebodohan anak buahnya terutama Lois.