BAB.2

1023 Words
Aku mengecek kolong mejaku dan semakin panik saat benda yang dicari tidak ada. "Aduh, gimana nih,” ucapku frustrasi. Aku mulai memeriksa kolong meja sebelah dan benda itu tidak ada. Demikian pula saat melihat kolong meja punya teman-teman yang lain. Pada akhirnya, aku memutuskan menyerah saat panggilan paling keramat itu kembali terdengar. "Kepada seluruh siswa-siswi SMAN 5 untuk segera berkumpul ke lapangan dikarenakan upacara bendera akan segera dimulai!" Aku menghela napas berulang kali, mencoba tenang. Setelahnya, berjalan menuju lapangan dengan setengah hati. Aku pasti akan dihukum lagi. Hari ini adalah hari Senin. Pelaksanaan kegiatan rutin bernama upacara itu pasti dilaksanakan. Terlebih matahari bersinar dengan terang dan cerah. Aku tidak datang terlambat tetapi aku pasti akan kena hukuman. Karena lupa bawa topi. Sebenarnya, aku bukan lupa, tapi sepertinya topiku sedang bepergian tanpa pamit. Sejak dulu, aku memang pelupa. Jadi, untuk meminimalisir kemungkinan lupa maka aku meletakkan topiku di kolong meja. Namun, pagi ini topi itu lenyap. Entah kemana dia pergi, aku juga baru tahu kalau topiku itu bisa jalan sendiri. Aku pun berjalan menuju barisan tengah, menunggu keajaiban agar tidak dihukum. "Na, topimu mana?" tanya Alka. Aku menggelengkan kepalaku lemah. "Lenyap, nggak tahu kemana." Alka menghela napas pelan. "Yaudah, kamu ditengah aja, biar kehalang yang lain. Semoga nggak ketahuan," usul Alka, sahabat terbaikku sealam semesta. Aku hanya mengangguk mengiyakan usulan Alka. Walau masih terus berdoa dalam hati, semoga bisa selamat dari hukuman. "Bagi para siswa-siswi yang merasa atributnya tidak lengkap, silahkan memisahkan diri dari barisan dan berbaris di paling utara. Hukuman kalian akan bertambah jika ketahuan saat upacara sudah dimulai!" Pengumuman itu seketika membuat doaku terhenti. Pengumuman yang diucapkan itu bersumber dari seorang guru Matematika bernama pak Hamidi. Guru paling killer seantero planet kecil bernama SMAN Lima atau disingkat Smanma. Aku menoleh ke arah Alka, sahabatku itu hanya menggelengkan kepalanya dua kali seolah memberitahuku agar tetap stay di barisan dan mengabaikan pengumuman barusan. "Ka, aku keluar aja, deh," ucapku mulai ketakutan. Alka menggelengkan kepalanya sekali lagi. "Jangan! Kamu disini aja, aman, kok! Nggak kelihatan," cegah Alka. "Tapi, Ka kalau ketahuan bisa lari lapangan enam kali lho," kataku masih cemas. "Kagak, pasti aman, kok," kata Alka meyakinkan. "Tapi, Ka-." "Udah deh Ina Zakaria, nurut aja. Dari tadi ngoceh mulu, deh," protes Alka memotong ucapanku. Aku langsung menundukkan kepalaku melihat wajah Alka yang mulai kesal dan menunjukkan kemarahan yang jarang diperlihatkan. Upacara bendera pun dimulai. Aku mencoba menenangkan diriku sekuat mungkin tetapi tetap saja rasa takutku membuatku berkeringat dingin. Parahnya, keringatku itu sudah seperti kran bocor sehingga membuat seragamku basah. "Na, kamu nggak apa-apa?" tanya Alka saat melihat keadaanku yang mulai lemas, lesu dan letih mirip orang anemia. Aku hanya mengangguk kecil. "Nggak apa-apa," sahutku sembari mencoba memulihkan kesadaranku yang mulai menipis. "Wajahmu udah pucet kayak mayat mati gitu! Ke UKS, deh!" saran Alka. Aku hanya tersenyum kecil mendengar pernyataan konyol Alka. "Namanya mayat ya mati, Ka." Alka tersenyum kecil. "Kamu masih sadar rupanya," katanya setengah bersyukur. "Aku masih sadar, kok. Masih bernapas pula," sahutku. Alka tertawa kecil. "Na, Ina, masih aja bercanda. Udah pokoknya kamu harus get out! Si ikan lele mulai mendekat, kamu harus minggat," kata Alka memberi teguran keras. Yang Alka maksud sebagai 'ikan lele' di sini adalah pak Hamidi, guru Matematikaku. Selain sebagai guru matematika, juga merangkap bagian 'patroli' untuk menangkap para murid yang melanggar aturan ; terlambat masuk sekolah, berniat bolos, tidak mengerjakan tugas, atribut tidak lengkap dan lain-lain. Ada dua alasan kami memberi julukan pak Hamidi sebagai 'ikan lele'. Pertama, pak Hamidi memiliki kumis yang lumayan panjang dan beliau bentuk sendiri menyerupai kumis lele. Kedua, karena suka sekali marah. Beliau mirip lele yang PMS kalau diganggu. Jadi, julukan itu kami rasa adalah yang paling tepat untuknya. Meski memberikan julukan begitu, perlu diingat kami bukan murid durhaka. Kami hanya siswa Smanma yang mempunyai imajinasi langka. "Bentar, Na! Aku panggilin petugas PMR," ujar Alka lalu berjalan ke belakang. Tak lama kemudian si Alka kembali ke barisan setelah sempat keluar, memanggil petugas PMR yang memang berjaga di belakang barisan. "Nih, kamu urus Ina!" suruh Alka pada seseorang yang entah siapa. "Cih, kenapa harus dia sih?" Aku menoleh mendengar suara decihan itu. Yups! It's Alfa. "Ih, sapa juga yang mau diurus kamu," sahutku sewot. Alfa berdecak kesal. "Eh," Alfa tampak kaget dan mulai memperhatikan keadaanku. "Kamu sakit, Na?" tanyanya dengan nada yang sedikit menunjukkan kekhawatiran. Entah itu memang nyata atau hanya sekedar perasaanku saja. Alfa meletakkan tangan kanannya di keningku. "Waduh, panas! Telur aja mateng kalau suhu tubuhmu segini!" katanya mulai alay. "Apa sih," gerutuku. Alfa nyengir. "Oke, kamu sakit! Ayo ke UKS," ajaknya sembari merangkulkan lengannya padaku. "Ih, nggak usah gitu," tolakku sembari mencoba menepis lengannya. "Apa sih! Ditolongin juga, nggak usah jual mahal gitu, jual murah aja belum tentu laku," ucap Alfa yang membuatku semakin yakin untuk memusnahkannya dari peredaran bernama kehidupan. "Fa, aku-." Aku terdiam, mendadak pusing. "Tuh kan? Bandel, sih," Alfa ngomel. "Aku gendong, deh," putusnya lalu menggendongku sehingga aku mirip tuan putri yang sedang dibantu pangeran. Aku mendengar sedikit sorakan dari teman-temanku tetapi rasa sakit kepala, kesadaran minim dan kelemahan tubuhku membuatku tak bisa menikmati moment ter-so sweet sepanjang kehidupan Ina ini. Alfa menurunkanku di kasur UKS. Dengan perhatian dia menyeka keringatku dan menyelimuti tubuhku yang mulai gemetar karena panas-dingin. Sepertinya aku demam. "Fa, makasih," ucapku sebelum Alfa kembali ke lapangan. "Idih, apa sih! Biasa aja," sanggahnya. Aku hanya tersenyum kecut mendengar respon Alfa. "Kamu kan udah gendong aku di depan umum, takutnya kamu dikira taken!" kataku ngerasa sedikit baper. Alfa tiba-tiba saja ngakak membuatku merasa heran. "Taken sama siapa? Kamu?" tanya Alfa. Aku mengangguk. "Na," panggilnya. "Hm?" "Aku bakal taken sama kamu kalau kaum cewek udah musnah dan aku dipaksa jadi Homo," jawabnya santai. Aku merongoh kantong rokku dan mengambil buku kecil yang memang selalu aku bawa ke mana-mana. "Kamu baca apa?" tanya si Alfa penasaran saat aku mulai membuka notebook itu. "Baca mantera," sahutku sewot membuat si Alfa ngakak so hard. "Met baca, deh! Aku balik dulu," katanya lalu pergi. Aku menepuk jidatku setelah Alfa pergi. Malu. Na, jangan baper. Ingatlah, tanamkan dalam hati tapi jangan sampai mati kalau Alfa itu hanya cowok BBF (bikin baver falsu). Cowok kayak gitu, nggak pantes dipacarin tapi ditenggelamkan ke rawa-rawa!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD