“Selamat Pagi, Pak. Meeting sudah menunggu.”
Dia baru selesai menelpon Pak Ano yang menanyakan tentang meja baru April yang rencananya akan berada satu ruangan.
Seneng sih, ada yang diresehin kalau lagi gabut. Tapi nggak bisa bebas juga kalau dia mau ngapa - ngapain. Berasa ada yang ngawasin terus. Tapi lagi, April kalau di kantor galaknya nggak ketulungan.
Bisa gitu kenapa sih?! Awalnya dulu gimana kok dia nggak inget kenapa April bisa jadi jutek dan ketus begitu. Cuma sama dia lagi.
“Masuk dulu.” Sebenarnya dia gatel ngomong dengan nada begini sama April. Tapi April cuma mau nurut kalau dia ngomong pakai nada begini.
Tuh, April menurut, masuk ke ruangannya. Tapi pintunya dibiarkan terbuka. Ya nggak papa, sih. Lagian memangnya dia mau ngapain April? Di kantor ini. Dan ruangannya yang mirip aquarium ini tentu saja nggak kedap suara. Kalau ngobrol dengan nada biasa sih masih nggak akan kedengaran dari luar. Tapi yang namanya konotasi ‘ngapa - ngapain’ itu kan menyangkut banyak hal. Kalo korbannya teriak - teriak juga pasti kedengeran lah dari luar.
Dan satu lagi. Pintu ruangannya nggak bisa dikunci. Jadi ya mau ngapain memangnya? Dan Jun memeng tipe yang bisa bersikap fair kok. Di kantor ya di kerja. Kalau sedang khilaf, dia kerjain April sedikit, cuma biar moodnya bisa naik sebelum menghajar pekerjaan lagi.
Kalau dia tipe yang main - main, maka mungkin dia sampai di posisi ini di umur yang terbilang masih muda. Apalagi ini bukan perusahaan punya dia. Mau KKN kan susah.
“Kamu bawa map - map ini.” Dia menunjuk pada tumpukan Map yang sudah tertata rapi sejak sabtu kemarin. “Kamu tunggu saya di lobby. Kita berangkat bareng abis ini.”
“Baik, Pak.” Dia menurut. Mendekat untuk membawa map - map itu keluar seperti yang diinstruksikan Jun.
April baru saja keluar dan dia sedang bersiap - siap saat pintu kantornya terbuka lagi. Dia mendongak, dia kira itu April, ternyata Sabrina.
Datang dengan wajah ditekuk dan sebal luar biasa. Membuat keningnya berkerut heran. Ini perempuan tadi pagi salah makan apa gimana? Kok jelek banget mukanya. Nggak ada senyum - senyumnya.
“Mas Jun.” Panggilnya.
“Ya, Rin?”
Dia nggak merasa dekat dengan perempuan ini. Tapi kalau sekedar ngobrol, dia masih meladeni. Dia punya reputasi sebagai orang yang ramah, dan dia nggak mau merusak itu. Jadi senyum sapa dan basa - basi adalah kuncinya.
Dia mana tau kalau gara - gara itu banyak yang jadinya kepincut sama dia. Malah sampai ada yang gosipin dia tukang bikin baper cewek. Dia nggak baperin loh, dia biasa aja. Mereka aja itu yang baper sendiri. Terus kalau udah begitu, jadi salahnya dia? Kok lucu.
“Kok April yang jadi sekertaris, Mas, sih?!” Tanyanya ketus, tanpa dipersilakan, dia langsung duduk di salah satu kursi di depan mejanya.
“Memangnya kenapa?” Tanyanya santai. Dia tahu kalau perempuan diseberangnya ini selalu memandang April sebagai saingan. Padahal April hormat banget sama dia. Sebagai senior dan sebagai wanita… yang lebih senior.
“Kan aku lebih cakap kerjanya, Mas.”
“Memang.” Katanya tenang. Meladeni wanita yang lagi ngambek marah begini harus dengan taktik. Sentuh mereka di tempat yang tepat. Dengan perkataan, bukan dengan yang lain. Dan sentuhnya itu, dengan bahasa yang lembut dan pujian, bukan dengan nasehat yang bikin mereka mikir.
Karena percayalah, saat mereka lagi emosional seperti ini, perempuan nggak bisa mikir. Apapun yang kamu bilang itu mental. Nggak didengerin. Jadi ngobrol sama perempuan itu butuh skill. Dari mana dia tau semua ini? Nggak tau. Dia tau aja kalau sama perempuan itu harus ngapain. Dan selama ini berhasil. Kecuali sama satu orang. Bener. April. Juni nggak tau harus bagaimana lagi menghadapi perempuan yang jauh lebih muda dari dia itu.
“Memang kamu lebih mumpuni, Rin. Tapi kita nggak bisa kehilangan kamu sebagai in chief editor. We need you there.” Nah, sesuai dengan taktik Jun, Sabrina sudah berangsur - angsur tenang. Wajahnya masih memerah, tapi kali ini merah tersipu - sipu. “April bisa saja gantiin kamu jadi in chief dan kami ngambil kamu jadi sekertarisku, tapi resikonya besar. Jadi sekertarisku nggak ada deadline nya. Kerjaanmu ada. Kami nggak bisa bertaruh April bakal cukup cakap buat gantiin kamu di sana.”
“Gitu ya, Mas.”
Ya nggak sih, tapi itu yang pengen lo denger, batin Jun keki. Tapi dia cuma ngangguk.
“Jadi jangan berkecil hati. Kamu lanjut kerja ya, Aku ada meeting dengan redaksi baru yang mungkin bisa kita ajak gabung.”
“Oke, Mas Jun. Hati - hati ya, meetingnya.”
***
Secara kinerja, April cukup cekatan. Dia juga cepat belajar. Nggak susah ngajarin dia. Meskipun ini hari pertamanya sebagai sekretaris, harus Jun akui, semangatnya besar, inisiatifnya juga forward banget. Jun terkesan dengan itu.
Memang sih, dia pakai alasan yang cukup dibikin - bikin waktu mengusulkan April sebagai sekretarisnya. Tapi dia tau dedikasi April. Dia serius dengan pekerjaannya. Dan dia butuh orang dengan semangat yang sama.
Dia masih agak kesusahan saat dia butuh April dan dia masih harus mengangkat pesawat telpon untuk memanggil April ke sana. Agak kurang efektif. Jadi dia meminta IT untuk meminjamkan salah satu laptop yang biasa dibawa salah satu dari para petinggi untuk di pasang di mejanya.
“April, kamu ke ruangan saya. Bawa barang - barang kamu sekalian.”
Mereka sudah selesai meeting. Tender sudah didapat. Kontrak sedang dipersiapkan. Dan sekarang dia sudah mengerjakan yang lain. Pintunya diketuk tiga kali, sebelum dibuka. April berdiri di sana. Sebenarnya kalau didandanin, menurut Juni saja loh ya, April terlihat lebih menarik daripada Mei. Cantiknya April itu… elegant. Bikin orang segan. Sedangkan Mei. sekali lihat udah ketauan anaknya imut, manja dan bubly. Dua - duanya Jun sayang, kok. Mereka sama - sama adik kecilnya Jun. Tapi kalau ditanya secara selera ideal. Seleranya Jun ya lebih ke… tipe perempuan yang seperti April.
“Ya. Pak?”
“Masuk, tutup lagi pintunya.” Katanya. April ragu - ragu sejenak awalnya, tapi akhirnya tetap menurut. “Duduk.” Dia menunjuk kursi yang menghadap ke arah ke laptop. “Mulai hari ini, kamu kerjanya di sini dulu, ya. Kamu bisa pakai laptop ini sementara sampai meja kamu selesai terinstall.” Katanya setelah April duduk di depannya.
Dia kaget. “Kan saya ada meja, Pak. Di luar.” Bukan April kalau hanya menurut saja. Harus ada bantah - bantahannya sedikit. Apalagi kalau ngobrol sama Jun.
“Agak kurang efektif. Saya butuh kamu di sini. Akan makan waktu banyak kalau setiap saat saya butuh kamu, saya harus angkat telpon buat minta kamu datang. Jadi, mulai sekarang kamu sama saya di sini.” Jeda. “Pril? Lo kenapa? Muka lo merah banget. Lo sakit?!”