Nenek beneran nggak mau ikut mereka ngopi atau ngeteh di cafe. Jadi beliau ditinggal sendirian duduk di peron stasiun. Kereta Nenek masih sekitar empat puluh lima menit lagi datang. Satu jam lagi berangkat. Jadi masih cukup waktu sebenarnya untuk bersantai.
April sama Jun nggak setega itu kok ninggal Nenek sendirian. Mereka memilih cafe yang letaknya dekat dengan peron Nenek. Dan memilih duduk di dekat jendela. Biar bisa sekalian lihatin Nenek yang sekarang lagi duduk sendirian.
“Ini nggak papa beneran?” April bertanya sanksi.
“Kan udah diajakin, tapi nggak mau.” Jun mengangkat bahu santai luar biasa sambil menyesap kopi hitamnya.
April nggak minum kopi. Bisa disko nanti dia di kantor. Jantungnya sensitif. Jadi kalau minum kopi, bukannya bugar kaya kebanyakan orang, dia malah akan tremor, deg - degan dan dan jadi nggak fokus. Jadi dia ngeteh aja.
“Tapi kasian tau, lihatnya dari sini. Sendirian gitu kaya orang ilang.”
“Orang ilang mana ada galak begitu. Aduh!” Jun melotot nggak terima terkena gamparan April. “Coba aja lo deketin, pasti nanti kena marah lagi. Udah, biarin dulu. Dasar nggak ada kapoknya lo.”
“Gue kan hormat sama yang lebih tua.”
“Kok lo nggak sama gue?” Jun merasa dapat kesempatan untuk menuntuk April
Tapi ternyata masih mental. April tahan banting. “Modelan lo, dihormatin? Buat apa??!”
“Ya pokoknya ini dihabisin dulu abis itu kita samperin Nenek balik.”
“Tega lo sumpah!”
“Kok jadi gue yang tega?” Jun berseru nggak terima.
“Itu Nenek lo sendiri loh! Masa mau lo diemin gitu aja? Dasar lo durhaka.”
“Ya tau Nenek gue itu. Tapi kemarin malem dia abis bikin salah. Orang tua juga butuh buat introspeksi. Bukan yang muda aja yang disuruh terus - terusan ngalah dan minta maaf.” Jun mengangkat bahunya acuh. Matanya sudah jelalatan ke sekeliling cafe buat cuci mata. Bikin April pengen nyolok matanya pakai sendok gula.
Tapi nanti dulu, ada yang lebih urgent lagi daripada nyolok mata Jun sekarang ini.
“Sebenernya kemarin malam itu ada apa, sih?” Dia memajukan badannya ke depan, siap menyimak.
April makin semakin semangat saat Jun juga memajukan tubuhnya. Akhirnya dia bakal tau juga apa yang terjadi kemarin malam. Tapi alih - alih bercerita, Jun malah menyentil dahi April keras membuat April reflek memaki karena kesakitan.
“Mulut lo. Anak perawan mulutnya kok jorok.”
“Suka - suka gue, mulut - mulut gue.” April manyun, masih memegangi dahinya. Perih, tau! “Lagian kaya yang lo tau aja gue masih perawan apa nggak.”
***
“Hati - hati, Nenek. Sampai ketemu lagi. Kapan - kapan April main ke Surabaya, ya.” April melambai, mempertahankan senyum lebarnya saat mengantar Nenek masuk ke gate check in karena keretanya sudah datang.
Tapi seperti yang sudah - sudah, salam April yang penuh kehangatan bak wedang ronde di hari hujan diacuhkan begitu saja oleh Nenek. Nenek langsung melengos menoleh pada Jun yang bahkan nggak kepikiran buat pamitan sama Neneknya. Dia hanya mendekat buat salaman aja tadi dan nggak bilang apa - apa.
Saat April pelototin tadi, dia cuma angkat bahu tak acuh. Lalu kembali lagi melakukan kegiatananya yang sebelumnya. Ngapain? Melototin April, sambil tanya; Lo masih perawan, kan Pril?! Serius lo?’ Begitu aja terus dari tadi sampai April jengan sendiri.
Jadi, Nenek nyuekin salam April dan menoleh pada Jun.
“Nenek pulang dulu. Kamu jangan lama - lama bikin Nenek nunggu.”
“Nunggu apaan, Nek?” Jun bertanya bingung. Memberi atensi pada Neneknya untuk pertama kalinya sejak mereka keluar dari kafe tadi.
“Kok apaan, tho. Kamu tuh udah tiga puluh tahun Junaidi.”
“Pfft!” April membekap mulutnya sendiri agar nggak kelepasan ketawa. Jun dan Nenek kompak melotot padanya. Ya maaf, habisnya April nggak tahan kalau ada yang manggil Jun dengan nama aslinya; Junaidi.
Biasanya dia kalau lagi sebel banget sama Jun manggilnya ‘Juni’ atau ‘Juned’ bukan ‘Junaidi. Aduh, Jiwa receh April kenapa harus keluar di saat tak tepat begini, sih?!
“Terus kenapa, Nek?” April paham maksud Nenek kemana. Dan sepertinya Jun juga paham karena dia mulai kelihatan jengah.
“Mumpung Nenek masih hidup! Buruan cari istri. Apalagi sih, yang kamu tunggu!”
Jawaban Jun cuma ngedumel nggak jelas. Habis itu salim sama Nenek karena kebetulan pas itu ada petugas yang datang bilangin Nenek buat segera masuk ke kereta karena kereta mau berangkat.
“Ayo cabut! Udah telat ngantor!” Jun langsung berbalik pergi ninggalin April begitu saja, membuat April yang sejak jadi sekretaris Jun harus pakai heels, jadi terseok - seok.
“Ih, Juni!!! Tungguin!” Pekiknya.
Ya gil*! Bisa kesleo April kalau jalan setengah lari ngejar Juni begini pakai heels! Mana si Jun nggak ada tenggang rasa sama sekali langsung ngacir meninggalkan April begitu saja. Siapa sih, yang mengharuskan sekretaris harus tampil super formal termasuk nggak boleh pake sneakers?! Sneakers April yang cuma tiga pasang di rumah itu kan jadi nganggur! Dan dia juga harus beli sepatu formal lagi untuk kerja sehari - hari.
“Ya elaaah, lama!”
April hanya menggeram lalu masuk ke dalam mobil saat akhirnya dia sampai dimobil Jun. Lama - lama, coba aja lo yang pake heels sini, pasti ujungnya ngesot juga!
Kesel banget April lama - lama. Cowok model begini kenapa dia harus cinta banget, Ya Allah… Apa dosa April di masa lalu sehingga dia harus dihukum seberat ini. Memiliki rasa untuk seorang Junaidi Salim. Kesel sendiri kan, jadinya dia.
“Buruan jalan! Udah telat lama kita.”
***
“Pril. Serius gue nanya. Lo nggak…”
April ngeh kok ini Jun percakapannya mengarah ke mana. Yang nggak dia tau itu… kenapa Jun harus segusar itu? Hubungannya apa sih sama Jun? Kan itu hak April.
“Nggak apa.” Karena dia gagal paham maksud Jun, makanya dia sekarang pura - pura bego aja.
Jun menghela nafas gusar. Dia menoleh sekilas pada April yang duduk santai di sampingnya. Kan? Kaya gitu dia. Ini yang bikin April bingung. Kenapa Jun harus sampe gitu?
“Lo nggak… lo nggak beneran… serius, Pril lo… Lo masih perawan, kan?”
April mengangkat alisnya tinggi - tinggi hingga menghilang di balik poninya yang menyamping. Hari ini rambutnya di gerai dan hanya dijepit sedikit di kanan kirinya saja. Bikin penampilan April lebih fresh karena biasanya dia hanya di kuncir kuda atau dicepol asal saja ke atas.
“Gue harus jawab?”
“Iyalah!” Jun berseru nggak sabar. “Harus jawab!”
“Kalau gue nggak mau?”
“Nggak boleh! Harus mau!”
Lah kok maksa, sih?! Mereka sudah sampai di halte yang ada di dekat kantor, tempat April biasa naik bis. Sebentar lagi mereka sampai di kantor. April menengok sebentar wajah Jun. Kucel.
“Tapi kan itu harusnya privasi gue, Jun. Masa gue harus cerita juga ke lo.” Serius, sebenarnya April nggak ada niat godain Jun sampai sejauh ini. Dia masih perawan ting - ting, ya! Ciuman… apalagi ciuman. Gandengan sama gebetan aja dia nggak pernah lho! Masa Jun juga nggak tau itu sih? April kesel juga karena merasa diragukan. Dikira Jun April cewek apaan. Makanya sekarang dia mau kasih Jun pelajaran. Jawabannya dibikin muter - muter. Sengaja nggak mau kasih tau Jun yang sebenarnya.
Tapi jawaban kalem April malah bikin mata Jun berkilat makin marah.
“Bilang sama gue lo lakuin itu sama siapa?!”
“Biar apa?”
“Biar gue bikin impote* itu cowok karena udah berani nyentuh lo.”
“Emangnya apa urusannya sama lo, sih, Jun? Gue kan udah gede. Udah bisa nentuin gue maunya gimana. Bentar. Gue dulu yang ngomong.” Dia mengangkat tangannya, meminta Jun diam saat Jun nyaris menyela. Jun menurut. Dia mematikan mesin mobil sambil diam. Mereka sudah sampai di kantor. “Terus yang paling penting, emangnya lo siapanya gue?” Selesai bilang begitu, April langsung keluar dari mobil meninggalkan Jun sendirian.