DUA PULUH ENAM: AFTER PARTY

1120 Words
“Lo abis nangis, kenapa?” April pura - pura nggak dengar. Dia mengambil sendok dan mulai makan, membuat Jun sebal sendiri. Perasaan tadi April nggak tertarik sama apa yang dia bawa, eh kok sekarang mendadak jadi asyik mabget icip - icip ikan bakar yang dibawanya khusus untuk April. "Juni jangan reseh!!!" April melotot sebal saat Jun maju menyambar suapan yang seharusnya ditelannya. Padahal tadi dia sengaja nyendok ikannya banyak! Jun memang laknat. “Lo kalo ditanya jawab makanya.” Jun membela diri, sama sekali nggak merasa bersalah habis menyabotase makan malam April. “Lo ke sini tadi ngapain?” “Bawain lo makanan.” “Lo liat gue lagi apa?” “Makan.” “Ya udah makanya diem, ini kan lagi makan. Kenapa lo nyerocos mulu?” Rasanya April ingin kayang lalu salto, habis itu lanjut guling - guling. Kesel banget, gemes, pengen ngelus - ngelus pake parutan kelapa biar tambah alus. “Emangnya makan nggak boleh sambil ngobrol?” April mengangkat telunjuknya. “Heh. Lo TK lulus nggak sih?! Kata Bu Guru, makan jangan bersuar... hmmmh!” April melotot lagi, karena bibirnya dijepit Jun dengan jari telunjuk dan jempolnya. Gila ih si Jun! Dikira bibir April apaan, dijepit pake jari! April memijit matanya lembut. Sakit lagi gara - gara habis melototin Jun. Menyesal dia udah melotot sama Jun. Orangnya peka enggak, matanya yang sakit cenut - cenut sekarang. “Kenapa lo?” April menepis pelan tangan Jun yang memegang pundaknya. Dia mendelosorkan kepalanya di atas meja berbantalkan lengannya yang terlipat. “Gara - gara lo, nih.” Jun mengernyit tak terima. Kok jadi gara - gara dia? Emangnya dari tadi dia ngapain? Kan dia diem aja? Yang marah - marah dari tadi kan April. Nasib jadi cowok. Selalu saja salah. “Lo nyebelin, jadinya gue melotot sama lo. Sekarang kepala gue pusing, mata gue cenut - cenut. Gara - gara lo!” Jun menarik pelan bahu Apri, membuat gadis itu bersandar di sandaran kursi dan mengambil alih memijat pelipisnya pelan. Untungnya April nggak melawan kali ini. Buat apa? Rugi dia kalo lawan Jun. Badannya kalah besar. Lagian, pijatan Jun mantap banget! April sih udah pasti nggak mau sekip kalau dipijat gratis sama Jun. “Lo nangis berapa lama, sih?”Jun hapal betul, April nggak bisa nangis diem - diem. Selalu saja ada jejak tangis yang ditinggalkan April. Entah mata bengkak, suara sengau yang nggak enak buat didengar, dan kalau kelamaan, pasti jadi begini. “Kepo aja, sih.” Nafas April tersentak saat Jun menekan titik pusingnya, memberi sensasi lega dan nyaman sekaligus. Kepalanya terasa lebih enteng dari beberapa saat yang lalu. “Maafin, Nenek ya.” Saat nama Nenek diucap, tubuh April yang awalnya bersandar santai ke belakang di bagian saandaran kursi makan kini menegak. Tangannya menepis tangan Jun yang masih setia memijit lembut pelipisnya. Agak nggak rela sih, tapi kalau mau bahas ini, mending dia bersiap biar nggak terlena apalagi sampai keceplosan sesuatu yang membuatnya susah di kemudian hari. “Kenapa lo yang minta maaf.” “Gue tau lo nggak suka cara Nenek ngobrol sama lo. Lo ngerasa kaya di insult di depan banyak orang. Dan gue tau lo nggak suka diperlakuin kaya gitu. Sorry. Selama Nenek di sini juga lo jadi narik diri dari gue.” “Itu perasaan lo kali.” April berusaha menyanggah. Tapi Jun kekeh menggeleng. “Pril, gue kenal lo dari lo baru umur seminggu. Gue tau ekspresi lo kalau lagi nahan pup gimana, ekspresi lo kalo kegigit kerikil di nasi yang lo makan gimana, bahkan ekspresi yang mungkin lo nggak pernah liat, gue apal semuanya.” Terang Jun panjang lebar. April tertegun mendengarnya. Ya, Jun benar; selain Mama dan Papa, Jun adalah orang selanjutnya yang menghabiskan banyak waktu dengannya seumur hidupnya. Mengingatnya April jadi miris sendiri. Kalau memang Jun sepeka itu terhadap perasaan April, kenapa sampai sekarang, April masih bertepuk sebelah tangan sendirian? “Makanya, Maafin, Nenek.” April menggeleng pelan, senyum samar tersungging di bibirnya. Ikan bakar dan segala lauk yang tadi dibawa Jun untuknya dan masih berada di depannya kini tak lagi menarik baginya. “Nggak papa. Nenek kan selalu begitu. Gue cemen banget kalo sampe sakit hati cuma gara - gara begituan.” Faktanya yang nggak Jun tau, April memang cemen. Buktinya dia nangis sampai sebegitunya. Hatinya masih sakit luar biasa kalau teringat perlakuan berbeda dari orang - orang di sekitarnya pada Mei dan juga April. "Besok berangkat ngantor sama gue ya. Temenin gue anter Nenek ke stasiun." April menatap Jun nggak percaya. April memang cemen, tapi Jun… boleh nggak sih kalau April bilang Jun nggak punya hati? *** April nggak tahu semalam akhirnya Mei da Didit jadinya gimana. Apakah sudah baikan atau malah…. Amit - amit… bubaran? Paginya, April nggak lihat Mei di rumah. Pas sarapan juga dia udah nggak ada. Kata Mama, Mei udah berangkat pagi banget. Ada tugas ke luar kota yang flight nya jam tujuh pagi. April kepo berat, tapi mau tanya sama Mama atau Papanya, dia nggak enak sendiri. Lagian kan bukan urusannya. Papa dan Mama masih agak diam pagi ini. April masih belum tahu semalam sebenarnya yang kejadian di sebelah itu kaya gimama detailnya. Dia sudah mencoba bertanya pada Jun, tapi ya… yah, Jun… Apa yang dia harapkan dari Jun? Cowok itu cuma mau ngomongin hal yang pengen dia omongin aja, dan masalah semalam sama sekali bukan salah satunya. Dari jawaban sekilas - sekilas dan hasil menebak - nebak cocoklogi; Dia hanya tau kalau Nenek emosi dan akhirnya mengusir mereka semua dari sana sekaligus membubarkan acara. Dan kalau menilik dari semalam, itu kemungkinan masalahnya berkaitan dengan Mei dan Jun. Ponselnya bergetar saat ada pesan masuk. Segera dia mengambilnya dan membaca. Dari Jun. Katanya sudah di depan. April mengernyit. Kok tumben nggak masuk dan pamut sama Mama Papa juga? Nggak biasanya. “Pa, Ma, April berangkat dulu ya.” Pamitnya beranjak menyalami Papa dan Mama. Papa hanya mengangguk saat April meminta tangannya untuk berpamitan. “Hati - hati ya, Pril.” Kata Mama pelan saat April sampai di depan Mama. April hanya mengangguk. Saat sudah berjalan menuju keluar, dia menghembuskan nafas tertahannya. Baru hari selasa, masih awal minggu, tapi udah jelek aja hawanya. Jun bilang Bunda aslinya pengen main ke sebelah tapi belum bisa. Keadannya lagi ruwet begini. April takut kalau semakin berlarut - larut, masalahnya jadi semakin runyam dan malah jadi salah paham. Sayang aja, keluarga mereka udah dekat banget selama ini, dah hanya gara - gara masalah yang nggak April tahu pasti, keadaannya jadi renggang begini. Seperti biasa, April langsung menuju ke kabin penumpang di mobil Jun. Seperti sistem otomatis gitu. Dia sudah membuka sedikit pintunya saat tersentak kaget. “Eh, Nenek… maaf… maaf. April nggak lihat, Maaf, Nek.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD