Bagian 13

2342 Words
“Gue akan jelasin” Tissa terdiam, dia menunggu Arsen menjelaskan. Cewek itu tidak ingin salah faham dan jatohnya malah kepedean. Tapi, ada apa dengan debaran jantungnya? Kenapa dia jadi dag-dig-dug seperti ini? Tissa memegangi dadanya, berharap kalau salah satu organ tubuhnya tidak lepas dari rongganya. Arsen menatap Tissa dengan intens, cowok itu meraih tangan sahabat nya untuk di genggam "Dari yang lo ketahui sudah berapa kali gue pacaran, Tiss? Banyak kan. Lo tau kenapa? Karena dengan itu gue bisa nahan buat nggak nembak lo, gue suka sama lo, Tissa. Bahkan sudah dari lama, mungkin seminggu setelah gue pindah kesini dan ketemu sama lo." "Sori, tapi gue nggak paham sama ucapan lo barusan" sela Tissa, semua ucapan Arsen berputar di otaknya, tapi hanya berputar dan tidak terserap sama sekali. "Gue suka sama lo, tapi gue milih buat diem seolah gue nggak tertarik sama sekali sama lo. Tiss, gue mikir kalo saat itu gue nembak, belum tentu lo nerima. Kalaupun lo terima, hubungan pacaran bisa putus dan gue nggak mau kehilangan lo sebagai orang yang gue sayangi. Untuk itu, gue lebih milih buat jadiin lo sebagai sahabat, gue tetep bisa deket sama lo dan gue nggak akan kehilangan lo" "Terus, apa yang buat lo sekarang bilang semua ini ke gue?" tanya Tissa heran. Dia tak tau harus merespon seperti apa. Di satu sisi, Tissa sudah melupakan perasaan nya pada Arsen dan sekarang cewek itu menyukai River. Ya! Kalian tidak salah dengar, Tissa menyukai River, cowok ber netra sipit dengan senyum yang manis. Tapi, di sisi lain dia tidak bisa bersama dengan River membuat Tissa selalu merasa sakit tiap mengingat kenyataan itu. "Karena sekarang, gue pengen kita pacaran" akhirnya, Arsen bisa mengutarakan keinginan nya secara langsung, bukan hanya Tissa dia pun merasa debaran jantung nya mulai tidak normal, Arsen juga merasakan nya. "Apapun resikonya" lanjut cowok berdimple itu dengan lirih. Cewek berpipi itu terdiam beberapa saat, lantas menoleh ke arah Arsen yang masih duduk di sampingnya, tatapan mereka berdua bertemu. Tissa mengembangkan senyum, senyum aneh tapi "Gue juga punya satu penjelasan buat lo, Sen." celetuk cewek itu santai "Sebelum gue kasih jawaban atas pernyataan lo tadi" "Apa?" "Gue juga pernah suka sama lo, tapi itu dulu banget. Mungkin saat itu lo udah suka sama gue, kalau seandainya kita saling jujur mungkin kita udah pacaran dari lama. Tapi tuhan nggak menghendaki itu semua, gue menahan semua rasa sakit tiap lo deket dan pacaran sama cewek lain, tapi gue nggak bisa melakukan apapun, gue cuma bisa diem dan support lo. Hingga pada akhirnya, perlahan gue nyaman berada di samping lo sebagai sahabat dan melupakan perasaan itu" Berhenti sejenak dan mengambil nafas, Tissa menatap setiap inci wajah sahabat yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun lamanya. "Jadi, kalau seandainya gue nolak lo apa lo akan tetap mau jadi sahabat gue?" "Kenapa lo nolak gue sementara lo bisa nerima gue, Tiss? Apa karena River? Lo suka sama dia?" "Ya, mungkin juga karena itu. Gue suka sama River, tapi asal lo tau aja gue nggak bakal bisa bersama sama dia. Jadi ya percuma juga sih sebenernya" "Maksudnya?" "Ada satu hal yang nggak bisa gue kasih tau ke elo, Sen." Arsen mengangguk, dia mencoba memahami privasi Tissa. Sedekat apapun mereka, yang namanya privasi pastilah ada. Seperti Arsen yang juga menyembunyikan sebuah janji dari Tissa. Cowok itu memposisikan duduk nya, kedua tangan Arsen menangkup pipi chubby cewek yang sudah menempati relung hatinya “Jadi, lo nolak apa nerima gue nih?" Tissa masih terdiam, dia bingung harus menjawab apa. Mungkinkah dia akan menumbuhkan perasaan yang sudah lama di pendam? Ataukah dia mempertahankan hubungan persahabatan yang terjalin selama ini? Jujur, Tissa bingung sekarang. Kalau dia menolak Arsen demi River, semua akan percuma dan dia tau jelas tentang itu. Tapi kalau dia menerima Arsen sekarang, itu sama saja tidak adil lantaran di hati cewek itu masih ada River sekarang. “Gue butuh waktu, Sen” jawab Tissa akhirnya, dia butuh banyak pertimbangan untuk memutuskan semua hal apalagi yang sensitif seperti ini. Salah langkah sedikit saja, dia akan kehilangan kedua-duanya. Lagipula, cowok setampan Arsen siapa sih yang sanggup untuk menolak? xixixixi. Tissa melanjutkan ucapan nya saat Arsen belum merespon apapun "Kok diem? Jangan-jangan prank lagi??" tuduh Tissa, mulai khawatir. "Tuuuh kaaan, ih! Nyebelin banget sih! Beneran prank kan?" cewek itu langsung melengos, dia cemberut. Arsen spontan menarik hidung kecil Tissa dengan gemas membuat sang empu meronta-ronta "Gue nggak lagi bercanda atau ngeprank lo ya, gue serius" "Jadi, bener dong kalo lo nembak gue tadi?" “Hm" Tangan lentik Tissa perlahan mengusap pipi Arsen dengan lembut, lagi-lagi tatapan mereka saling bertemu "Selain gue butuh waktu buat mikirin semua ini, gue juga butuh waktu buat ngembaliin perasaan yang udah lama gue pendem dalem-dalem" Arsen merangkul pundak Tissa, dia akan menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut cewek itu. Arsen tau, Tissa pasti akan menerima nya lantaran cewek itu juga pernah menyukai dia. Dan yang paling membahagiakan Arsen tau kalau Tissa dan River tidak akan pernah bisa bersama, meski dia belum tau apa alasan nya tapi setidaknya itu sudah membuat dia merasa senang. “Gue akan tunggu sampe lo kasih jawaban nya” “Thanks, tapi bisa lo lepasin nih pundak gue nggak?” tanya Tissa sembari menggeliat tak nyaman “Kalo kita di gerebek ntar malah langsung di suruh ke KUA kan repot” “Bukan nya bagus, ntar kita bisa man—“ “Faklah! m***m lo! pergi sana” Tawa keduanya terdengar, Arsen dan Tissa nampak begitu bahagia. Lelah yang semula membebani Tissa kini luruh begitu saja, memang hanya saat bersama Arsen cewek itu merasa aman dan nyaman. Arsen selalu bisa menjadi penyeimbang Tissa, cowok itu juga yang selalu ada buat Tissa saat kondisinya up and down, hanya dengan Arsen juga Tissa bisa mengumpat seenak jidatnya. "Oh iya, Tiss. Ada satu hal yang pengen gue kasih tau ke elo." "Apa?" "Gue punya janji sama River.." (^_^)(^_^) River masuk ke kamar saat jam menunjukan pukul 9 malam, tadi dia menghabiskan waktu dengan menonton TV di ruang keluarga bersama dengan Opa. Saat hendak masuk ke kamar mandi netra minimalisnya tak sengaja menatap lampu kamar Tissa yang menyala dari celah gorden. Tanpa menunggu waktu lama cowok itu langsung melesat ke arah balkon. Tangan River langsung menarik ketapel karet untuk dia tembakan ke jendela kamar Tissa. Tak lama munculah cewek dengan pipi cubby yang dirindukan oleh River. Senyum di wajah Tissa timbul saat dia menatap wajah River, jujur dia pun kangen dengan River. Meski baru 3 hari tidak melihat wajah yang senantiasa tampak selalu tampan itu. “Hei, gue denger dari Arsen katanya lo nyariin gue ya?” “Kebangetan sih lo, Tiss. Tiga hari ngilang nggak pamitan sama gue” Tissa terkekeh “Sorry-sorry--" "Sorry, sorry, sorry, naega, naega, naega, meonjeo--" sahut River yang malah menyanyikan dan menirukan  lagu Super Junior itu membuat Tissa gemas dan melemparkan peluru ketapel kearah River. "River nyebelin ih, gue masuk nih" ancam Tissa sembari melipat tangan di depan d**a, River tergelak, kini dia menopang dagu dengan kedua tangan nya yang ditopangkan pada pagar balkon.  "Njuuutt, Tissaaaaa!!" "Sinting!" gerutu Tissa, tak urung kelakuan random River membuatnya mengembangkan senyum juga. Cewek itu melanjutkan ucapannya yang sempat terputus tadi "habisnya kemarin urgent banget. Dan katanya lo lagi marahan sama Arsen? Baikan gih, disini gue yang nyuruh dia buat nggak kasih tau siapapun tentang kemana gue pergi 3 hari ini" River tidak mendengarkan Tissa, cowok itu malah sibuk dengan pikiran nya sendiri. Entah kenapa melihat wajah Tissa malam ini membuat keyakinan nya semakin kuat kalau dia harus segera mengutarakan perasaan sebelum terlambat, River tidak ingin kehilangan seseorang yang dia sayangi untuk yang kesekian kalinya lagi. "Weh! Malah ngelamun" seloroh Tissa mengagetkan River, membuat lamunan cowok itu ter buyar. "Tiss, gue mau ngomong sesuatu sama lo" ucap River akhirnya, Tissa maju selangkah agar dia bisa mendengar dengan jelas apa yang ingin diucapkan oleh River kepadanya. Cewek itu menaikan alisnya, menunggu kelanjutan ucapan River. Gue,.. gue suka sama lo" Keduanya sama-sama terdiam, River menunggu jawaban Tissa sembari berdoa dalam hati. Sementara di seberang Tissa tengah memikirkan jawaban apa yang pantas ia berikan ke River agar cowok itu tidak tersinggung dan malah membencinya. Sebenarnya, ada perbedaan yang paling besar di antara mereka berdua, yakni perbedaan keyakinan. River menyadari itu, tapi entah kenapa dia tetep kekeuh, meski ending nya dia tidak bisa bersama dengan Tissa, setidaknya dia bisa pernah 'bersama' di masa remaja mereka. “Gue tau, Ver. Tanpa lo bilang pun gue tau kalau lo suka sama gue, sikap lo ke gue udah jelas-jelas beda di bandingin dengan sikap lo ke cewek-cewek lain. Tapi, Ver. Bukankah lo punya janji sama Arsen?" “Janji? maksud lo janji..” Tissa mengangguk dengan cepat membuat River terdiam di tempatnya. Jadi, Tissa sudah tau tentang janji itu. Janji yang dia buat dengan Arsen di masa kecil. “Gue sama Arsen udah temenan lama, Ver. Dan sejauh ini Arsen selalu jujur sama gue, dia bilang kalau kalian mengikat janji berdua. Janji, dimasa depan, saat kalian menyukai cewek yang sama 'lagi' maka lo harus mengalah dan membiarkan cewek itu bersama dengan Arsen" River menarik sudut bibirnya, dia kalah cepat dengan Arsen. Kakak nya itu pasti sudah mengutarakan isi hatinya pada Tissa, melihat cewek berpipi yang berdiri di seberang sudah tau banyak tentang masa lalu nya termasuk janji itu. “Jadi, lo nolak gue karena janji itu?” tanya River to the point. Hatinya bergemuruh, dia ingin marah, tapi entah pada siapa dia harus marah sekarang. “Iya, tapi ada beberapa hal lain yang bikin gue nggak bisa nerima lo. Pertama karena kita beda keyakinan" "Tapi lo sama Bang Arsen juga beda, Tiss!" Cewek itu tak terpengaruh dengan selaan River, dia tetap melanjutkan ucapan nya "Kedua,..gue nggak bisa bilang alasan kedua karena lo akan tau kalau sudah waktunya, someday" River menggeleng-gelengkan kepalanya, kecewa akan penolakan yang diberikan oleh Tissa. Dia merasa Tissa tak adil dalam memperlakukan dia dan Arsen, yah, seharusnya River menyadari itu semua lantaran dia siapa? Cowok yang baru datang ke dalam kehidupan Tissa beberapa bulan yang lalu, beda dengan Arsen yang sudah tahunan bersama dengan Tissa. "Ver, gue udah nyaman jadi sahabat lo dan Regan. Disaat gue nggak punya teman di Bina, kalian yang mau nemenin gue. Jadi, kenapa kita harus merubah status yang udah senyaman ini?" "Nyaman di elo bukan berarti nyaman di gue, Tiss" Tanpa menunggu jawaban dari Tissa, cowok ber netra sipit itu langsung melenggang masuk ke dalam kamar, dia ingin marah dan melampiaskan kekesalan nya. Mengunci pintu dan menggeser gorden, tak memberikan celah sedikitpun disana. Cowok itu terduduk di samping ranjang, dia menunduk dan frustasi "Kenapa harus elo sih, Tiss?! Kenapa gue harus suka sama lo di saat Bang Arsen juga suka sama lo, kenapa!!!" River meremas rambut hitam nya dengan penuh sesal. Hatinya sakit sekarang, dia merasa tuhan tak pernah adil membuat takdir hidupnya yang semakin rumit padahal usia cowok itu masih terbilang muda, 17 tahun yang berat. Sementara di seberang Tissa meneteskan air mata, dia sudah mengecewakan orang yang dia sayang dan orang yang menyayanginya. Tissa memang harus melakukan ini semua, dia harus mengorbankan salah satu dari mereka. “Lo udah ngelakuin apa yang seharusnya lo lakuin, Tiss” gumam dia meyakinkan diri sendiri, cewek berpipi itu mendongak menatap langit yang mendung, tidak ada satu bintang pun yang nampak “Kenapa menyukai lo sesakit ini sih, Ver” d**a Tissa semakin sesak “Lo mungkin marah dan kecewa, tapi disini gue lebih tersiksa! gue benci sama keadaan! Gue benci sama takdir yang rumit ini!” Tak mau ada yang  melihat Tissa buru-buru masuk ke dalam kamar nya, dia langsung menjatuhkan tubuh di tempat tidur, menenggelamkan wajah di bantal agar suara tangisnya tidak terdengar oleh siapapun. Entah berapa lama dia menangis, hingga ponsel yang ada di sampingnya bergetar. Mommy. “Hallo, Mom” Tissa mencoba mengendalikan suaranya. Tapi Mommy diseberang langsung curiga. Wanita itu menelpon malam-malam juga karena perasaan nya mendadak tidak enak dan kepikiran dengan Tissa. Mommy Tissa mimpi buruk tadi, makanya terbangun. “Kamu nangis?” tanya Mommy dengan khawatir. “Mommy kenapa belum tidur? Daddy mana?” tanya Tissa mengalihkan pembicaraan. Tissa mendengar Mommy nya menghela nafas, cewek itu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar tidak menangis lagi “Mommy kebangun, kepikiran sama kamu. Daddy udah tidur, kamu baik-baik aja ‘kan?” Tissa menyedot ingusnya yang mengalir “Sakit, Mom” ucap Tissa akhirnya, dia tak bisa menutupi apapun lagi sekarang “River nembak Tissa” Kini Mommy terdiam, pantas saja Tissa menangis. Wanita itu tau karena Tissa pernah bercerita kalau dia menyukai River, cowok yang seharusnya tidak boleh di sukai oleh Tissa. Tapi disini, siapa yang bisa mengendalikan perasaan suka? tidak ada. Rasa suka datang tanpa bisa dicegah bukan? Apa yang dikhawatirkan oleh mereka akhirnya kejadian juga, River mengungkapkan perasaan nya pada Tissa. “Tissa, maafin Mommy” “Ini bukan salah Mommy ataupun Daddy” jawab Tissa menyela, dia tak suka kalau kedua orang tuanya mulai menyalahkan diri sendiri. Dulu, saat pertama kali dia bercerita, kedua orang tuanya syok berat membuat Tissa jadi tak enak dengan mereka. Cewek berpipi itu melanjutkan ucapan nya lagi “Keadaan yang salah, kenapa semuanya jadi serumit ini, Mom” Anak dan Ibu menghabiskan malamnya dengan berbincang di telepon, Tissa bersyukur, kini Mommy nya bisa menjadi teman curhat meskipun hanya di telepon. Apakah kecelakaan Mommy Tissa menjadi berkah tersendiri untuk cewek itu? biasanya Mommy Tissa tidak akan menghubunginya apalagi tengah malam seperti ini hanya untuk menanyakan kabar saja lantaran wanita itu sangat sibuk dikejar pekerjaan. “Kamu tidur ya, sudah larut besok harus sekolah” jawab Mommy mengakhiri, dia tidak ingin Tissa terlambat sekolah apalagi karena bangun kesiangan. Tissa mengangguk meski tidak bisa di lihat oleh Mommy nya, sebelum menutup telepon cewek itu menyempatkan bertanya tentang sesuatu “Mom, Arsen nembak Tissa juga. Tapi Tissa belum kasih jawaban, menurut Mommy gimana?” Senyum di wajah Mommy Tissa timbul, netra wanita itu menatap suaminya yang terlelap di sofa rumah sakit “Kenapa nggak kamu coba dulu? bukan nya awal-awal kamu suka sama Arsen? tapi ingat ya, Tiss. Jangan terlalu dalam, Mommy nggak bisa menjamin kedepannya gimana karena perbedaan kepercayaan kalian” “Iya, Mom. Jadi, menurut Mommy tembakan Arsen sebaiknya di terima aja ya?” “Iya, sayang” Ada sedikit kelegaan di hati Tissa “Okelah kalo begitu, makasih ya, Mom. Kalo gitu Tissa tutup dulu telfonya, oh iya, salam sayang buat Daddy nya Tissa yang paling ganteng tapi ngeselin nya pol-polan. Untung royal, makanya Tissa sayang, hehe” “Dasar kamu, besok Mommy sampai in. Nite, my daughter” “Nite too, my Mom”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD