Bagian 5

2225 Words
Pintu balkon terbuka, Tissa keluar, netranya menatap balkon Arsen yang masih sepi nan lenggang. Tadi, dia meminta cowok itu untuk ke balkon pukul lima sore, biasanya jam segitu Arsen sudah pulang kuliah. Tissa menyilangkan kedua tangan nya di depan d**a, netranya menyapukan pandangan sekitar perumahan, tidak ada yang spesial. Isinya hanya bangunan rumah yang megah-megah. Banyak hal yang ingin Tissa bicarakan pada sahabatnya itu, tapi dia terlalu malas untuk datang ke rumah Arsen secara langsung. Tak lama yang di tunggu-tunggu akhirnya keluar juga, Arsen mengenakan kaos putih polos dengan training hitam, rambutnya basah. Dia baru saja selesai mandi dan bersih-bersih diri, cowok itu menyugar rambut, membuat Tissa terpesona selama beberapa detik. Seperti biasanya, cowok itu selalu senang menggoda Tissa “Biasa aja lihatnya, kayak nggak pernah lihat orang cakep aja lo” “Sen, please gue lagi nggak pengen bercanda” jawab Tissa. Cowok itu tersenyum, memamerkan kedua dimple nya. Sepertinya Arsen sengaja ingin membuat Tissa terpesona oleh ketampanan dia. Cowok itu memasukan kedua tangannya ke dalam saku training “Kenapa sih? Lo kangen ya sama gue?” Tissa menghela nafas, dia menatap Arsen yang entah kenapa susah sekali diajak serius. Padahal hari-hari biasanya mereka sering kali bercanda, kalau sekarang serius sekali saja apa dia tidak bisa? Cewek itu melangkahkan kaki menuju pinggiran, “Lo temen gue bukan sih, Sen?” tanya Tissa, meski umur mereka terpaut tiga tahun tapi cewek itu enggan sekali memanggil Arsen dengan embel-embek kakak. "Lo temen gue, kan?" ulang Tissa sekali lagi. “Iyalah, gue temen lo. Cuma temen ya, bukan gebetan”” jawab Arsen spontan, dia kira apa. “Arsen gue serius!” “Gue juga serius, Princess” Cukup, saat ini Tissa tidak dalam mode bercanda. Dia hanya ingin penjelasan dari Arsen, no more no less. Melihat Arsen yang malah cengar cengir membuat Tissa semakin emosi, apa dia masih tidak sadar kalau cewek itu tengah menahan kekesalan yang teramat dalam? Arsen menoleh ke arah barat, melihat matahari yang hampir tenggelam. Cukup basa basinya, Tissa tak ingin memperpanjang lagi lantaran mood nya sudah buruk. Untung saja mereka hanya bertemu di balkon, mungkin kalau mereka ada di satu tempat sudah pasti Arsen akan jadi samsak cewek bar-bar itu untuk melampiaskan kekesalannya. Cewek itu menurunkan lipatan tangannya, tatapan matanya berubah sendu. Arsen yang menyadari perubahan wajah Tissa kini juga mulai serius, menunggu kalimat apa yang hendak diucapkan oleh Tissa kepadanya. “Jujur gue udah capek nyimpen ini sendirian, Sen. Di sekolah, gue nggak punya temen bahkan sampai sekarang, yah kecuali Regan sama River. Gue udah nahan-nahan buat nggak bilang sama lo soal mantan-mantan pacar lo yang terus-terusan nuduh gue sebagai pengganggu atas putusnya hubungan kalian.” Tissa menjeda ucapannya. Arsen mengepalkan tangannya erat-erat, dia tidak tau soal ini.  “Dan yang paling parah kejadian tadi, kak Audrey nyamperin gue dan ngehina-hina gue. Dia juga jambakin rambut gue seenaknya. Gue udah nggak sanggup hidup dengan tuduhan terus menerus, Sen” Akhirnya, setelah sekian lama Tissa memendam semua unek-unek yang ingin dia katakan, sekarang berhasil dia utarakan. Cowok yang ada di seberang masih diam, Tissa menunggu tanggapan dari Arsen.  “Kenapa lo baru ngomong sekarang sih, Tiss?” tanya cowok itu, tak ada ekspresi bercanda sedikitpun “Lo udah bikin gue ngerasa nggak berguna sebagai sahabat, lo udah bikin gue ngerasa jahat karena apapun yang terjadi sama lo itu karena ulah gue, kenapa??” “Gue pikir kejadian ini nggak akan lama, Sen. Lagipula, lo tau sendiri gue orangnya nggak terlalu ambil hati saat tuduhan itu tak mendasar dan tidak benar” “Ya terus sekarang mau lo apa, Tissa?” Cewek itu menatap Arsen sejenak, menikmati setiap inci dari wajah tampan sahabatnya dari jarak yang lumayan dekat, dia tersenyum tipis namun tetap cantik di mata Arsen. “Untuk saat ini lebih baik kita nggak deket dulu, Sen. Jangan posting apapun soal gue atau kedekatan kita, karena dari situlah mereka berasumsi kalau gue ini pelakor” “Tiss—“ “Dan satu hal lagi yang gue inginkan dari lo, Sen. Terserah lo mau pacaran sama siapapun, asalkan jangan sama anak Bina.” tanpa menunggu jawaban dari Arsen, Tissa langsung masuk ke kamarnya, mengunci pintu balkon dan menggeser gorden miliknya. Dia tidak ingin Arsen tau kalau saat ini dia ke pengen menangis sekeras mungkin. Berjauhan dengan Arsen adalah hal tersulit yang harus Tissa lakukan, selama mereka berteman mereka tidak pernah bertengkar sampai seperti ini. Mungkin akan saling diam beberapa menit, tapi setelah itu mereka akan kembali baikan. 3 tahun berteman dengan Arsen membuat Tissa selalu nyaman berada di samping cowok itu, dan tak menampik kenyataan kalau sebenarnya Tissa pun menaruh rasa pada sahabatnya. Tapi dia bisa menahan, menahan untuk tidak mengungkap, menahan rasa sakit lantaran Arsen sering kali gonta ganti pacar, menahan untuk tidak gemas saat tak ada sedikit kepekaan Arsen terhadap Tissa. Sementara Tissa menjatuhkan bulir beningnya, Arsen masih terdiam di tempat. Tatapan nya masih lurus mengawasi kamar sahabat cewek satu-satunya yang sudah tertutup rapat, dia tak menyangka akan seperti ini kejadian nya, toh selama ini Arsen tidak pernah menaruh curiga pada mantan-mantannya, dia memutuskan hubungan juga selalu dengan keadaan baik-baik, tapi kenapa mantan dia malah melampiaskan kemarahan pada Tissa yang tidak tau apa-apa? Cowok itu harus membuat pelajaran, dia tidak terima kalau Tissa disakiti seperti ini. Oh iya satu lagi, Arsen memutuskan sebuah hubungan juga ada alasannya.  (^_^)(^_^) River menatap sekeliling, hingar bingar membuat nya semakin pusing. Ini semua gara-gara Tissa yang memaksa nya untuk masuk ke dalam dunia lain cewek itu, dunia seorang kpopers. River tidak tau apa yang dilakukan semua orang disini, mereka menari, menyanyi dan ada pula yang hanya bergumam tidak jelas. Siang ini, dia terpaksa menuruti keinginan cewek itu untuk menonton konser, gila!  Niat awal Tissa memang mengajak Arsen, tapi berhubung hubungan dia dan Arsen sedang tidak baik maka Tissa kini mengajak River sebagai gantinya. Cowok bermata sipit itu hendak mengajak Regan juga, namun langsung di tolak oleh Tissa. Selain dia hanya beli 2 tiket, pasti kalau ada Regan dia tidak akan bisa menikmati konser itu dan hanya akan badmood lantaran mendengar cibiran dari mulut pedas Regan. River menyapukan pandangan menatap ribuan manusia yang tengah menggoyang-goyangkan lightstick mereka sembari bernyanyi-nyanyi dengan semangatnya.  “Tiss, gue harus ngapain nih?” tanya River canggung, Tissa yang berdiri di sebelahnya terlihat begitu menikmati konser. Sesekali merekam untuk dijadikan kenangan. River menggaruk rambutnya yang tidak gatal, kalau tau akan seperti ini jadinya dia tidak akan menyetujui ajakan Tissa. “Terserah, lo joget juga boleh” jawab cewek itu, lantas tak lama dia menunjuk-nunjuk kedepan “Ver, Ver, itu dia! Bias gueeee!! Ya ampuun cakeeep bangeeettt” Tissa memasang wajah terharu, matanya berair sangking senangnya. Cewek itu sudah beberapa kali pergi menonton konser semacam ini, pertama dengan Arsen terus yang kedua ini dengan River, hanya kalau di luar negeri dia akan berangkat sendiri.  Cowok bernetra minimalis menatap Tissa, lantas mendekatkan bibirnya pada telinga cewek itu “Bias apaan sih, Tiss?” Yah, wajar lah dia tidak tau. Kan River bukan kpopers. “Bias tuh member yang paling gue sukai di dalam boy grup itu, cakep banget kan dia?” Tak mau memperpanjang kebingungannya, River hanya  mengangguk menanggapi. Cowok itu terdiam lagi, Tissa sudah kembali ke dunianya. Tak tau harus berbuat apa, River mencoba menikmati konser itu juga, sayang banget tiket yang sudah di belikan oleh Tissa untuk dia kalau tidak dimanfaatkan.  Satu lagu, dua lagu, dance performance. Fix! River mulai tertarik, tak sadar cowok itu kini mengembangkan senyumnya, entah apa yang merasuki River hingga cowok itu sekarang terlihat begitu menikmati, meski meminimalisir gerakan cowok itu tetap bisa merasakan kesenangan. "Waaaa!!! Jeno-yaaaa!!!" "Lo udah sering datang ke konser ginian?" tanya River penasaran. "Nggak juga, kalau ada di Indo sama Singapura, Australia, yang deket-deket aja sih. Kalo jauh gue nggak berani minta ke orang tua, hehe" Tissa kembali berteriak heboh, apalagi sekarang dia mengguncang-guncang tubuh River "Ya ampun, Tiss. Biasa aja kali" "Nggak bisa. Gue harus teriak paling kenceng. Siapa tau di notice kan sama dia"  River hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Tissa, dia baru tau sisi lain seorang Tissa. Padahal kalau hari-hari biasa cewek itu selalu jutek dan bar-bar, tak taunya kalau di konser dia jejeritan tidak jelas seperti ini.  Tissa mengembangkan senyum yang membuat pipinya semakin chubby saat melihat River yang kini menikmati konser. Entahlah, melihat wajah River sedekat ini lagi-lagi membuat jantungnya berdetak lebih cepat, debaran jantung Tissa mulai menggila. Hidung mancung, netra sipit, senyum manis dan bentuk rahang yang sempurna. River mirip titisan dewa di mata Tissa. “Gue nggak nyangka kalo lo secakep itu, Ver” gumam Tissa secara tak sadar    (^_^)(^_^) Taxi yang mereka tumpangi berhenti di depan restoran, mereka tidak menggunakan kendaraan pribadi lantaran River belum punya motor dan dia belum diperbolehkan untuk menyetir mobil sendiri. Keduanya masuk ke dalam, dan segera duduk lantas memesan. Perut sedari tadi keroncongan mendemo untuk di isi. “Gimana? Seru kan nonton konser? Worth it lah sama harga tiketnya” River mengangguk membenarkan, dia menyukai datang ke konser meski cowok itu tidak tertarik untuk masuk ke dalam dunia lain Tissa. “Hm, lumayan lah” “Arsen kapok tau pas gue ajak nonton konser dulu” “Oh ya?” “Hm” River menatap Tissa yang tengah memainkan ponsel nya dengan serius, mata almond, hidung kecil yang mancung, bibir yang mengerucut lucu dan penuh, serta pipi nya yang mirip bakpao depan sd membuat cowok itu terpesona selama beberapa detik, visual Tissa mampu menghipnotis River. Cewek itu mendongak, River langsung tersadar dari lamunan nya. "Lo lihatin apaan sampe segitunya?" tanya Tissa. Senyum manis timbul di bibir River "Kalo gue bilang lagi lihatin elo, yang ada nanti lo malah baper. Kan repot" "Chill, Ver. Gue jarang baper sama cowok, ya sesekali sama Arsen sih. Tapi jangan bilang-bilang" jawab Tissa, sebenarnya bukan hanya sama Arsen, tapi sekarang Tissa juga sering baper karena River. Cowok yang menjadi sahabat nya itu sudah sering membantu dia dan secara tak sadar membuat Tissa jadi baper. Ponsel Tissa bergetar, nama Arsen terpampang disana. "Hm?" "Lo dimana?" "Makan" “Gue udah di tempat konser, Tissa. Lo kalo mau batalin janji bilang dulu bisa nggak?!” omel Arsen. Tissa spontan menepuk jidat nya, dia lupa kalau belum membatalkan janji dengan Arsen lantaran tadi buru-buru banget dateng ke konser nya. Tissa melirik ke arah River sejenak “Ya, sorry. Lo masih disana?” “Nggak, gue perjalanan pulang” jawab Arsen “Tissa, lo beneran jauhin gue?” “Ya mau gimana lagi” “Kita perlu bicara, gue tunggu di balkon” Sambungan telepon terputus, Tissa menatap River. Dari raut wajah nya cowok itu tampak tak kepo sedikitpun membuat Tissa menghela nafas lantaran untuk masalah kali ini Tissa tak ingin melibatkan siapapun termasuk River. Oh iya, sampai sekarang Tissa masih merasa kesusahan untuk masuk lebih dalam ke kehidupan River, tak apa, waktunya untuk mengenal River lebih dalam masih panjang. Makanan datang membuat senyum keduanya mengembang "Selamat makan" ucap Tissa. "Selamat makan" jawab River, meski sederhana sudah bisa membuat senyum di wajah Tissa kembali mengembang lebih lebar. Di tengah kegiatan makan mereka River tiba-tiba berceletuk "Tiss, gue boleh tanya sesuatu nggak sama lo?" "Sure, selagi gue bisa jawab pasti gue jawab" "Lo beneran tinggal di rumah sebelah sendiri? orang tua lo emangnya dimana?" Uhuk-uhuk! Tangan lentik itu segera meraih gelas yang berisi minuman, dia tersedak tak menyangka kalau River akan bertanya seperti itu. Tissa bahkan tak berpikir ke arah sana, cewek itu menatap River yang masih menunggu jawaban. Tissa menghentikan makan nya, dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Cewek chubby itu tidak bisa marah lantaran River belum tau aturan kalau berteman dengan dia, dan salah satunya jangan pernah bertanya soal kedua orang tua. “Iya, gue sendiri. Mommy sama Daddy ada di Australia” jawab Tissa singkat namun tetap membuat tenggorokannya tercekat, cewek itu mencoba menetralisir rasa kecewa nya, dia menatap River sejenak. “Ada aturan yang harus lo ikuti kalo mau berteman sama gue, Ver” “Aturan?” Cewek itu mengangguk “Pertama, jangan pernah tanya soal kedua orang tua gue. Kedua, jangan paksa gue buat cerita apapun yang bersifat privasi. Ketiga, jangan pernah masuk ke dalam hidup gue terlalu dalam.” River mengerutkan keningnya bingung “Kenapa gue harus nurutin semua peraturan lo? Tiss, apa sih gunanya lo punya temen kalo disaat lo ada masalah selalu lo simpen sendiri” "Simpen pertanyaan itu buat diri lo sendiri" jawab Tissa membuat River mengerutkan keningnya. Apa sih maksud dia? kenapa River merasa Tissa tau sesuatu, dan sesuatu itu tidak diketahui banyak orang. Rahasia apa yang sebenarnya  tengah disimpan oleh Tissa? Tissa segera bangkit dari duduknya. Nafsu makan cewek itu sudah hilang, “Pulang yuk, udah larut” Akhirnya mereka berdua pulang tanpa melanjutkan pembicaraan yang sebenarnya masih membuat River sangat-sangat kepo. Apa iya dia harus tanya ke Arsen soal kehidupan Tissa? tidak, tidak. River bukan orang yang seperti itu, dia bukan orang yang suka kepo kehidupan orang lain. Perjalanan mereka menembus kegelapan malam, Tissa menyandarkan kepalanya pada pundak River, matanya terpejam. Dia lelah setelah nonton konser tadi. “Tissa, lo nggak ketiduran kan?” tanya River pelan, tak ingin mengusik ketenangan cewek bar-bar yang ada di sampingnya. Cewek yang sedari tadi diam itu menggeleng “Nggak, tapi gue ngantuk banget. Mana lelah" Dua puluh menit kemudian taxi yang mereka tumpangi sampai di depan kediaman Tissa, mereka berdua langsung turun. River mengangsurkan beberapa lembar uang kepada driver.  “Thanks ya, udah nemenin gue nonton konser”    "Hm, lo istirahat gih"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD