"Qinara, kamu belum dijemput, Nak?" tanya Hening saat melihat Qinara masih berdiri di pos satpam.
"Bu Hening, Ibu sudah mau pulang?" Bukan menjawab apa yang Hening tanyakan gadis kecil itu malah balik bertanya dengan ceria seolah senang melihat gurunya itu.
"Saya sudah telpon orang tuanya, Bu, katanya sebentar lagi sampai," kata seorang satpam yang mendengar pembicaraan mereka.
"Oh, iya, Pak. Terima kasih," jawab Hening, ia senang akan kinerja semua staf di sekolah itu.
"Ayah!" pekik Qinara membuat jantung Hening seolah berhenti berdetak, wanita itu menoleh pelan lalu melihat Naka yang sedang berjalan cepat menghampiri sang putri, gadis kecil yang berdiri beberapa langkah di sebelah sepeda motor yang ia naiki.
"Maaf, ya, Sayang. Ayah terlambat, sebenarnya ayah tadi udah bilang sama Mbak Erni kalau siang ini Ayah yang jemput Qinara, tapi Ayah malah terlambat," ucap Naka lembut sambil membelai rambut Qinara yang dikuncir kuda, gadis kecil itu mengangguk sambil tersenyum.
"Enggak apa-apa, kok, Ayah. Qinara juga belum begitu lama nunggu, ada ibu guru juga yang nemenin Qinara jadi Qinara enggak bete," jawab Qinara sambil melirik Hening yang hanya diam-diam memperhatikan lalu berlagak membuang pandangan ke keramaian jalanan. Mungkin langsung pergi dengan mengendarai sepeda motornya lebih baik tetapi entah kenapa Hening merasa tidak mampu melakukan itu, tangannya terasa lemas bahkan hanya untuk menarik tuas gas.
"Bu Hening, terima kasih sudah menemani Qinara lagi," ucap Naka pada wanita yang pernah menjadi ratu di hatinya.
Rasanya ingin sekali bersikap biasa saja tetapi tanpa disengaja Hening menarik napas dalam lalu menghela pelan seolah berusaha mengeluarkan sesak di dalam daada.
"Iya, Pak Naka," jawab Hening lirih. "Saya permisi dulu."
Tanpa mereka duga Qinara langsung memegang stang sepeda motor Hening saat mendengar wanita itu berpamitan.
"Ibu Guru jangan pergi dulu, ibu guru harus ikut kita makan siang. Aku tau ibu guru belum makan siang, ibu guru harus makan di rumah makan Ayah di sana makanannya enak-enak. Kata Ayah, Ibu teman lama Ayah, jadi Ayah harus traktir ibu guru makan," pinta Qinara dengan penuh semangat, Hening terlihat bingung menatap pandangan penuh harap Qinara lalu menatap wajah Naka yang juga sama bingungnya seperti dirinya.
"Tapi, Ibu harus segera pulang, Qinara," jawab Hening.
"Ibu harus segera pulang karena ibu lapar, 'kan, kalau begitu kita makan dulu, ayo," ajak Qinara bersikeras Naka yang mulai merasa tidak enak hati karena sikap sang putri memegang pundaknya.
"Bukan, tapi ada yang menunggu Ibu di rumah," jawab Hening mencoba memberi pengertian.
"Pasti anak ibu guru, ya? Aku juga suka nungguin Mama dateng, kalau Mama lagi sibuk dan enggak dateng aku juga sedih," ujar Qinara lirih, perkataan anak kecil yang polos tentang perasaannya itu membuat hati Naka terasa teriris-iris, begitu juga Hening yang mendengarnya ia merasa jika kuliah kedokteran yang sedang Meisya jalani memang menyita banyak waktunya.
"Iya, maaf, Qinara. Qinara jangan sedih, ya." Spontan tangan Hening mengelus pipi Qinara yang memerah menahan tangisnya dan hal itu membuat gadis kecil itu terlihat semakin sedih dan tidak tega menatapnya, kini Hening menatap Naka, mereka berdua saling beradu pandang dengan pandangan yang terasa hangat tetapi dingin di waktu yang bersamaan.
Kalian tahu rasanya sebuah kerinduan yang sudah mengarat tetapi begitu pertemuan terjadi, dirinya begitu dekat tetapi tidak tergapai.
"Kalau kamu ada waktu, bagaimana kalau hanya makan siang sebentar, tempatnya tidak begitu jauh," pinta Naka, Hening melirik Qinara yang mendongakkan kepala menatap sang ayah yang berdiri di belakangnya lalu kembali menatap Naka yang memberi isyarat agar ia menaiki mobilnya.
"Aku naik motor saja," jawab Hening, Qinara tersenyum, itu artinya sang ibu guru menerima ajakan makan siang mereka.
"Baiklah kalau begitu, tempatnya tidak begitu jauh," jawab Naka yang langsung mengajak Qinara memasuki mobil.
"Ibu guru ikutin mobil Ayah, ya," ujar Qinara, Hening mengangguk sambil tersenyum melihat gadis kecil itu seolah merasa takut jika dirinya tidak menepati janji.
Naka menjalankan mobilnya dengan pelan, Hening langsung mengikuti dirinya bisa melihat Qinara membuka kaca jendela agar bisa terus menatap Hening.
"Qinara, Sayang. Jangan begitu, bahaya." Naka memberi peringatan agar Qinara tidak lagi melongok dari jendela untuk melihat Hening.
"Aku takut Bu Hening salah jalan," jawab Qinara polos, Naka tertawa kecil mendengarnya.
"Itu enggak mungkin, Sayang, Bu Hening kan bukan anak kecil," jawab Naka yang tetap berkonsentrasi mengemudi.
"Coba kalau Bu Hening beneran jadi Bunda aku, pasti setiap hari aku berangkat dan pulang sekolah sama Bu Hening, jadi ayah atau Mbak Erni enggak usah anter atau jemput," gumam Qinara, kembali Naka merasakan rasa yang aneh dalam hatinya seolah ada sebuah harap yang langsung dipatahkan.
"Itu enggak mungkin, Sayang. Bu Hening kan sudah berkeluarga, tadi kamu bilang anaknya menunggu, Bu Hening membenarkan. Iya, 'kan?" jawab Naka, seakan dengan kata lain ia mengharap hal yang sama dengan apa yang Qinara inginkan.
"Iya, ya." Naka menggelengkan kepala mendengar gumaman Qinara, gadis kecil itu kembali melongok saat Naka membelokkan mobilnya ke halaman rumah makan.
.
"Ini punya kamu, Mas?" tanya Hening sambil tersenyum lebar, terasa sedikit berkurang kecanggungan yang ia rasakan sedari tadi. "Aku ke sini dua hari yang lalu sama guru-guru lain, benar kata Qinara, makanannya enak."
Naka juga tersenyum lebar mendengar pujian yang Hening katakan.
"Iya, terima kasih," jawab Naka yang lalu memberi isyarat dengan telapak tangannya yang terbuka meminta Hening berjalan lebih dulu ke dalam rumah makan, satu tangannya menggandeng tangan Qinara yang juga melangkah dengan ceria.
"Kalau ibu guru suka makanan yang Ayah jual, nanti Bu guru bungkus juga ya buat dibawa pulang, buat anak Bu guru juga, yang banyak juga enggak apa-apa Ayah aku kan baik," celoteh Qinara sambil berjalan memasuki rumah makan yang terlihat ramai itu, Hening tertawa kecil mendengar cicitan Qinara.
"Tidak perlu Qinara, terima kasih banyak. Tapi, ibunya ibu guru pasti sudah masak di rumah," jawab Hening, seketika Naka menghentikan langkahnya mendengar Hening mengatakan sesuatu tentang orang tuanya, seketika itu pula terasa ada rasa sakit yang meremas hatinya.
Rasa bersalah yang terasa begitu dalam.
"Hening, bagaimana kabar orang tuamu? Bu Fatma, Pak Joyo," tanya Naka, lirih lelaki itu menyebutkan nama mereka berdua, Hening hanya diam mengalihkan pandangan ke tempat lain tidak kuasa beradu pandang dengan Naka.
"Sayang, kamu tau menu apa saja yang terlezat di rumah makan kita?" Naka membungkukkan tubuhnya agar bisa menatap wajah Qinara lebih dekat.
Qinara tampak berpikir keras. "Hem ... semuanya enak," jawab Qinara.
"Kalau begitu pesankan makanan untuk kita bertiga dan minta seseorang mengantarkan ke meja nomor lima, ingat Bu Guru Hening, alergi udang dan tidak terlalu bisa makan pedas, dia juga tidak suka minum es teh manis, pesankan saja Bu Guru Hening air jeruk hangat." Qinara mengangguk lalu segera menuruti perintah sang Ayah, gadis kecil itu berjalan cepat ke arah belakang rumah makan.
Hening berdiri terpaku di tempatnya ia begitu tidak menyangka kalau Naka masih mengingat semua tentang selera makannya, seperti dirinya yang sama sekali tidak pernah melupakan apapun tentang Naka.
"Hening." Naka meraih tangan wanita itu yang terkulai lemas di samping tubuhnya lalu mengajaknya duduk di kursi dengan meja yang memiliki nomor lima di atasnya.
"Hening, bagaimana kabar orang tuamu? Aku sangat menyesal, aku bahkan tidak sempat meminta maaf. Kalian pergi ke mana? Aku mencari-cari kalian tetapi tidak ketemu." Hening hanya diam menahan embun yang semakin membuat pandangannya kabur, ia mengalihkan pandangan ke luar jendela yang ada di sebelah meja tidak ingin Naka melihat luka yang masih terasa bahkan semakin terasa saat ini.
Hening tidak mau terlihat lemah, memalukan tetap terlihat terpuruk sementara Naka sudah bisa terlihat berdiri tegar, berjalan tegap bahkan berlari jauh meninggalkan.
Hening hanya tersenyum miring, kenyataannya memang seperti itu, sedari dulu Naka memang tidak pernah seterpuruk dirinya, Naka tidak pernah merasakan luka sedalam lukanya. Mereka memang berbeda dari apa yang mereka miliki juga apa yang harus mereka rasakan.
"Mereka baik, sebaik aku yang kamu lihat sekarang," jawab Hening singkat, ia masih tidak mau menatap wajah Naka membuat rasa bersalah kian mendera.
"Iya, aku senang melihat kamu, kamu berhasil meraih cita-cita yang begitu kamu impikan," ucap Naka, sambil menatap Hening yang terlihat semakin cantik dengan seragam berwarna coklatnya.
"Iya. Kamu juga, kamu menjadi seorang pengusaha sukses sekarang. Tapi aku tidak terkejut, karena aku tau kamu pasti mampu," ujar Hening.
Keduanya terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa.
"Hening, maafkan aku." Naka menatap wajah sendu Hening dengan rasa bersalahnya, rasa yang cukup menyiksa tetapi seiring berjalannya waktu semua itu terkubur dalam tidak pernah ia sangka jika kini sebuah pertemuan perlahan mulai menggali semua itu, juga kenangan demi kenangan yang terasa indah tetapi menyesakkan.
"Maaf untuk apa? Kamu tidak pernah memiliki kesalahan padaku, pada kami. Iya, kan? Maaf untuk apa? Kamu juga tidak pernah memiliki janji yang tidak pernah kamu ingkari, betul? Jadi tidak ada yang perlu kami maafkan." Naka hanya diam, menatap kedua mata Hening dalam-dalam melihat kenyataan jika wanita itu hanya ingin terlihat kuat tetapi kenyataannya memendam sebuah luka.
"Hening ...." lirih Naka menyebut nama itu, seperti dulu ....
Dulu ....
"Hening!"
"Mas Naka?" Kedua mata Hening berbinar-binar melihat pemuda yang berlari kecil mengejar langkahnya saat ia baru saja memasuki lorong menuju kelasnya, kulit Hening terlihat lebih hitam akibat terpanggang sinar matahari setelah seharian kemarin dirinya bersama sang ibu menghabiskan waktu di sungai untuk mencari pasir.
Naka berjalan santai di sebelah Hening, seperti biasa kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana seragam yang hari ini berwarna abu-abu.
"Kenapa? Bahagia sekali sepertinya melihat aku hari ini, sehari enggak ketemu kangen, ya?" ledek Naka, Hening hanya diam terlebih lagi saat beberapa yang mendengar ucapan Naka meledek mereka.
Sempat-sempatnya meledek padahal mereka juga tengah berjalan terburu-buru karena takut terlambat, kegiatan yang selalu dilakukan setiap Senin pagi membuat siapapun tidak boleh terlambat.
"Mas Naka, jangan sembarangan kalau ngomong, enggak enak didengar yang lain," gerutu Hening, Naka malah tertawa kecil.
"Kenapa? Bagus dong jadi enggak ada yang berani gangguin kamu lagi," jawab Naka ringan, tetapi yang Hening lakukan malah membuat Naka terkejut.
Gadis cantik itu menghentikan langkah laku berdiri di hadapan Naka.
"Aku enggak mau terus-menerus menerima kebaikan Mas Naka, aku enggak mau membuat orang lain salah faham sama aku. Aku juga enggak mau terus-terusan dikasihani sama Mas Naka, aku memang orang enggak punya dan aku sangat berterima kasih atas kebaikan Mas Naka selama ini tapi Mas Naka enggak perlu berlebihan." Naka menatap Hening dengan penuh tanda tanya, begitu juga kedua gadis yang baru datang dan menatap mereka berdua.
"Hening, maksud kamu apa?" Hening tidak menjawab apa yang Naka tanyakan, ia sibuk mengambil sesuatu di kantung depan tasnya lalu meraih tangan Naka.
"Ini jumlahnya memang masih kurang, aku janji akan bekerja lebih keras lagi beberapa hari ke depan agar bisa membayar hutangku pada Mas Naka. Sekali lagi terima kasih banyak atas semuanya." Hening menyelipkan beberapa lembar uang di telapak tangan Naka lalu berlari kecil memasuki kelas, tidak ia pedulikan Naka yang mengejar sambil memanggil namanya.
"Dia kenapa, sih?" gumam Naka di depan kelas Hening sambil menatap uang yang ada di genggamannya.
"Biar kami yang cari tau, Mas," kata Murni tanpa diminta dan tanpa menunggu jawaban Naka kedua gadis itu memasuki kelas, Naka segera berjalan menuju kelasnya dengan harapan kedua aduk kelasnya itu bisa memberi tahunya ada apa dengan Hening, mengapa gadis itu bisa berubah dalam waktu sehari saja.
"Hening."
Hening menatap Murni dan Serli yang berjalan mendekatinya dengan tergesa-gesa mirip Ibu-ibu yang ingin mengorek sebuah gosip panas.
"Kamu kenapa? Marahan sama Mas Naka?" tanya Murni, Hening menghela napas berat lalu terdengar suara bel berbunyi, dan karena ini ada jadwal upacara maka semua murid bersiap untuk ke lapangan.
"Nanti aku ceritain," jawab Hening sambil mengambil topi di dalam tas lalu berjalan keluar.
"Janji, ya," pinta Serli yang lalu melangkah mengejar Hening di belakangnya Murni juga melakukan hal yang sama.
.
Di saat upacara berlangsung, sesekali Naka menatap Hening yang tampak fokus mengikuti upacara gadis itu bahkan sama sekali tidak menoleh padanya padahal Naka yakin jika Hening tahu di mana posisinya berdiri karena tadi mereka sempat saling pandang sesaat, akhirnya Naka memberi isyarat pada Serli yang berdiri di belakang Hening dengan menggedikkan dagu.
Serli menjawab dengan menggedikkan bahu sebagai tanda jika ia belum mendapatkan informasi apa-apa, Naka menepuk pelan keningnya membuat Murni yang berdiri di belakang Serli menahan tawa, tetapi juga bingung melihat tingkah Hening dan Naka.
Usai upacara ketiga gadis itu berjalan berdampingan menuju kelas, Naka masih mencuri pandang pada Hening di antara lalu lalang murid lainnya.
"Kamu kenapa, sih, Ning?" Murni membuka pembicaraan.
"Kamu kok bisa marah sama Mas Naka? Padahal dia baik sama kamu." Serli menimpali.
"Aku enggak marah sama Mas Naka, aku cuma ...."