Bab 6

2078 Words
Sebuah rumah kecil mungkin ukurannya hanya sekitar lima kali tujuh meter, dindingnya terbuat dari geribik ayaman bambu yang sudah tampak kapuk, bahkan beberapa bagiannya tampak tersulam ayaman bambu baru bukti dari lapuknya geribik lama, atapnya genteng berlumut yang sudah agak miring jelas terlihat jika kuda-kuda penopangnya sudah keropos. Di teras samping terdapat sebuah balai yang juga terbuat dari bambu, di atas balai itu terlihat sepasang manusia tengah berbincang-bincang, pakaiannya tampak sederhana. Wanita yang berkulit legam akibat terpanggang sinar matahari hanya mengenakan sebuah daster lusuh, usianya berkisar empat puluh tahunan sedangkan lelaki yang duduk di sebelahnya yang terlihat sedang mengutak-atik sebuah cangkul hanya mengenakan celana kolor dan kaus dengan cap sebuah toko material. Kedua orang itu tampak menatap Naka yang baru saja menghentikan sepeda motornya, lalu tersenyum lega melihat siapa yang ada di boncengannya. "Mampir, Mas," ucap Hening tanpa kata ayo, karena kebingungan yang masih ia rasa. Rasanya segan untuk tidak memintanya mampir karena pemuda itu sudah begitu baik padanya tetapi jika mengajak Naka mampir ia juga merasa malu akan keadaannya atau lebih tepatnya takut jika Naka merasa tidak nyaman menginjakkan kaki di gubuk tempat tinggalnya. "Iya, tentu saja," jawab Naka sambil tersenyum lebar, pemuda itu melepas helm yang ia kenakan lalu menggantungkan benda itu dia atas spion kiri, Hening berjalan mendahului. "Ning, kenapa kamu baru pulang? Sepeda Kamu mana, kok, kamu dianter orang?" Berondongan pertanyaan Hening dapat dari ibunya yang terlihat begitu mengkhawatirkan dirinya. "Bu, bocah baru pulang langsung ditanya-tanya, nanti saja," ujar ayah Hening yang tersenyum melihat Naka mendekat, seketika Ibunda Hening berhenti bertanya ia juga tersenyum melihat Naka yang sedang mencium punggung tangan ayah Hening lalu beralih padanya. Hening hanya diam menyaksikan Naka begitu berlaku sopan pada kedua orang tuanya, juga terlihat begitu menghargai meski sudah Naka ketahui jika mereka adalah keluarga sangat sederhana yang tidak berharta. "Perkenalkan, Pak, Bu. Nama saya Naka, saya teman sekolahnya Hening. Ban sepeda Hening rusak dan harus diganti, kebetulan di bengkel tidak ada persediaan ban yang cocok jadi sepeda itu harus ditinggal di sana. Jadi ... saya mengantarkan Hening pulang, besok pagi untuk ke sekolah juga biar saya yang menjemput Hening karena saya tau tidak ada anak dari desa sini yang bersekolah di sekolah harapan bangsa," ujar Naka dengan tenang menjelaskan semuanya. "Terima kasih banyak, Nak Naka. Kamu baik sekali, tapi tidak perlu repot-repot, untuk ke sekolah besok biar Bapak yang antar Hening, biar nanti Bapak pinjam sepeda tetangga," jawab Ayah Hening mencoba menolak kebaikan Naka, tidak ingin terlalu banyak merepotkan, rasanya begitu segan. Hening mengangguk membenarkan apa yang ayahnya katakan. "Tidak merepotkan, Pak ...." Naka seolah bertanya harus memanggil ayah Hening itu dengan panggilan siapa. "Justru saya merasa tidak enak hati kalau tidak membantu Hening." "Nama Bapak Nurjoyo, Nak Naka bisa panggil saya Pak Joyo kalau ibunya Hening ini namanya Fatma. Kami benar-benar berterima kasih, tapi kami merasa tidak enak kalau terus membuat Nak Naka repot," jawab Pak Joyo. "Pak, bukannya besok Bapak udah dapet tempahan untuk nyangkut di sawah Bu Kadus?" Bu Fatma sebenarnya juga merasa tidak enak pada Naka tetapi ia juga bingung, jika sang suami mengantarkan Hening ke sekolah itu artinya lelaki itu tidak bisa menjalankan tugasnya sedangkan upah mencangkul sudah ia ambil sejak jauh-jauh hari dan ia harus menggantinya jika tidak menjalankan tugas. "Tuh, bener, 'kan, Pak. Pak Joyo tenang, saja, besok saya yang akan menjemput Hening, Pak Joyo bisa bekerja seperti biasa. Bapak sama Ibu juga Hening tidak perlu sungkan atau merasa merepotkan, ban sepeda Hening juga tidak rusak setiap hari, bukan?" Semuanya tersenyum lega, apa yang Naka katakan ada benarnya. "Ya sudah, terima kasih sekali lagi, Nak Naka. Kalau begitu mari silakan duduk," ujar Bu Fatma, agak ragu dan malu saat mempersilakan Naka duduk di atas balai bambu. "Tidak perlu, Bu. Seperti kalian, orang tua saya juga pasti akan khawatir kalau saya terlalu terlambat pulang," jawab Naka, menolak dengan halus tawaran itu walau sebenarnya ia masih ingin berlama-lama di sana. "Iya, kamu benar. Hati-hati di jalan, Nak," jawab Pak Joyo. "Iya, Pak." Naka mengulurkan tangannya untuk berpamitan dan mencium punggung tangan Pak Joyo. "Eh, tunggu dulu, Nak." Bu Fatma segera memasuki rumah saat Naka ingin menyalaminya, Hening terlihat bingung karena tingkah sang ibu, sementara Naka mencuri-curi pandang ke arahnya. "Ini, Nak. Bawa pulang, buat bikin kolak atau lemper di rumah. Ibu baru ada cabut ini di belakang rumah." Fatma mengulurkan bungkusan plastik hitam pada Naka yang terlihat terkejut kerena Fatma memberinya oleh-oleh. "Apa ini, Bu Fatma? Tidak perlu repot-repot," jawab Naka, ia belum menerima bungkusan itu. "Tidak repot, ini hanya singkong yang kami taman. Kami hanya punya ini anggap saja sebagai ucapan terima kasih atas kebaikan Nak Naka," ujar Fatma dengan senyum lebar, Hening hanya bisa diam sambil sesekali melirik senyum yang ada di wajah pemuda yang ada di sebelahnya. "Ini saya terima, Bu. Tapi ibu tidak perlu berpikir untuk membalas kebaikan saya atau apapun karena apa yang saya lakukan tulus tanpa pamrih," kata Naka saat mengambil bungkusan yang Bu Fatma berikan. "Kalau begitu kami juga tulus memberi hasil kebun yang tidak seberapa ini, Nak Naka." Pak Joyo menimpali, Naka kini beralih menatapnya. "Terima kasih, Pak, Bu. Saya permisi," pungkas Naka lalu kembali mencium punggung tangan orang tua Hening bergantian. "Hening, sampai besok, ya," pamit Naka pada Hening yang tampak mengulum senyum. "Iya, Mas, terima kasih. Hati-hati di jalan," jawab Hening, Naka meninggalkan teras rumah dengan membawa sekantung plastik singkong dan hati yang berbunga-bunga. "Ban sepeda kamu kenapa bisa rusak, sih, Nduk." Naka yang sedang menaruh bungkusan singkong di sepeda motornya mendengar pertanyaan yang Fatma lontarkan pada sang putri. "Kena paku, Bu, pakunya cukup gede jadi bannya sobek agak lebar," jawab Hening, Naka mengerutkan kening mendengar kebohongan yang Hening katakan pada sang ibu, ia berencana menanyakan hal itu padanya besok. "Ban itu memang sudah tipis, Bu. Bapak sudah berencana menggantinya tapi belum ada uang. Biar nanti malam bapak cari pinjaman untuk membayar ganti ban Hening besok." Samar-samar terdengar suara Pak Joyo, Naka sempat menoleh dan teras itu sudah kosong mereka bertiga telah memasuki rumah itu. Rumah yang memang begitu sederhana bahkan bisa dikatakan tidak layak huni, tetapi begitu terasa kehangatan di dalamnya. Dengan perasaan yang semakin aneh Naka menjalankan sepeda motornya menjauh. Perasaan ingin ikut bercengkrama di dalam rumah itu dan menjadi bagian dari keluarga, rasa ingin selalu berdekatan dengan Hening juga rasa prihatin melihat keadaan mereka dan semua itu memunculkan sebuah semangat baru, semangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, semangat menyongsong hari esok agar bisa menjemput Hening di pagi hari. * Dita Andriyani * "Naka, Simbok bilang ini singkongnya kamu yang bawa?" tanya Hikmawati, ibunda Naka saat mereka sedang menikmati teh sore hari dengan sepiring lemper sebagai pelengkap. Sebenarnya itu adalah momen langka di mana kedua orang tuanya sudah berada di rumah dan menghabiskan waktu bersama. "Iya, Bu, tadi aku nganterin temen pulang dan dikasih singkong buat oleh-oleh," jawab Naka, sambil mengambil lemper yang masih hangat lalu mengupas daun pisang yang menjadi pembungkusnya, dalam diam Naka menikmati jajanan tradisional bercita rasa gurih dan manis itu, tetapi tetap tidak semanis senyuman Hening. "Memangnya temen kamu rumahnya di mana? Kok bisa nanem singkong?" tanya Hikma yang merasa jika semua teman Naka tinggal di daerah perkotaan yang susah untuk ditanami umbi-umbian, sementara sang suami hanya diam mendengarkan sambil menikmati lemper yang dibuat oleh asisten rumah tangga mereka, Hikma terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga semua urusan rumah tangga di kerjakan oleh dua orang asisten yang menetap di rumah mewah itu. "Di desa Sukosari," jawab Naka ringan, tangannya kembali mengambil lemper kedua yang akan disantapnya. "Sukosari? itu jauh loh, ada murid sekolah kamu dari desa itu?" Kini Heru sang ayah yang merasa penasaran. "Ada, Pak. Dia murid pertama yang diterima sekolah dengan beasiswa jalur prestasi," jawab Naka, Heru dan Hikma hanya diam saling tatap lalu kembali menikmati lemper yang mereka pegang. "Pada makan apa, sih? Sampe aku dateng enggak pada sadar!" Seorang gadis cantik duduk tepat di sebelah Naka, ia bergelayut manja di bahu pemuda tampan itu. "Makan lemper, kamu coba, deh. Ini enak." Naka menyuapkan lemper bekas gigitannya ke dalam mulut gadis itu, ia tidak menolak mengunyahnya pelan tetapi terlihat tidak begitu menyukainya. "Enak, sih, tapi terlalu manis, nanti aku gendut!" Gadis itu meninggalkan ruang tengah di mana semuanya berada menuju kamarnya. "Tara, kamu dari mana dan mau ke mana lagi? Baru juga pulang, sini ngobrol dulu sama kami," ujar Hikma sambil menatap sang putri yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya. "Mau mandi," jawab Tara ringan lalu langsung menghilang di balik pintu, Heru menggelengkan kepala melihat kelakuan putri bungsunya. "Setiap hari Kamis dan Jum'at dari jam dua sampai lima sore Tara les matematika, setiap hari Senin, Selasa dan Rabu jam tiga sampai jam lima sore Tara les bahasa Inggris dan Jeppang," kata Naka seolah menyindir orang tuanya karena mereka sama sekali tidak mengetahui apapun tentang kegiatan anak-anak mereka karena terlalu sibuk, beruntung dirinya dan sang adik tumbuh menjadi seorang anak yang berbudi pekerti baik meski hidup jauh dari perhatian orang tua, meski secara fisik mereka tetap bertemu setiap hari meski hanya beberapa jam saja. "Naka tau, kalau Bapak dan Ibu sibuk dalam pekerjaan masing-masing karena mencari uang untuk masa depan kami, kami sangat berterima kasih, kami sangat bersyukur dan bangga kepada Bapak dan Ibu," ucap Naka yang lalu juga meninggalkan kedua orang tuanya, menuju kamarnya. "Tuh, 'kan, Mas. Aku bilang apa, meskipun aku bekerja aku tetap bisa menjadi ibu yang baik buat mereka, buktinya mereka bisa jadi anak yang baik dan pintar," kata Hikma pada sang suami. "Eh, mereka bisa seperti itu juga karena aku selalu memberikan contoh yang baik pada mereka. Kamu lihat saja, mereka berdua pasti akan menjadi orang sukses dan bermasa depan cermerlang seperti kita," jawab Heru, mereka berdua seolah tidak sadar jika apa yang Naka ucapkan tadi juga sebuah ungkapan sindiran. Itulah orang tua Naka, mengukur segala hal dengan kesuksesan dalam berkarir dan mengukur kebahagiaan dengan pencapaian secara finansial. Mereka sama sekali tidak sadar jika sebenarnya kedua anak mereka membutuhkan sosok orang tua yang sebenarnya karena sebenarnya tanggung jawab dan peran orang tua bagi putra-putri mereka bukan hanya sekedar mencukupi kebutuhan materi saja. * Dita Andriyani * Dengan bersiul-siul seperti burung kutilang di pucuk pohon Cemara Naka menghiasi pagi harinya, hanya saja tanpa melompat-lompat sambil terseru trililili-lililili karena kini dirinya sedang mengendarai sepeda motornya membelah udara pagi yang masih terasa dingin hingga membuat bulu-bulu di kaki dan tangannya meremang Padahal dirinya sudah mengenakan jaket di luar seragam sekolahnya tetapi hal itu sama sekali tidak mengendurkan niatnya untuk segera datang ke desa Sukosari. Desa Sukosari adalah tempat di mana ia akan menepati janjinya untuk menjemput Hening pagi ini, belum pernah dirinya merasa seperti sekarang ini, ada sebuah dorongan yang terasa begitu sangat kuat untuk melakukan hal-hal baik dan menyenangkan untuk Hening. Apakah ini yang namanya cinta? Ah, tapi rasanya ini terlalu cepat, tetapi Naka hanya ingin menikmatinya. Rumah mungil sederhana itu terlihat sepi, begitu juga rumah-rumah di sekitarnya. Dari tiga rumah yang berjajar meski dalam jarak yang tidak terlalu dekat jelas terlihat jika rumah Hening yang paling sederhana. Naka turun dari motor, menaruh helm di atas spion seperti biasa lalu mendekati rumah itu, berulang kali mengetuk daun pintu yang terlibat sudah berlubang-lubang akibat ulah rayap sambil mengucap salam. "Mas Naka." Naka segera membalikkan badan menyadari jika seseorang yang memanggilnya ada di samping rumah. "Hening," sapa Naka melihat gadis cantik yang sedang menatapnya sambil tersenyum, ia sudah mengenakan seragam sekolah, hanya saja tangannya memegang sebuah sapu lidi. "Kamu abis ngapain?" tanya Naka, Hening meletakkan sapu di samping rumah lalu berjalan ke teras. "Aku abis nyapu halaman belakang. Mas Naka tunggu, ya, aku ke dalem ambil tas dulu." Mendengar apa yang Hening pinta, Naka lalu duduk di atas balai bambu yang ada di dekatnya. Pemuda itu menatap pemandangan sekitar, menunggu Hening yang tidak berapa lama kemudian keluar sambil membawa tasnya, sandal jepit yang tadi ia kenakan juga sudah berganti sepatu meski sepatu itu tidak terlihat bagus tetapi masih layak pakai. "Ayo, Mas, biasanya kalau naik sepeda aku udah berangkat dari tadi. Takut telat," ujar Hening sambil tertawa kecil, ia hanya mengikat daun pintu rumahnya menggunakan kawat kecil pada paku yang ada di kusen, hanya itu, karena memang sama sekali tidak ada benda berharga di dalam rumah maka tidak ada kekhawatiran. "Bapak sama Ibu mana? Aku mau pamit," tanya Naka yang sedari tadi tidak melihat orang tua Hening di mana pun. "Bapak sama Ibu sudah berangkat ke sawah selepas subuh, Mas," jawab Hening, Naka hanya mengangguk kecil lalu berjalan menuju sepeda motornya. . "Hening, boleh aku tanya sesuatu mengenai masalah pribadi?" tanya Naka begitu ia menjalankan sepeda motor menjauh dari rumah Hening. "Masalah pribadi?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD