BAB 11: Gadis Berbahaya
Candy masih belum melepaskan tatapannya dari Barsh. Gadis itu masih menatap tajam bodyguard tuanya yang keadaanya cukup berantakan. Candy mendesah kasar meringis saat merasakan sudut bibirnya yang begitu perih.
Gadis itu bangkit dan mulai berjalan menjauh keluar ruangan. Tidak peduli akan panggilan Ryan sama sekali. “Lo gila? Harusnya lo hentiin lebih awal. Perbedaan kekuatan mereka terlalu jomplang” Ryan melihat keadaan Barsh yang tampak habis dikeroyok puluhan bahkan mungkin ratusan orang sampai membuat pria yang amat dapat diandalkan itu menjadi seburuk ini.
“She’s dangerous” Ryan menoleh kecil mendengar gumam-man Barsh. Tidak biasanya pria seperti Barsh mengeluh semacam itu. “Sebaiknya lo cari asisten sekretaris lo itu”. Teman dari Ryan memberi saran namun pria itu malah tampak acuh dan memperhatikan setiap luka dari tubuh Barsh.
“Dia baik-baik aja” Ryan menggumam pelan. “Lo pikir dia baik-baik aja setelah melawan monster bodyguard lo itu?” Ryan malah berdecak tidak peduli. “Dia melawannya itu artinya dia sadar akan kekuatan monsternya” teman Ryan yang notabenenya tahu percis keadaan Candy setelah melihat pertarungan itu akhirnya malah tertawa mendengar penuturan Ryan.
“Dia sadar, karena itu dia terus menghindar dari serangan bodyguard lo tapi lo pikir dia bakal berhasil bikin babak belur bodyguard lo tanpa ngorbanin sesuatu? Arena pertandingan ga sebaik itu” Ryan jadi teringat akan raut muka Candy sebelum gadis itu pergi. “Kalau seberesiko itu dia ga perlu naik ke ring kan?” Ryan masih keras kepala.
“Bukannya lo yang mau dia ngasih pertunjukan buat lo?” Ryan kembali berdecak. Jika seperti ini dia jadi merasa tidak enak jika sampai terjadi sesuatu pada Candy. Ryan akhirnya langsung berlari keluar gedung, berusaha mencari Candy yang mungkin masih belum terlalu jauh.
“4 broken ribs?” mengerti arah pembicaraan pria yang namanya tidak Barsh tau itu tetap membuat Barsh mengangguk kecil. “Meski sejomplang ini dia bisa bikin Barsh sekewalahan itu. Lo tarik cewe berbahaya Ryan, dilihat dari sisi manapun cara dia bertarung bukan cara petarung pada umumnya” helaan nafas kecil lolos dari bibir Banny.
Melihat cara bertarung Candy sudah pasti membuat dia sadar sepenuhnya. Gadis itu mampu membunuh orang lain dengan seranganya, cara bertarungnya bukan untuk mempertahankan diri atau melumpuhkan lawan. Tapi lebih ke membunuh orang lain.
Banny melirik Barsh yang ternyata juga menatapnya dengan maksud dalam pikiran yang sama.
Mereka berpikir sama.
Akan lebih baik membuat Ryan membuang atau membuat Candy menjauh secepat mungkin.
* * *
Ryan mendapatkan pemandangan aneh. Tubuh gadis yang dikenalnya sudah tampak ada dalam dekapan seorang pemuda yang tampak begitu panik dan mengangkat tubuh itu ketika ambulans tiba dan langsung melaju.
“Kalo kaya gini gue jadi ngerasa bersalah” Ryan memiringkan kepalanya. “Dia ga pura-pura atau semacamnya?” Ryan kembali mendesah kesal. Berpikir mungkin alangkah baiknya jika dia mengunjungi Candy ke rumah sakit untuk menenangkan hatinya sendiri yang merasa bersalah.
* * *
“Jadi lo nolong anak yang dipalak preman?” Suara itu membuat Ryan terhenti. Mengurungkan niatnya saat hendak masuk ke ruang rawat inap Candy. “Lo serius? Yang ada harusnya preman kali yang babak belur. Lo ngelawan dua puluh orang sekaligus ajah ga luka sedikitpun. Jangan-jangan lo sok lemah di depan Rafael yah?” Ryan sedikit tersenyum.
Merasa benar akan dugaanya dan tanpa permisi akhirnya langsung masuk. Menatap Candy yang duduk di atas ranjangnya, gadis itu tampak ikut menatap Ryan bingung. Ryan berjalan ke hadapan Candy, tidak peduli akan tiga gadis lain yang ada di ruangan itu.
“Sekali jalang tetap jalang yah. Lo ngebuat gue jadi ngerasa ga enak, tapi taunya lo sampe di rawat di rumah sakit cuma karena mau ngegoda cowok? Dasar cewek b**o yang ga punya harga diri, sampah rendahan, penggoda, jalang yang punya banyak muka kayak lo emang pantesnya jadi p*****r, berapa harga lo ha?” Salsa sedikit terkejut.
Ryan baru saja seolah meminta Candy untuk membunuhnya ditempat ini, di detik itu juga.
Rafael datang dan memberi Candy bunga cantik yang langsung diletakan pria itu di pangkuan Candy. Ryan memperhatikan dan tertawa kecil melihatnya. Pria itu langsung keluar setelahnya.
“Raf bisa tolong beliin aku s**u?” Candy meminta dengan wajah tertunduk. “Ok, kamu istirahat di sini aja” Rafael langsung keluar ruangan setelah mengelus lembut rambut Candy.
Salsa langsung mendekat, mengelus lembut punggung Candy. “Lupain kalimat terakhir bos sampah lu itu. Bie lo bisa ngelewatin yang ini, lo bisa. Lo ga harus bales orang yang ga pantes dapet pembalesan. Inget ayah lo hem, bayangin senyuman dia ok?” Candy sedikit tersenyum.
“Ini bukan kali pertama dia ngomong kaya gitu. Tapi ini kali pertama ada orang yang ngomong sekasar itu ke gue” Salsa meraih tasnya. Mencari botol obat yang sinyalnya tidak ditemukan dimanapun.
Bianca dan Lola tidak tahu mengapa Salsa sepanik itu. “Sa gue-” Salsa langsung menghampiri dan menyela. “Ga, lo ga boleh kemanapun. Bianca, Lola kalian keluar dan kunci ruangan ini dari luar” Bianca masih mematung. Tidak mengerti akan kecemasan Salsa yang terkesan begitu berlebihan.
“Gue ga nemu dimanapun, lo tenang Bie. Semuanya akan baik-baik aja” Candy memejamkan matanya pelan. “Kalo gue bunuh gue jadi pembunuh kan?” Tanya Candy pelan, Lola tampak terkejut mendengarnya. Lola adalah orang yang akan begitu mudah panik dan ketakutan. Mengingat karakter Candy, gadis itu lebih dari mampu melakukan hal yang baru dikatakannya. Lola tentu tahu akan hal tersebut.
Salsa menatap Bianca dan Bianca langsung mengerti, menarik Lola keluar ruangan. “Lo bukan pembunuh, lo ga harus nanggepin dia. Ingat impian ayah dan kakak lo ada di tangan dia lo tinggal ga-” Candy melah tertawa, membuat Salsa terdiam sesaat.
“Kayaknya lo lupa sa, gue ini pembunuh. Jangan pernah lupa sama hal itu. Gue juga ga terlalu peduli sama ayah dan kakak gue. Toh pada akhirnya mereka bakal ninggalin gue juga atas kemauan mereka sendiri.” Salsa tidak tahan.
Plaakkk
Tamparan itu tidak berpengaruh banyak pada Candy. “Lo bukan pembunuh, BUKAN” Candy menatap Salsa yang sudah berkeringat dengan air mata yang juga sudah tumpah. “Gue ga akan bunuh dia, lo ga usah nangis. Muka lo makin jelek” Candy melepas jarum infusnya dan turun dari kasurnya. “Lo bilang ga akan bunuh dia, Bie liat gue” Candy melihat Salsa dan tersenyum tulus, senyuman yang pernah dilihat Salsa saat pertama kali Candy meminta bantuanya.
“Lo udah jalanin tugas lo dengan baik, lo udah ngerem gue dengan baik. Lo emang Sonia terbaik gue” Candy kembali berjalan menuju pintu. “Lo mau kemana?” Candy menoleh sebelum menutup pintu.
Gadis itu tampak berpikir kecil. “Ngasih pelajaran sama cowok kurang ajar itu, lo ga usah khawatir karena gue ga akan nyakitin fisiknya. Gue cuma mau ngasih liat resiko kalau yang dia omongin tentang gue itu bener sebahaya apa” Salsa masih tampak menatap Candy dengan tidak percaya.
Candy malah kembali tersenyum ke arah Salsa. “Kalo dia bilang gue ini penggoda sampah, gue bakal nunjukin sebahaya apa kalo gue udah godain orang. Sa, makasih. Karena lo masih mau disisi gue, meski gue tetep bakal buang lo kalo lo ga berguna” Salsa ikut tersenyum mendengarnya.
“Meski gue ga suka ini terjadi, tapi lo bisa liat kan kalo gue ini seberguna apa buat lo?” Salsa kembali tersenyum sebelum Candy menutup pintu dan menjauh dari ruangan.
Dalam keheningan gadis yang sekuat mungkin menahan getaran dalam tubuhnya itu akhirnya terjatuh. Menyentuh dadanya yang terpacu kuat karena rasa takut.
Ia takut Candy semakin rusak, ia takut Candy mengalami hal menakutkan lagi. Ketakutan itu mungkin datang karena Salsa memang turut andil akan kerusakan Candy. Dulu Salsa berbahagia atas kerusakan Candy, kini dia mendapatkan hukuman—karma buruknya.
“Rasa sayang sepihak gue ini makin bikin jengkel”.