"Emmm!" Berlian menahan mual yang menganggu, satu tangan menutup mulutnya, tangan lain memegang perut yang terasa seperti diaduk-aduk.
Satu bulan berlalu sejak kejadian di klub malam itu, kini Berlian merasa ada yang aneh pada dirinya. Tubuhnya terasa lemas, bahkan untuk beranjak dari tempat tidur saja dia tidak memiliki tenaga.
"Berlian, bangun, Sayang! Sarapan dulu Nak. Sudah dua hari kamu ngga berangkat kuliah. Masa mau bolos lagi?"
Terdengar suara teriakan dari luar kamar.
"Iya Mom, aku udah bangun. Aku mau mandi dulu," sahut Berlian, perlahan menurunkan kaki dari ranjang.
"Mommy tunggu di ruang makan ya. Ada Daddy juga, tadi Daddy datang bawain roti kesukaan kamu."
"Iya Mom, aku ke sana setelah mandi." Berlian berjalan mendekati pintu, menempelkan telinganya di daun pintu itu, memastikan sang ibu sudah menjauh dari sana.
Menghela napas panjang, kembali berjalan ke ranjang lalu berbaring. Berlian memejamkan kedua mata rapat.
Gadis cantik berusia 20 tahun itu adalah anak tunggal dari pasangan Karen dan Brian.
Deg!
Berlian membuka matanya lebar saat mengingat kapan terakhir dia datang bulan.
"Ngga mungkin gue hamil." Berlian mengubah posisinya menjadi duduk lalu berjalan ke kamar mandi dan masuk.
Berlian berdiri di depan cermin panjang di atas wastafel, memandangi wajahnya yang terlihat pucat di depan cermin itu.
"Ngga, ngga mungkin gue hamil. Emang bisa cuma ngelakuin satu kali terus hamil?" Dengan tangan gemetar, Berlian mengambil kalender duduk di depannya, melihat kapan terakhir dia datang bulan.
"Telat tiga hari, ngga mungkin hamil kan?" Berlian mengigit bibir bawahnya, menahan getaran di dagu. "Kalau gue hamil, gue harus minta tanggung jawab siapa? Siapa lelaki itu?"
Mahasiswi yang mengambil jurusan Menejemen itu mencoba mengingat wajah lelaki yang mengambil kehormatannya pada malam itu.
"Gue ngga inget. Siapa dia?" Berlian menarik rambut putus asa. "g****k! Kenapa juga gue mau ikut ke klub sama Rika dan Yuri!" sesalnya.
Setelah kejadian sebulan yang lalu, Rika dan Yuri hilang tanpa jejak dan kabar. Banyak yang mengatakan, mereka sudah berurusan dengan Bos Mafia dan menjadi sasaran empuk Bos itu karena melanggar perjanjian. Namun, Berlian tak ingin mencari tahu lebih lanjut, karena dia tidak ingin terseret ke dalam masalah kedua teman yang sudah menghancurkan hidupnya.
"Gue harus apa? Ngga mungkin kan gue hamil?" Berlian membasuh wajahnya menggunakan air mengalir.
Selesai membersihkan wajah dan mengganti pakaian, Berlian keluar dari kamar mandi lalu berjalan ke pintu.
"Siapa lagi dia Mas?"
"Siapa apanya sih? Kamu kok curigaan mulu!"
"Kamu selingkuh kan?"
"Siapa yang selingkuh? Jangan asal nuduh kamu!"
"Aku mengatakan semua ini karena aku punya bukti! Kamu tega menduakan aku hanya karena aku sibuk bekerja! Aku ikut bekerja, karena Berlian butuh biaya untuk kuliah!" cecar Karen, meluapkan emosinya.
"Terserah apa katamu! Aku sudah lelah mendengar tuduhan itu! Atau jangan-jangan kamu yang selingkuh dengan Bos kamu di kantor!"
"Jangan sembarangan menuduh Mas!"
"Lalu apa bedanya aku sama kamu? Hah!"
Berlian menghela napas panjang, mencoba mengabaikan teriakan dan pertengkaran kedua orang tuanya yang sudah hampir setiap hari dia dengar.
Itu juga yang menjadi salah satu alasan Berlian nekat ikut teman-temannya ke klub malam, karena dia ingin sekali saja mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya yang hanya sibuk dengan pekerjaan mereka.
Mendadak suasana di ruang makan hening saat Berlian datang dan duduk di depan meja makan.
"Mom, Dad, aku ingin mengatakan sesuatu pada kalian," ucap Berlian sambil menatap kedua orang tuanya yang duduk di seberang meja.
"Bicara apa Sayang?" tanya Brian dengan senyuman, seolah tidak ada yang terjadi sama sekali tadi.
"Iya Nak, kamu mau bicara apa?" Karen juga menyunggingkan senyuman lebar.
Berlian menghela napas panjang dan lirih lalu mengatakan, "Aku telat satu minggu. Kemungkinan aku sedang mengandung, tapi aku tidak tahu siapa lelaki yang menghamili aku. Kalian mau kan membantu mencari tahu siapa lelaki itu dan meminta dia untuk bertanggung jawab?"
TARR!
Bagai disambar petir di siang hari, Brian dan Karen terhenyak kaget setelah mendengar kejujuran anak mereka.
"Ka-kamu, hamil?" Brian memegang dadanya yang terasa sesak.
"Berlian! Tolong katakan kalau kamu sedang bercanda! Tolong ralat ucapanmu itu!" bentak Karen, emosi.
"Aku serius, Mom. Sepertinya aku hamil. Terserah kalian kalau kalian ingin menyalahkan aku, tapi aku juga memiliki hak untuk menyalahkan kalian yang tidak pernah memberiku kasih sayang seperti orang tua di luaran sana!"
Berlian tak kuasa menahan tangisan, mengungkapkan isi hatinya yang selama ini kecewa dengan kedua orang tuanya. Bahkan, saat dia tidak pulang ke rumah pada malam itu, kedua orang tuanya tidak perduli.
Setelah mendengar pengakuan anaknya, Karen langsung menoleh ke samping menatap sang suami. "Semua ini karena kamu Mas! Kamu terlalu sibuk dengan pekerjaan dan selingkuhan kamu sampai-sampai kamu lupa pada anak gadis kita yang sudah beranjak dewasa! Anak perempuan kita satu-satunya. Sekarang hidup Berlian hancur! Masa depannya berantakan karena kamu!"
"Kok kamu jadi nyalahin aku! Yang seharusnya disalahkan itu kamu! Ke mana saja kamu selama ini! Kamu itu kan seorang Ibu, tugas kamu menjaga anak kita! Kenapa kamu jadi menyalahkan aku? Kamu yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan selalu memprioritaskan Bos kamu di kantor dibandingkan urusan rumah dan anak!" Brian berbalik memarahi istrinya.
"CUKUP!" teriak Berlian lalu berdiri dan mendorong kursi ke belakang. "Kalau kalian masih sibuk saling menyalahkan, lebih baik aku mati saja daripada aku menanggung malu!"
Kedua orang tuanya terdiam sambil menatap Berlian yang menangis pilu.
"Kami harus apa? Kamu saja tidak tahu siapa lelaki itu, bagaimana caranya Daddy mencari lelaki itu untuk memintanya bertanggung jawab?" Brian menghela napas putus asa.
"Iya Nak, bagaimana caranya kami mencari tahu lelaki itu? Sedangkan kamu saja tidak tahu siapa orangnya," sambung Karen.
"Dia membawaku ke Hotel Bintang Lima, Santika Indah di pusat Kota. Kamar 215 lantai tiga," ujar Berlian lalu berjalan pergi meninggalkan ruang makan.
Karen dan Brian saling tatap.
"Cari lelaki itu Mas! Sudah saatnya kita mengurus anak kita Mas, demi masa depannya. Aku tidak ingin anakku melahirkan tanpa adanya suami. Kita harus mencari tahu siapa Ayah dari bayi itu. Aku mohon Mas, cari lelaki itu sampai ketemu dan minta dia bertanggung jawab atas perbuatannya pada anak kita."
"Tapi, bagaimana kalau lelaki itu hanya lelaki miskin dan juga tua. Aku tidak dudi anakku menikah dengan lelaki seperti itu. Berlian itu cantik dan dia harus mendapatkan lelaki yang terbaik."
"Hotel Santika adalah hotel terbesar di negara ini, hanya orang yang memiliki banyak uang yang bisa memesan kamar di sana. Harga sewa satu jam saja menembus puluhan juta. Apa kamu tidak berpikir kalau yang menghamili anak kita adalah orang kaya raya?"
Brian mengangguk pelan setelah mendengar ucapan istrinya.