13

1283 Words
Bagaimana kalau kita berbicara tentang sedikit masa lalu? Setelah Mom menyadari minat memasakku. Ia langsung mengajariku sebagian besar resep andalannya. Kami lalu bergiliran membuat makanan setiap hari sampai aku pindah dan menjalani hidup sebagai mahasiswa. Aku mempunyai gelar Departemen Seni dan Drama. Semua itu jelas berkat wajahku. Sebenarnya aku masih tidak tahu pasti mengapa berakhir di sana. Mungkin sewaktu di sekolah menengah - dan perlu diingat kalau aku bersekolah di sekolah khusus laki-laki - semua orang sepertinya setuju bahwa aku bisa menjadi aktor. Semua itu terjadi akibat aku membintangi satu sebuah drama teater di kelas junior. Guru seniku juga mengatakan hal yang sama. Ketika aku mendapatkan surat penerimaan perguruan tinggi hanya dari video drama etater yang direkam itu. Keluargaku malah memberiku restu setengah hati. Aku juga tidak bisa menyalahkan mereka karena merasa seperti itu. Abangku lulus dengan gelar Manajemen Bisnis dan seluruh keluargaku bekerja di perusahaan besar yang berhubungan dengan bisnis. Aku masih sering menghubungi teman-teman sekolah dan teman kuliah dari media sosial. Beberapa dari mereka adalah follower di channel Youtube-ku dan beberapa dari mereka sesekali bermain game online denganku. Tapi tak satu pun dari mereka yang bisa kusebut sebagai sahabat. Sepertiga lainnya sangat membenciku. Aku tidak tahu apa-apa tentang itu sampai aku menjadi vlogger makanan yang sukses. Mereka menyebarkan rumor secara online bahwa saya hanya orang aneh dengan sindrom mother complex. Jadi apakah kita bisa kembali ke masa sekarang? Walau aku sebenarnya tidak ingin tapi aku benar-benar nyaris frustasi. Kedua tanganku di pinggag dan aku mendongak menatap langit yang dinaungi rindangnya pepohonan. Semilir angin berembus menyejukkan. Tapi tidak bisa meradam perasaan panas yang aku rasakan di dalam dadaku. “Kau harus menguasainya dengan cepat. Kau tidak ingin menyia-nyiakan amunisi, kan?” Abe memecahkan keheningan. Aku tahu ia menahan diri untuk tidak menunjukkan ekspresi senangnya karena memerintah-memerintahku dan sekarang ia tengah mengulum bibirnya. Tapi ia memang tidak banyak bicara. Walau kuda-kudaku bagus aku masih saja terkejut akibat sentakan ketika menarik pelatuk yang menyebabkan sakit di bahu dan lengan. Belum lagi jantungku berdegup kencang dan keringat dingin di sekujur tubuh. Aku tidak pernah suka sensasi adrenalin seperti ini. Dan semua ini jauh lebih buruk daripada memegang pedang. Dengan pedang aku hanya bisa menghabisi satu orang dalam satu waktu. Tapi dengan benda hitam ini di tanganku? Aku tahu aku bisa melakukan lebih banyak dari itu. Kenapa benda sekecil ini bisa menyebabkan ledakan sebesar itu? Suara tembakan senjata bergema diseluruh hutan kecil dekat laun ini. Targetku adalah boneka kelinci kecil yang diletakkan di atas batu besar. Abe sedari tadi berada di belakangku. Ia duduk di atas pangkal pohon tertebang dengan Gray di pangkuannyanya. Kucing itu tidur setelah terlalu banyak bermain. “Lucu sebenarnya karena kau tampaknya tidak keberatan menggunakan pedang untuk memenggal kepala seseorang sementara sekarang kau terlihat sangat membenci pistol itu. Apakah ada alasan khusus dibaliknya? ” Abe tiba-tiba bertanya, bahkan tidak repot-repot menyembunyikan perasaan gelinya. Masih sambil memandangi pistol di dalam salah satu telapak tanganku, aku terkekeh. “Yah, kau sepertinya tidak tahu seberapa besar penderitaan yang disebabkan oleh benda ini selama beberapa dekade." "Aku pikir ada semacam keinginan untuk menumpahkan darah dalam dirimu?" Aku menoleh padanya untuk memberinya pandangan tidak percaya dan ia malah mengedikkan bahu. “Itulah yang aku lihat sejauh ini. “Untuk kebaikan yang lebih besar”, katamu. " Ada masa. Seperti sekarang ini. Ketika Abe berbicara seperti ia mengasingkan dirinya dari umat manusia. Perilakunya yang menyebalkan, terlebih lagi. Pada awalnya aku hanya berpikir ia hanya orang yang sangat sarkastik. Tetapi ada juga masa ia seperti mengetahui beberapa rahasia dan mengejekmu karena sama sekali tidak menyadari apapun itu. “Kau berbicara seperti kau tidak pernah menggunakan kaosku yang seharga $ 150 sebagai perban.” Luka di kakiku sesekali terasa perih karena keringat. Aku juga sudah mencuci kaos itu dan memakainya sekarang. Masih ada bekas darah yang masih terlihat di beberapa bagian ...  “Tapi itu untuk kebaikanmu sendiri!” Aku lalu mendengar ia tertawa lagi. Aku memutar mata dan kembali ke pelatihanku. Perlahan-lahan aku terbiasa dengan beban pistol di tanganku. Tapi aku masih tidak suka sensasi saat pistol meledakkan peluru dan saat ini boneka kelinci itu telah kehilangan salah satu matanya. Aku lalu melirik ke arah Abe. Berharap ia kembali mengatakan sesuatu. Tapi sekarang ia malah menoleh ke arah lain. Ekspresinya membuatku khawatir. Jadi aku mencoba mencari tahu ... Aku mendengar suara gemersik semak-semak yang semakin mendekat. Seorang gadis berambut jahe kecil dengan gaun boneka bayi dan jaket kulit muncul tidak lama kemudian. Ia datang dengan langkah tertatih ke arah kami dengan salah satu tangan di leher. Ada darah di sela-sela jarinya. Langkahnya terhuyung-huyung karena kakinya juga terdapat bekas gigitan. Ia seperti mencoba mengatakan sesuatu ... Tanpa disadari ia sudah berlari ke arah kami. Tanpa benar-benar menyadarinya aku sudah menyongsongnya. Kami saling menabra, membuatnya langsung jatuh ke dalam ke pelukanku. Ia akan berubah setiap saat. Tapi ia masih belum kehilangan dirinya sendiri. Aku tahu ada sedikit kelegaan di matanya saat ia mengenaliu sebagai manusia. Perlahan ia melepaskan tangannya dari luka di lehernya ketika ia mencoba mengatakan sesuatu. Tapi aku tidak mengerti apa yang ia katakan dengan suaranya yang serak. Wajahnya membiru begitu cepat. "Tembak ia!" Teriakan Abe membuatku tersentak. Ia berteriak cukup keras untuk membuat burung-burung yang bertengger di pepohonan berterbangan. “Tembak ia sekarang, James!” Aku tidak ingin mendengarnya. Aku mencoba menutupi luka dengan tanganku meskipun aku tahu itu sudah terlambat. Kepalanya mulai terkulai di lenganku... “Demi Tuhan, James! Tembak dia! " Dan momen itu terjadi begitu cepat. Gadis kecil itu tiba-tiba terbangun dari lenganku, menjerit dengan semua giginya yang terpampang jelas. Ia menggeram dengan suara yang sama sekali tidak manusiawi. Aku tidak punya waktu lama untuk terkejut terlalu lama dan tanganku bergerak dengan perintahnya sendiri. Menembak gadis itu tepat di antara matanya sambil berbalik. Menutup mataku saat tubuhnya jatuh ke tanah. Setelah burung berhenti berteriak. Aku terjengkang. Aku hampir menendang tubuhnya yang terbujur kaku dengan mata yang terbuka lebar. Sekarang ia sama sekali tidak terlihat seperti zombie. Ia mungkin berusia sekitar tujuh atau delapan tahun tetapi dengan luka gigitan mengerikan di leher dan kakinya. Pembuluh darahnya yang tadi sempat menonjol dari dalam kulitnya perlahan menghilang. Ia terlihat seperti manusia normal, tapi peluru di dahinya mengatakan sebaliknya. Aku mencoba untuk tidak muntah tetapi gagal. Saat aku muntah-muntah, Abe sudah berada di sisi jasad gadis itu. Entahlah, apakah karena air mata membuat mataku kabur atau saat ini Abe dikelilingi oleh cahaya putih? Gray duduk di sisi Abe saat cahaya putih menjadi begitu kuat. Itu membuatku buta selama sedetik sebelum menghilang. Aku berkedip dua kali untuk mengembalikan pandangan. Abe sekarang tengah menatapku dari atas bahu kanannya. "Kau mengubah takdir lagi, James." Abe bergumam. Ada nada dingin dalam suaranya yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Aku berdeham untum membersihkan tenggorokanku sambil menyeka mulut dengan kerah baju. “Darimana cahaya itu berasal?” Tiba-tiba saya menyadari bahwa saya melemparkan pertanyaan yang salah padanya. "Kau siapa?" “Ketika aku pikir ini akan menjadi tugas yang mudah. Aku sangat bodoh karena melupakan apa yang Dia katakan ... "Abe bangkit. Ia memegang pinggangnya. Ada senyum aneh di wajahnya sekarang. Siapa bilang apa? “Kami seharusnya tidak berkomentar tentang sesuatu yang kau tidak miliki pengetahuan apapun tentangnya!" "Apa yang kau katakan? Siapa yang bilang apa?" Aku sudah duduk tegak sekarang. Mataku terangkat saat Abe yang menyeringai. Tiba-tiba sesuatu muncul dari punggungnya. Ada sepasang sayap besar dengan warna abu-abu dari punggungnya. Bulunya sebesar mungin selebar telapak tanganku. Sayap itu membentang hingga menutupi sinar matahari dari wajahku. Aku mendengar Gray mengeong keras. Kucing itu malah tidak terlihat terganggu. Ia malah duduk dengan anggun seolah ia berharap ia juga memiliki sayap. “Salam, James Kim.” Seringainya tampak lebih menyebalkan dari sebelumnya. “Terima kasih telah membuat semua ini lebih menyenangkan ...” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD