Hal pertama yang Mom minta kepada kami “berempat” adalah mandi.
Abe mengambil jatah lebih dulu. Begitu Alec memberinya perlengkapan mandi dan pakaian bersih padanya, ia memandangi barang-barang di dalam pelukannya itu sejenak sebelum ke wajah Alec. Alec tampak terheran-heran sebelum pria berpakaian serba putih itu menghilang naik ke kamar mandi di lantai atas.
Sedangkan Brooke mendapatkan perlengkapan mandinya dari Dalla Kim, istri Alec. Brooke menolak pakaian yang diberikan oleh Dalla dan berkata ia masih punya pakaian bersih yang bisa dipakai. Seseorang yang entah kenapa wajahnya memerah itu sekarang pergi ke arah kamar mandi di lantai bawah yang ditunjukkan Dalla padanya.
Sedangkan Mom dengan senang hati memandikan Gray di wastafel dapur bersama Dalla sekarang. Aku duduk di kursi meja makan mengawasi kedua wanita itu mengeluarkan suara mendengking yang biasa wanita keluarkan ketika melihat sesuatu yang menggemaskan. Mereka sudah pasti telah jatuh cinta dengan kucing itu. Mom berseru terkejut begitu menyabuni tubuh Gray. Sudah pasti menyadari betapa kucing itu sangat kurus. Keduanya sekarang malah melirik tajam ke arahku. Seakan-akan kemyataan itu entah bagaimana salahku.
“Hey! Ketika aku menemukannya ia sudah dalam keadaan seperti itu!” seruku tidak terima. Alec kemudian menyusul untuk memberiku handuk bersih, perlengkapan mandi, dan sepasang pakaian. Aku mendengarnya menghela napas keras.
Aku mendongak untuk bertukar pandang dengan abangku itu dan ia menyeringai. “Maafkan mereka. Dalla sudah memintaku mengadopsi anjing atau kucing dari beberapa bulan lalu. Tapi aku berkilah kami sudah tidak bisa mengurus binatang lain lagi.”
“Jadi bagaimana kau mengurus semuanya sendiri selama ini?” tanyaku sambil mengendus-endus sabun batangan yang diberikan Alec.
Alec berdecak. “Kau sama sekali tidak ingin tahu bagaimana. Aku kehilangan satu-dua sapi beberapa hari lalu. Mereka... Well, kau tahulah. Memakan apapun yang hidup. Namun untungnya zombi-zombi itu datang tidak dalam kelompok besar ke sini.” Alec dengan kedua tangan di pinggang. “Pergilah bersihkan dirimu. Nanti kita bicarakan sisanya.”
Aku mengangguk. Bangkit meninggalkan kedua wanita itu masih menyabuni Gray yang sangat tenang dengan semua kehebohan dan sudah jelas pasti menikmati dimanjakan seperti itu. Sebelum kau sempat menaiki tangga aku mendapati Brooke sudah keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah dan ia tampak segar.
“Kau mau pakai kamar mandi juga?”
Aku menggumam mengiyakan. Walau jika Alec atau Dalla yang bertanya seperti itu padaku. Aku pasti akan menjawabnya dengan ketus. Memangnya ke mana lagi aku bisa dengan membawa sabun, sikat gigi, dan handuk?
Brooke lalu memberiku jalan. Ketika melewatinya aku mencium harum sabun yang sangat manis menguar dari tubuhnya. Sangat berbeda dengan wangi sabun yang Alec berikan padaku. Sabun milikku wanginya sangat tajam menusuk hidung. Dengan harum seperti sabun Brooke, sudah pasti akan membuatmu sakit kepala ketika bertemu seseorang dengan harum yang sama ditengah teriknya musim panas.
Well, begitu juga dengan harum seluruh kamar mandi begitu aku membuka pintunya.
Aku mengipas-ngipas kamar mandi dengan daun pintu untuk mengeluarkan harumnya sebelum menutupnya. Aku meletakkan barang-barangku di atas konter dengan cermin berembun. Aku tahu Alec mempermainkanku dengan memberiku kaos dengan warna paling pudar yang ia punya dan celana training dengan karet pinggangnya yang sudah melar.
Karena ia tahu aku yidak punya pilihan selain menerima ini dan memakainya.
Jadi aku menelan semua makian yang ingin kuberikan kepada abangku itu lalu mandi secepat yang aku bisa. Aku meletakkan perlengkapan mandiku di dalam lemari konter bersama dengan beberapa yang lain yang sepertinya memikirkan hal yang sama denganku. Dengan kulit harum sabun batangan murahan dan rambut yang basah aku keluar kamar mandi. Aku masih mendengar suara kehebohan yang berasal dari para wanita di dapur sehingga aku memutar menuju ruang tamu. Ke tempat aku menempatkan barang-brangku tadi. Aku terperangah melihat Dad sedang mengamati pedangku dengan amat tertarik. Bilahnya tampak berkilau tertempa sinar matahari dari celah-celah kecil dari jendela yang tertutup dengan papan-papan tebal. Ia mengayun-ngayunkannya pelan di tubuh. Ekspresinya menunjukkan ia menyukai bagiamana cara kerja pedang itu.
“Ini menakjubkan. Darimana kau mendapatkannya?” tanya Dad dengan mata yang masih tetuju pada pedangku.
“Dari toko senjatan yang ada di dekat gedung apartemenku,” jawabku sambil mengaduk-aduk isi tas besarku untuk mencari perlengkapan skin-care yang sempat terlupakan beberapa hari ini. Ketika Dad mulai mengayun-ngayunkan pedang, cepat-cepat aku menambahkan. “Hati-hati, Dad. Pedang itu sama tajamnya dengan pedang Kevin Costner di The Bodyguard.”
“Oh, ya?” Wajahnya mendadak lebih berbinar. “Berarti kau sudah pernah memakainya? Bukan hanya untuk membuatmu terlihat lebih gaya? Kau tahu, apocalypse-style?”
Aku sedang menepuk-nepuk toner di wajahku saat ketika Dad memberiku seringaian tanpa bersalah. Dad mengenalku dengan baik dan aku tidak begitu menyukai kenyataan itu.
“Tidak, sir. Aku melihatnya memakai pedang itu lebih baik daripada memintanya menembak.”
Aku menoleh ke belakang dan mendapati Abe-lah yang memberi tanggapan. Rambut hitamnya yang ikal kempis akibat air dan ia tampak lebih muda dengan keadaan seperti itu. Anehnya, ia kembali mendapatkan pakaian berwarna putih dari kaos hingga celana trainingnya.
“Kau melihat James melakukannya? Kalian bertemu di mana? Apa kau juga orang New York, Abe?” Dad memandang kami bergantian.
“Ceritanya panjang, Dad dan aku sudah lapar sekali.” Aku memutar penutup moisturize dan menyimpan semua kotak dan tabung kembali ke dalam tas.
Dad menatap kami bergantian sebelum mengedikkan bahu. Ia memasukkan pedang kembali ke sarungnya kemudian bangkit. “Well, kalau begitu ayo kita makan.”
Untungnya ketika kami sampai di dapur merea sudah selesai mengurusi Gray dan makanan sudah terhidang di meja makan. Aku tidak terkejut di atas sana hanya ada salad kentang sederhana dan telur mata sapi. Aku rasa semua makanan tersebut berasal dari ternak Alec dan sebuah kebun kecil di belakang rumah ini.
“Kita butuh berhemat. Soalnya kita belum tahu sampai kapan semua kegilaan ini akan berlangsung.” Mom menjelaskan sambil meremas pundak Brooke yang mengambil duduk di sebelahnya.
“Apa kalian pernah mendengar berita apapun dari sini?” Terdengar seperti pertanyaan bodoh. namun tetap harus aku tanyakan.
“Dad berhasil memperbaiki salah satu radio tua dengan baterai kemarin. Kami mendengar beberapa pengumuman sejak kemarin. New Jersey telah menolak sebagian pengungsi. Jadi bisa dikatakan kita harus mampu bertahan sendiri saat ini.” Alec menunggu gilirannya untuk mendapatkan piring salad kentang dari istrinya.
“Sebenarnya kami berencana untuk membangun pagar, namun kami tidak punya cukup tenaga. Kau tahu, selain para zombi itu kita juga masih harus melindungi diri dari para perampok yang mungkin datang. Jadi selesaikan makan kalian agar kita bisa mulai bekerja sebelum petang.” Dad kemudian ia mulai menyuap.
“Ide yang bagus, sir.”
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya yang ada di dalam kepala Abe. Tapi ia berubah menjadi lebih banyak bicara dan lebih banyak “menjilat” setelah sampai di rumah ini. Piring Abe sekarang hanya berisi dua sendok makan salad kentang dan telur mata sapinya tinggal kuning telurnya saja.
“Kulihat kau cukup kuat untuk membantu kami, Abe. Terimkasih.” Dad tersenyum ke arahnya lalu mengangguk.
Aku dan Abe kemudian saling pandang. Entah kenapa membuatku mengingat pertanyaan yang seharusnya aku tanyakan sebelum kami sampai ditujuan kami.
Apa alasan seorang malaikat turun ke Bumi ketika semua hal ini terjadi?
***