2

1883 Words
Hari ke-2. Semuanya menjadi lebih buruk.  Si Pembawa Berita sudah tidak lagi memerhatikan penampilannya dan sekarang ia tengah membacakan berita bahkan tanpa perlu memperhalus nada bicaranya. Ia mengatakan tentang kemungkinan internet akan mati dalam waktu dekat. Belum lagi pemerintah yang kewalahan dengan para penyintas. Mereka juga membahas tentang kemungkinan untuk menutup akses beberapa kota besar, termasuk New York. Satu hal penting yang terlintas di benakku begitu mendengar semua itu: Mengucapkan perpisahan pada followers. Aku membuat sebuah video perpisahan di channel Youtube. Mengucapkan semua hal yang menurutku layak untuk diucapkan di saat-saat seperti ini. Semua akan segera berakhir walau aku sama sekali tidak yakin kapan tepatnya.  Tidak lupa aku mengatakan agar semuanya tetap kuat karena semunya akan baik-baik saja. Untuk alasan keamanan, aku berakting seperti aku sedang dalam pelarian. Aku tidak ingin ada lagi yang berusaha mendobrak apartemenku. Setelah meyakinkan diri bahwa video mentah lebih meyakinkan. Aku mulai berlatih melempar pisau dengan membuat sasaran di dinding. Walaupun aku telah melakukan banyak olahraga sebelumnya. Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan mampu melempar pisau tepat sasaran. Aku nyaris menghancurkan seluruh ruang tengah. Aku ingat Si Pembawa Berita mengatakan aku bisa mengalahkan zombi dengan meledakkan kepalanya. Aku juga merasa tidak ada yang bisa meledakkan kepala zombi hanya dengan melempar pisau. Well, mungkin saja bisa jika mereka punya kemampuan yang lebih baik dariku. Hal yang paling penting yang aku rasa sengaja mereka lewati adalah mereka sama sekali tidak pernah memberitahu bagaimana mutasi virus itu menyebar. Apakah kita kembali pada zaman Wabah Hitam pada tahun 1300-an? Tapi aku tidak ingat sesuatu tentang seseorang berubah menjadi zombi kecuali semua buku atau film fiksi sejarah yang pernah aku baca atau tonton.   Terkadang kau tidak bisa membedakan mana yang fiksi dan mana yang kenyataan. Dan sekarang aku berdiri di tengah keduanya. Berapa saat lalu aku bahkan melihat seseorang memakai topeng paruh burung modern dengan pakaian serba hitam lewat melalui jendela. Aku berani bertaruh ia bahkan berjalan dalam slow-motion sambil menyeret senapannya di tanah. Ia menembak beberapa zombi kemudian menenggerkan senapan di pundak. Seperti ada sihir yang sedang terjadi ketika ia melakukannya. Ia kelihatan seperti malaikat maut yang sedang berjalan ditengah perang yang sedang berlangsung. Aku takjub dengan pemikiran bahwa seseorang benar-benar menunggu saat-saat seperti ini untuk bisa melakukan hal semacam itu. *** Hari ke-3. Aku sama sekali tidak menyangka banyak hal besar yang bisa terjadi dalam kurun waktu tiga hari. Si Pembawa Berita kembali membawakan sebuah pengumuman singkat dengan sinyal yang kabur. Hampir seluruh alat-alat komunikasi sudah sulit digunakan. Jadi aku memutuskan –dengan sinyal yang jelek – untuk menelpon ibu lagi. Dan secara mengecewakan hanya berakhir di pesan suara. Bahkan sebelum pengumuman itu aku juga sudah beberapa kali menelpon ibu tapi selalu saja berakhir sama. Aku ingin tahu apakah  mereka sudah sampai di rumah peternakan abangku apa belum. Walaupun aku tahu ayah bukanlah lawan zombi. Mereka mungkin lebih takut dengan ayah daripada sebaliknya. Itu membuatku menyadari aku harus menemukan senjata yang lebih baik dari pisau. Tiba-tiba aku teringat ada sebuah toko yang menjual senjata api yang terletak hanya dua blok dari gedung apartemen ini. Tapi apakah mereka masih beroperasi disaat yang seperti ini? (Pertanyaan bodoh? Betul. Tapi bukan berarti kita meninggalkan sopaan-santu.) Tapi jika tidak aku berharap paling tidak ada beberapa senjata yang tertinggal. Aku sendiri tidak pernah membayangkan untuk memiliki senjata api. Apalagi setelah perdebatan sengit tentang Amandemen Kedua yang terjadi setiap saat di TV. Aku tidak punya alasan untuk melindungi diri dari apapun dan kau hanya bisa berpikir seperti itu jika kau belum pernah menyakiti siapapun sebelumnya. Dan sekarang aku tahu alasan kenapa seluruh film zombi berlatar Amerika. Aku memutuskan untuk mendatangi toko itu di tengah hari karena hanya pada saat itulah para zombi tidak banyak berkeliaran. Aku tidak lagi mendengar apapun di lorong luar apartemenku. Aku rasa semua tetanggaku juga sudah pergi. Jadi dengan jaket bertudung berwarna abu-abu dan tas yang penuh dengan pisau dan semprotan merica. (Aku tidak pernah menonton film tentang zombi yang bisa dikalahkan dengan semprotan merica. Tapi tetap saja layak dicoba. Tapi bukan berarti aku benar-benar ingin mencoba.) Setiap lantai gedung ini memiliki dua apartemen yang pintunya saling berhadapan. Tetanggaku sendiri sudah pergi, terlihat dari pintu apartemennya yang terbuka begitu saja. Aku melirik ke dalam dan mendapati apartemen itu sudah dalam keadaan berantakan. Aku cukup pintar untuk tidak mencaritahu lebih jauh. Aku berjinjit untuk menghindari membuat suara yang tidak diinginkan ketika menuruni tangga. Gedung apartemen ini mungkin saja terlihat tua, tapi kelihatannya semuanya baik-baik saja. Masalah terbesarku saat ini adalah bagaimana caranya keluar-masuk gedung ini dengan selamat? Syukurlah pemilik gedung apartemen ini adalah orang yang eksentrik. Satu-satunya hal yang membuat sewa apartemen gedung apartemen ini lebih mahal dari sekitarnya adalah pintu depan yang akan otomatis terkunci dari dalam. Jadi jika kau ingin masuk kau harus punya kunci atau seseorang dari dalam turun untuk membukakanmu pintu. Karena alasan itulah kotak surat kami berada di luar gedung.  Sebelum aku keluar dari pintu aku lebih dulu mengedarkan pandangan ke jalanan. Terlihat jelas seluruh kekacauan dari sini. Begitu banyak mobil-mobil rusak yang terparkir sembarangan. Aku bahkan tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya-tanya bagaimana bisa tisu toilet yang tidak tergulung berhamburan di jalanan. Selain itu tidak ada satupun zombi yang terlihat. Setelah berusaha membesarkan hati beberapa kali aku mendorong pintu terbuka. Setiap langkah yang kuambil, membuatku makin gelisah. Sebenarnya aku tadi berencana untuk melihat sekeliling. Berharap seseorang meninggalkan sebuah mobil layak yang penuh dengan bensin atau menjatuhkan senapan AR15 penuh peluru di manapun di sepanjang jalan ini. Aku nyaris terjtuh akibat kakiku sendiri begitu menyadari ada sekumpulan zombi tidak jauh dari tempatku berdiri sekarang. Aku memutuskan untuk mencari jalan lain. Aku tahu keputusan ini akan memakan waktu lebih lama  jadi aku mulai berjalan lebih cepat. Napasku terengah ketika sampai di depan pintu toko senjata api itu. Semuanya seperti yang kubayangkan terjadi. Walau aku sama sekali tidak ingin mengakuinya. Tempat ini sudah pasti adalah tempat kedua yang dijarah setelah supermarket. Dinding kaca display depan pecah. Pintu depan toko sudah terlepas dari engselnya. Dari balik meja display yang penuh dengan berbagai macam senjata api itu aku bisa membayangkan seorang pria kulit putih dengan celana khaki penuh dengan kantong dengan kumis pirang yang lebat akan menyambutku. Harus kukatakan aku sebenarnya berdoa seseorang punya sedikit perhatian untuk meninggalkan beberapa senjata api untuk orang-orang yang tertinggal. Toko ini nyaris kosong kecuali perlahan kaca yang berserakan di lantai. Hati-hati melangkah, aku mencoba mengedarkan pandangan dengan penuh harap. Dengan takjub menyadari ada beberapa noda darah di dinding putih toko ini. Mungkin sempat terjadi semacam perkelahian di sini. Kesadaran itu membuat sekujur tubuhku menggigil dan itu bukan karena sekarang adalah musim gugur. Tapi sesuatu menarik perhatianku. Sebuah pedang tergantung di dinding tidak jauh dari meja kasir. Tepat di bawah jam dinding yang retak. Sisi gamers-ku mengambil-alih. Aku mungkin tidak pandai menggunakannya, tapi aku rasa aku akan terlihat keren selama membawanya. Aku lalu menyeret salah satu kursi yang terbalik di lantai untuk mengambil pedang itu. Aku mendesah lega begitu menyadari pedang itu ditempel di dinding tanpa pengaman yang berarti, begitu juga dengan sarungnya. Aku terperangah menyadari berat pedang itu di tanganku. Cukup ringan dari perkiraan, membuatku mampu mengayukannya dengan mudah. Setelah itu memasang sarungnya dan menyampirkan talinya di pundak. Merasakan bebannya di sana dan menyukainya. Setelah penemuan yang menakjubkan itu aku tetap membutuhkan sebuah senjata modern. Jadi aku kembali mencari dengan lebih teliti. Pencarian kali ini membutuhkan banyak waktu. Dan ketika membutuhkannya aku menyadari suatu hal yang membuatku menyeringai. Lebih mudah menyembunyikan sesuatu di tempat terbuka. Aku mendapati sebuah lubang kecil di bawah alas lemari pajangan utama.  Aku mencoba mencungkil lubang itu... Aku menemukan sesuatu yang berwarna hitam dibaliknya. Aku ingat namanya, Glock 17. Lengkap dengan satu boks berisi peluru yang masih mengilat. Aku bahkan tertawa begitu menyadari aku juga mendapatkan ekstra magazine yang juga penuh dengan peluru. Ini benar-benar serasa seperti sedang bermain video game. Para anggota kongres itu pasti senang jika aku mengatakan hal ini pada mereka. Cepat-cepat aku memasukkan semua itu ke dalam tasku. Pencarian harta karunku berakhir. Aku harus segera pulang sebelum seluruh keberuntunganku habis. Sepertinya doaku tidak terkabul begitu menyadari ada segerombolan zombi yang sedang berjalan lambat di seberang jalan. Aku melemparkan diri ke lantai saat itu juga. Bersembunyi dibalik lemari. Berbisik penuh makian yang tidak mungkin aku katakan di depan followers-ku. Aku melirik ke arah arloji di pergelangan tangan dan melengos. Aku harus kembali secepat mungkin karena dari hasil pengamatan kasarku mereka lebih aktif ketika hari sudah mulai gelap. Setelah rasanya sudah cukup lama, aku kembali mencuri pandang. Gerombolan zombi itu sudah menghilang, tapi bukan berarti mereka sudah jauh dari sini. Aku harus mengambil kesempatan ini sebelum terlambat. Aku lalu bangkit dan memasang kembali tudung jaket di kepala. Dengan kedua tangan mencengkram tali selempang tas dan pedang. Aku segera meninggalkan toko. Aku mengambil jalur yang sama dengan kedatanganku tadi. Aku mencoba berlari dan dengan cepat mulai kehabisan napas. Semakin aku gelisah, semakin aku mencoba berlari lebih cepat. Aku lega begitu melihat gedung apartemenku dari kejauhan, membuatku menambah kecepatan. Tapi aku cukup terlambat untuk menyadari ada segerombolan zombi berbeda yang sering mondar-mandir di depan gedung apartemenku muncul dari arah berlawanan. Tidak ada pilihan lain kecuali menambah kecepatan lari lagi, membuatku mengerang keras. Walaupun sebenarnya aku ingin sekali berteriak. Salah satu followers-ku pernah berkomentar tentang betapa kerasnya suara jeritanku dan mereka membandingkannya dangan suara lumba-lumba.  Aku rindu alasanku berteriak hanya karena tanganku teriris akibat memotong bawang bombay, bukan karena dikejar zombi.  Mereka sudah menyadari kehadiranku dan berlari menyambut, tapi aku sudah lebih dulu berbelok ke arah gedung apartemen. Aku merasakan gapaian tangan mereka yang berusaha menangkap ujung tudung jaketku ketika aku membanting pintu otomatis tepat di depan wajah mereka yang jelek. Aku terjatuh dengan b****g lebih dulu dengan napas masih terengah. Tangan mereka meraih-raih diantara jeruji pintu otomatis sambil menggeram marah ke arahku. Aku tahu aku seharusnya tidak merasa bangga atau apapun, tapi aku tidak bisa tidak tersenyum ketika mendorong pintu kedua di hadapan mereka. Untuk kali ini aku harus bekerja sedikit lebih keras karena mereka mencoba mendorong pintu itu kembali padaku. Begitu berhasil aku masih bisa mendengar geraman marah para zombi ketika menaiki tangga kembali ke apartemenku. Setelah yakin sudah mengunci sebuah kunci yang ada di pintu, aku merasa layak untuk menikmati sekaleng soda dingin. (Walau bir terdengar lebih nikmat, tapi aku rasa untuk saat ini aku butuh untuk selalu sadar setiap saat.) Aku meletakkan penemuanku di atas konter sambil menikmati minumanku. Tidak sengaja melihat ponsel pribadiku yang kuletakkan begitu saja di sana dan mendapati banyak pesan dari pemerintah yang masuk. Salah satunya adalah informasi tentang lokasi pengungsian terdekat, New Jersey dan juga peringatan tentang listrik yang bisa mati kapan saja.  Tapi dari kumpulan pesan itu yang paling mengejutkan adalah pesan dari abangku, Alaxander Kim. Dahiku mengerut ketika mendengar pesan suara darinya: Mom dan Dad sudah sampai. Oh, ya. Kata Dad kau mungkin butuh melihat sesuatu yang ada di dalam tas pertolongan pertamamu. Aku meletakkan ponsel dan juga kaleng soda ke atas konter. Walau pesan itu aneh, tapi tidak mungkin tanpa alasan. Jadi aku mengambil tas pertolongan pertamaku yang kuletakkan di lemari di atas kompor. Di dalam tas merah kecil dengan logo palang berwarna putih itu ada tas kecil berwarna hitam yang tidak au kenali sama sekali. Setelah aku menyadari apa isi tas kecil itu aku mulai memaki dengan bahasa ibu dari ayahku. Isinya Glock 17. Dengan ekstra magazine dan sekotak peluru baru... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD