Seorang pria tersenyum melihat Laila yang sedang memilih kue yang ada di etalase dan langsung berjalan mendekati wanita itu.
“Laila,” sapa pria itu.
Laila terkejut dan langsung mendongakkan kepalanya, “Mas Adnan.”
“Beli kue juga?” tanya pria yang disapa Laila dengan panggilan Adnan.
“Iya,” sahut Laila mengangguk.
“Sendiri?” tanya Adnan kembali.
“Iya, Mas,” sahut Laila singkat.
“Oh, aku pikir kau bersama Pras,” ujar Adnan.
“Mas Pras, nanti siang baru pulang dari luar kota,” terang Laila.
“Pras baru pulang nanti siang? Aku pikir kemarin lusa,” Adnan tampak terlihat heran.
“Mas Pras bilang, kalau pekerjaannya di sana belum selesai,” terang Laila lagi, lanjut bicara, “Jadi baru bisa pulang hari ini.”
“Benarkah? Karena setahuku proyek kerja sama aku dan Pras di sana sudah selesai tiga hari yang lalu sesuai dengan laporan yang dia berikan,” ujar Adnan semakin heran, “Dan seharusnya dia sudah pulang lusa kemarin.”
“Maksud Mas Adnan?” Laila terlihat bingung dengan penjelasan Adnan tadi.
“Maksudku ...” ucapan Adnan terjeda saat ponsel miliknya berbunyi, kemudian pria itu langsung menerima panggilan telepon dan langsung berjalan menjauh dari Laila.
Sementara Laila yang masih terlihat bingung, bertanya-tanya dalam hatinya, apa maksud ucapan Mas Adnan tadi? Pekerjaan Mas Pras sudah selesai tiga hari yang lalu? Benarkah itu? Jadi ke mana Mas Pras selama dua hari ini?
Laila kemudian mencari ke arah mana Adnan tadi pergi, karena dia ingin bertanya lebih banyak perihal keterangan yang di berikan oleh pria tersebut tentang Pras.
***Otw***
“Tidak mau mampir dulu?” tawar wanita itu pada Pras, saat mobil yang mengantar mobil mereka pulang dari bandara berhenti di depan pagar rumahnya.
“Tidak, aku langsung saja,” sahut Pras dengan menggelengkan kepalanya, “Aku takut Laila sudah lama menungguku.”
Wanita itu mengangguk dan tersenyum paham, “Baiklah, hati-hati.”
Pras yang kali ini mengangguk dan kemudian mencium kedua pipi kedua wanita itu dan melambaikan tangan saat wanita itu sudah turun serta berdiri di depan pagar yang terlihat di buka seseorang hingga bayangannya hilang di balik pagar baru Pras memerintahkan sopirnya untuk pergi.
Memandang jalanan yang menuju pulang ke rumahnya hati Pras kembali menjadi galau, membayangkan wajah Laila yang menyambut kedatangannya nanti.
Ponselnya Pras berbunyi dan saat melihat nama pemanggilnya, dia menghela nafas panjang, “Halo, Bu.”
...
“Iya, aku baru sampai.”
...
“Nanti sore saja aku ke sana.”
...
Pras tampak terdiam mendengar apa yang dia bicarakan oleh ibunya.
...
“Baiklah.”
Pras mengakhiri pembicaraan itu, “Pak, kita ke rumah Ibuku.”
Dan mobil itu langsung berbalik arah dari tujuan semula, pulang ke rumah yang sudah mulai terlihat dari jauh oleh Pras.
Sesaat menoleh ke arah belakang, Pras sempat melihat Laila yang keluar dari pagar dan berdiri di sana seolah menanti kedatangannya pulang hari ini.
Dan begitu sampai di rumah orang tuanya, Pras langsung terlibat pembicaraan yang serius dengan Alma dan Syahrum, ayahnya.
“Ibu pikir kalian berdua baru akan pulang beberapa hari lagi,” ujar Alma sesaat setelah Pras sampai.
“Pekerjaanku sudah selesai, jadi aku pulang,” sahut Pras duduk di hadapan kedua orang tuanya.
“Seharusnya kalian berdua lebih banyak menghabiskan banyak waktu bersama di sana,” ujar Alma.
Pras menggelengkan kepalanya, “Aku punya banyak pekerjaan di sini dan lagian aku sudah berjanji akan pulang hari ini pada Laila.”
Terdengar Alma berdecak, “Kau bisa mencari alasan untuk mengulur waktu ...”
“Ibu, aku tidak ingin mengulur waktu dan itu akan membuat Laila curiga,” Pras menatap tak suka pada Alma.
“Pras benar Alma dan dia harus segera menyelesaikan semua pekerjaannya di sini sebelum dia mulai bercuti minggu depan,” ujar Syahrum menatap putranya dan melanjutkan ucapannya, “Biar yang sudah kita rencanakan berjalan dengan lancar dan aku yakin kau tidak ingin semua menjadi berantakan hanya karena kecurigaan yang timbul dari beberapa orang terutama Laila, kan? Apalagi waktunya semakin dekat.”
Mendengar ucapan Syahrum, Alma menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku ingin semua lancar sampai semuanya selesai.”
“Makanlah di sini, ibu sudah meminta bibi untuk memasakkan makanan kesukaanmu,” ajak Alma begitu melihat Pras beranjak dari tempat duduknya.
“Tapi Bu, ...” ucap Pras.
“Masih ada banyak yang harus di bahas soal semua rencana kita, terutama kita harus membahas bagaimana mengantisipasi jika ada masalah yang akan timbul apabila Laila sampai mengetahui semua sebelum waktunya,” ujar Alma sambil memandang Syahrum yang sudah lebih dulu berdiri.
Pras menghela nafas panjang dan kemudian menganggukkan kepalanya, mengikuti langkah kedua orang tuanya menuju ruang makan dengan pasrah.
Menjelang senja Pras baru pulang ke rumahnya setelah cukup lama berada di rumah orang tuanya.
Laila sudah berdiri menanti di depan pintu rumahnya menunggu Pras yang turun dengan membawa beberapa barang di tangannya.
“Maaf Mas pulang terlambat, tadi di suruh mampir ke rumah ibu dulu,” terang Pras begitu sudah berada di depan Laila tanpa menunggu wanita itu bertanya lebih dulu.
Laila tersenyum mengangguk pelan paham tanpa menyahut sana sekali, Pras langsung menjatuhkan semua barangnya ke lantai dan memeluk wanita itu dengan erat.
“Mas merindukanmu,” bisik Pras di telinga Laila dan mencium kening wanita itu lama.
Laila membalas pelukan itu dan meresapi kerinduan yang juga dia rasakan pada Pras, dengan mengucap berbisik, “Aku juga.”
Maafkan aku Laila, maafkan aku sayang.
***Otw***
Laila tersenyum melihat Airin yang bermain di tempat permainan yang di sediakan oleh restoran cepat saji tempat di mana dia dan Sarah bertemu.
“Airin lucu banget ya,” ujar Laila masih dengan menatap Airin.
“Iya,” Sarah setuju dengan pendapat Laila tentang putrinya.
“Aku suka kangen kalau lama tidak bertemu dia,” ujar Laila melambaikan tangannya pada Airin yang sedang duduk di permainan luncuran.
“Iya, aku juga begitu,” sahut Sarah.
“Heh?” gumam Laila heran menatap pada Sarah.
“Maksudku, aku kan sibuk bekerja apalagi kalau melakukan pekerjaan yang mengharuskan pergi keluar kota jadi terkadang waktu bersama Airin itu terbatas,” terang Sarah menghela nafas berat, “Jadi terkadang aku tidak mengetahui banyak perkembangan Airin kecuali dari Mama yang seharian bersamanya.”
Laila mengangguk mengerti dan paham tentang kesibukan sahabatnya itu, “Kalau nanti aku punya anak, aku harap bisa menghabiskan banyak waktu untuk melihat semua tumbuh kembangnya.”
Sarah menatap Laila, “Kau pasti benar-benar berharap untuk segera hamil ya?”
Laila tersenyum mendengar pertanyaan Sarah, “Tentu saja, karena mungkin dengan adanya anak akan membuat hubunganku dengan orang tua Pras menjadi lebih baik, apalagi pernikahan kami sudah berjalan hampir tiga tahun saat ini.”
Laila terdiam sejenak, “Rasanya tidak mungkin hubungan kami tetap buruk seperti ini, walau bagaimanapun mereka juga sudah aku anggap seperti orang tua kandungku sendiri.”
Setelah terdiam sejenak mendengar ucapan Laila, akhirnya Sarah bertanya dengan hati-hati, “Kau benar-benar berharap hubunganmu dengan orang tua Pras membaik?”
Laila mengangguk, “Tentu saja, karena aku sangat ingin mereka menerimaku dan menyayangiku seperti anak mereka sendiri seperti dirimu yang selalu di terima dengan tangan terbuka setiap bertemu.”
Sarah tersenyum mengangguk, “Ya aku bisa mengerti itu.”
"Sarah ehm ..." Laila terlihat ragu untuk bertanya.
"Ada apa?" tanya Sarah.
"Apa kau tahu tentang sesuatu yang Mas Pras atau ibunya ..." Laila terdiam tak melanjutkan ucapannya saat dia mengingat pembicaraan antara Tante Sifa dan ibu mertuanya itu.
"Ada apa tentang Pras dan Tante Alma?" tanya Sarah berkerut heran melihat keraguan di wajah Laila.
"Tidak apa-apa," Laila menggelengkan kepalanya setelah berpikir tentang sesuatu.
Walaupun masih penasaran tapi Sarah tidak akan mendesak sahabatnya ini untuk bercerita, karena pasti Laila pasti akan bercerita tanpa di minta.
Sarah memperlihatkan ponselnya pada Laila, “Kau sudah lihat media sosialnya Lina, teman seangkatan kita?”
Laila melihat ke arah ponsel Sarah kemudian mengerutkan keningnya, “Kenapa bisa begitu?”
“Lina memberi keterangan di sini karena ingin menjalankan ibadahnya dengan sempurna,” sahut Sarah sambil menggulir layar ponselnya.
“Dengan membiarkan suaminya berpoligami?” Laila mengedikan bahunya ngeri.
“Ya, karena wanita ini juga adalah pilihan keluarga suami Lina dari awal, itu yang aku dengar dari teman-teman, ” terang Sarah dan melanjutkan ucapannya.
“Dan Lina setuju dengan hal itu?” tanya Laila heran.
“Pada awalnya tidak, tapi akhirnya Lina setuju daripada harus terus menerus di benci keluarga suaminya dan mau menerima kehadirannya,” ujar Sarah.
Laila terdiam dan tiba-tiba dia memikirkan ucapan Alma juga Tante Sifa waktu itu.
Rencana kita?
“Bagaimana kalau hal itu terjadi padamu, Laila?” tanya Sarah yang membuat lamunan Laila buyar dengan pertanyaan Sahabatnya itu.
“Aku ...” Laila terlihat ragu dan tengah berpikir untuk mencari jawabannya. “Aku memilih melepaskan Pras walaupun kami nanti akan punya ...”
Ucapan Laila terhenti saat di teringat tentang keinginannya tidak memberitahu siapa pun perihal kehamilannya termasuk pada Sarah saat ini.
“Walaupun apa Laila?” tanya Sarah menunggu kalimat Laila selanjutnya.
“Walaupun aku sangat mencintai Pras,” gumam Laila pelan dan terdengar berat.
“Tapi Laila, bagaimana ....” ucapan Sarah terhenti saat Airin Putrinya sudah ada di samping meja.
“Aku haus Mah.”
Laila tersenyum dan mengelus rambut halus Airin yang juga tersenyum padanya.
Dan tidak lama Laila mendengar ponselnya berbunyi, ada pesan masuk dari nomor yang tidak dia kenal.
Jangan beritahu siapa pun tentang ini, kalau kau ingin tahu selanjutnya.
Jantung Laila berdetak kencang saat melihat pesan yang terkirim di ponselnya dan matanya langsung merebak embun yang membuat pandangannya menjadi sedikit kabur saat membaca pesan selanjutnya.
Rahasia suamimu yang harus kau tahu!
“Laila ada apa?” tanya Sarah terlihat khawatir.
Tak ada jawaban dari Laila kecuali senyum yang sangat di paksakan, “Tidak ada apa-apa.”