Bab 4

1422 Words
“Maaf Mas tadi sibuk, jadi tidak sempat angkat telepon dari kamu sayang,” ujar Pras yang akhirnya menelepon balik setelah beberapa waktu kemudian. “Tidak apa-apa, Mas,” sahut Laila pelan. “Lusa Mas pulang, kerjaan di sini sudah hampir rampung,” terang Pras. “Syukurlah kalau begitu,” ujar Laila. “Mau di bawakan oleh-oleh apa?” tanya Pras, Laila terdiam tak langsung menyahut, “Sayang mau Mas bawakan apa?” Pertanyaan Pras membuyarkan lamunan Laila, “Tidak usah, Mas lusa sudah pulang pun sudah membuat aku senang.” Terdengar tawa terkekeh dari Pras, “Kangen banget ya, kamu sama Mas?” Seandainya Pras ada di sini, mungkin pria itu bisa melihat senyum yang penuh gelisah dari Laila. “Ya Mas,” sahut Laila. “Sabar ya sebentar lagi,” ujar Pras. “Ya,” kembali Laila menyahut dengan singkat. Dan Pras mengakhiri pembicaraan itu dengan singkat, karena pria itu beralasan ingin meneruskan pekerjaannya supaya cepat selesai. Walaupun sebenarnya Laila ingin sekali membicarakan apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Tapi akhirnya Laila memutuskan untuk menunggu sampai Pras pulang ke rumah. Sabar dan tunggulah, batin Laila dengan kerisauan hati yang begitu besar. Kegelisahan hati Laila membuat wanita itu tidak berselera dan mampu menelan makanan yang baru saja dia masak dan itu tidak berhenti sampai menjelang tidur. Berkali-kali Laila menghela nafas panjang, seakan-akan katup jantungnya tak berpacu normal karena sesak. Walaupun percakapannya dengan Pras yang baru saja terjadi, tidak mampu membuat hati Laila tetap tenang. Aku harap, setelah urusan ini selesai, maka selesai juga hubungan pernikahan antara Pras dengan Laila. Kalimat-kalimat itu terus saja terngiang-ngiang di telinga Laila. Urusan apa yang selesai? Apa maksud Ibu Mas Pras tentang selesainya pernikahanku dengan Mas Pras? Laila terus membatin dengan hati, apakah orang tua Mas Pras ingin pernikahan kami berakhir? Dan Laila yang berdiri di depan jendela, memandang langit hitam kelam langsung saja dia memegang dadanya yang berdegup kencang karena perasaannya yang mengatakan akan ada sesuatu yang tidak beres terjadi nanti. Semoga tidak berakhir seperti yang aku pikirkan, batin Laila terus berdoa. ***Otw*** “Selamat ya Kak Laila,” Sabrina memeluk Laila erat begitu di beritahu tentang kehamilan wanita itu. “Terima kasih,” Laila membalas pelukan itu dengan haru. Mengurai pelukannya Sabrina langsung mengelus perut Laila dan terlihat penasaran, “Sudah berapa lama?” “Sebelas minggu,” sahut Laila tersenyum. “Sudah hampir tiga bulan kalau begitu?” ucap Sabtu tidak percaya. Laila mengangguk, “Ya.” “Kenapa baru tahu sekarang?” tanya Sabrina heran. “Karena aku pikir ini keterlambatan yang biasa terjadi, kau tahu sendirikan seperti apa? Jadi aku baru memastikannya kemarin,” terang Laila dengan mata berkaca-kaca, “Dan kau tahu rasanya ini seperti sesuatu anugerah besar untukku dan juga Mas Pras. Sabrina mengangguk mengerti, “Mas Pras pasti senang mendengar kabar ini ya kan, kak Laila ?” Laila menggelengkan kepalanya, “Aku belum memberitahukan, Mas Pras.” “Belum? Kenapa belum?” tanya Sabrina heran. “Aku ingin ini menjadi kejutan untuknya dan rencananya aku mau memberitahu saat ulang tahunnya sekaligus perayaan pernikahan kami yang ketiga,” terang Laila panjang lebar tentang rencananya nanti. “Begitu ya, kapan itu?” tanya Sabrina. “Dua minggu lagi,” sahut Laila. “Siapa saja yang tahu tentang kehamilan kak Laila? Apa orang tua Mas Pras juga belum tahu?” tanya Sabrina. Laila menggelengkan kepalanya, “Belum, kau orang pertama yang tahu.” “Mbak Sarah?” tanya Sabrina. Laila kembali menggelengkan kepalanya, “Sarah juga belum tahu.” “Benarkah?” tanya Sabrina heran. “Karena kau tahu sendirikan, kalau Sarah itu tidak bisa menyimpan rahasia,” sahut Laila merenggut, “Apalagi terhadap Pras, mereka kan sahabat baik juga rekan kerja sekaligus bisnis.” Sabrina mengangguk mengerti, “Kalau begitu kita beritahu Nova saja.” “Nanti saja, kalau dia sudah pulang bulan depan,” ucap Laila dan Sabrina mengangguk. “Kak,” ucap Sabrina. “Ya,” sahut Laila. Sabrina menatap Laila sejenak dan kemudian meraih tangan wanita itu, “Aku berharap kehamilan ini akan jadi titik balik hubungan kak Laila dan orang tua Mas Pras menjadi lebih baik.” Laila tersenyum haru mendengar harapan Sabrina itu, “Iya aku juga berharap seperti itu, mungkin kehadiran anak ini akan jadi membawa jembatan hubungan baikku dengan mereka.” **Otw*** “Tante Sifa ada?” tanya Laila begitu pada art yang menyambut kedatangannya di rumah Sifa. “Ibu Sifa sedang pergi keluar,” sahut art itu. Pergi keluar?” tanya Laila sambil melirik mobil Sifa yang terparkir di halaman rumah besar itu. “Ibu Sifa sudah pergi keluar dari tadi pagi, di jemput ibu Alma,” terang art itu pada Laila. Mendengar nama Alma, Laila mengangguk mengerti, “Kalau begitu beritahu Tante Sifa, kalau saya tadi ada datang ke sini.” Art itu mengangguk dan kemudian Laila pun pergi dengan rasa yang cukup kecewa. Tentu saja kecewa, padahal dia sebelumnya sudah menelepon Sifa untuk bertemu siang ini dan wanita paruh baya itu sudah mengiyakan keinginan Laila. Sengaja Laila ingin bertemu dengan Sifa, adalah untuk bertanya tentang sesuatu yang mungkin sudah diketahui wanita paruh baya itu tentang rencana Alma seperti yang waktu itu tidak sengaja dia dengar. “Dia sudah pergi?” seseorang bertanya begitu art itu memasuki ruang keluarga. “Sudah, Bu,” sahut art itu menganggukkan kepalanya dan kemudian berpamitan untuk pergi melanjutkan pekerjaannya di dapur. “Kenapa kau tidak memperbolehkan aku bertemu dengan Laila, Alma?” terdengar helaan nafas panjang seseorang di sela pertanyaan yang di ajukan pada Alma. “Karena aku khawatir kau akan membocorkan semua rencana kita, Sifa ,” sahut Alma menatap Sifa yang duduk di hadapannya. Kembali terdengar tarikan napas berat dari Sifa kemudian dia menggelengkan kepalanya, “Ini tidak adil untuk Laila, kau tahu ini akan merusak hubungan baik antara ...” “Ck, biar saja hubungan itu rusak, yang penting hubungan antara kita tetap baik,” sela Alma berdecak . “Kasihan Laila...” ujar Sifa. “Untuk apa kasihan dengan anak seorang penjahat,” sela Alma yang membuat Sifa langsung terdiam saat mendengar status yang tersemat untuk Laila oleh wanita yang ada di hadapannya ini. ***Otw*** "Aku pergi mandi dulu," ujar wanita itu begitu masuk ke dalam apartemen, "Pesta tadi membuat badanku gerah semua." "Memang, banyak sekali yang hadir di sana tadi," Pras mengangguk sambil membuka jas yang dia gunakan sambil menatap wanita bergaun pesta berpotongan seksi itu berjalan dan menghilang dari balik pintu kamar tidur. Dan kemudian Pras berjalan ke meja kerja yang ada di ruangan apartemen itu dan mulai membuka laptopnya. “Kau sudah menelepon Laila hari ini, Pras?” tanya wanita yang baru keluar kamar mandi sambil menggelung rambutnya ke atas. Pras yang tengah asyik menatap layar laptopnya segera mengalihkan tatapannya pada wanita yang berjalan menghampirinya. “Belum,” sahut Pras. “Kenapa belum? Apa nanti dia tidak khawatir dan curiga kalau kau tidak menelepon untuk sekedar bertanya kabar?” ada nada gusar dari wanita itu. “Aku sibuk seharian ini, apalagi pesta yang kita hadiri tadi harus menyapa hampir semua orang yang ada di sana dan rasanya tidak masalah kalau aku tidak menelepon Laila hari ini karena besok aku juga pulang,” sahut Bram. “Jangan seperti Pras, berilah kabar biar cuman sebentar biar Laila tidak curiga,” saran wanita itu. Pras menghela nafas panjang dan kemudian menganggukkan kepalanya, “Aku akan menghubunginya, tapi biasanya jam segini Laila sudah tidur." Melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan hampir jam dua belas malam, Pras mengambil ponsel miliknya dengan bermaksud untuk menghubungi Laila. “Sudahlah, tidak usah di hubungi,” cegah wanita itu, “Biasanya Laila memang sudah tidur jam seperti ini.” Pras meletakkan ponselnya dan menganggukkan kepalanya, “Ya sudah kalau begitu.” “Kau mau tidur sekarang atau nanti?” tanya wanita itu. “Sebentar lagi, aku selesaikan ini dulu,” sahut Pras menunjuk layar laptopnya. Wanita itu menganggukkan kepalanya, “Ya sudah kalau begitu, aku tidur lebih dulu.” Pras yang sekarang menganggukkan kepalanya dan menatap wanita itu berjalan masuk ke dalam kamar hingga pintunya tertutup. Pras beranjak dan berjalan ke arah jendela kemudian berdiri di sana sambil menatap jalanan yang ada di bawah sana. Lalu lalang mobil dan kerlip lampu jalanan menjadi pemandangan yang menarik dari atas apartemen ini bagi Pras yang kemudian terlihat sedang termenung dan berpikir. Memikirkan Laila, istri yang dia cintai saat ini dan rasa bersalah semakin merasuk ke dalam hatinya ketika memandang pintu kamar tidur yang tertutup dari pantulan kaca apartemen itu. Maafkan aku Laila, semoga apa yang akan aku lakukan ini tidak mengubah cintamu padaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD