Satu: Akhir Masa Remaja

1532 Words
Setiap anomali yang terjadi dalam hidup manusia, akan memancing seseorang untuk berprasangka buruk atas alasan terjadinya anomali tersebut. Banyak orang berspekulasi bahwa sang Maharaja, akhirnya menunjukkan keberpihakkan pada salah satu pangerannya. Mengirim Pangeran Aydin untuk menempuh pendidikan di sekolah formal biasa dan bukan sekolah khusus para bangsawan menimbulkan banyak konspirasi terjadi di masyarakat. Ada yang bilang ini hanya langkah awal Maharaja untuk menyingkirkan Pangeran Aydin dari lingkungan istana, bahkan ada juga yang menyatakan bahwa Ratu saat ini berperan besar dalam peristiwa besar tersebut. Bagaimanapun Aydin adalah putra dari mendiang ratu terdahulu, sehingga keberadaannya bisa saja dianggap ancaman untuk langkah putra mahkota di masa depan. Bisa dikatakan silsilah keluarga Aydin cukup rumit. Ibunya, mendiang ratu terdahulu dikecam oleh banyak pihak sebab tak kunjung mendapatkan keturunan. Tekanan dari banyak pihak, membuatnya membujuk sang Maharaja yang enggan mengikuti jejak pendahulunya yang memiliki banyak wanita, untuk menikah lagi. Maharaja menolak untuk waktu yang cukup lama, sampai ia memahami penderitaan sang Ratu. Jadilah dirinya mempersunting seorang perempuan yang kemudian menjadi selir, bukan sembarang perempuan melainkan sahabat mereka pula di masa sekolah. Satu tahun setelah pernikahan itu, kerajaan akhirnya bisa bernapas lega sebab akhirnya penerus tahta hadir. Sang selir melahirkan seorang putra, yang saat ini dikenal oleh khalayak sebagai Putra Mahkota Nata. Sayangnya, takdir sepertinya senang bermain-main dengan anggota keluarga kerajaan. Sebab tak lama dari kelahiran sang putra mahkota, kabar kehamilan kembali terdengar. Kali ini bukan dari sang Selir, melainkan dari Ratu sendiri. Kehamilan yang selama ini dinanti-nantikan akhirnya terwujud. Maharaja menyambut kabar gembira itu dengan perayaan besar-besaran sama besarnya ketika sang putra mahkota lahir. Siapa sangka kebahagiaan itu hanya berlangsung sesaat. Pada akhirnya Ratu menghembuskan napas terakhirnya tepat beberapa menit setelah Aydin hadir ke dunia. Sejak awal Aydin hanya mengetahui sosok sang ibu dari potretnya yang tak pernah diturunkan dari setiap sisi istana. Banyak orang bersimpati akan kisah Aydin, namun yang tak mereka ketahui ketika dirinya hadir di dunia tak pernah sekalipun Aydin kekurangan kasih sayang. Sang Selir yang kemudian naik menjadi Ratu, memberi kasih sayang yang teramat besar. Ia memperlakukannya sebagai anak sendiri tanpa perasaan bias sedikit pun. Itulah kenapa, ketika banyak tuduhan diarahkan kepada sang ratu atas keputusannya menempuh pendidikan di sekolah formal biasa, Aydin marah bukan main. Namun, sebagai seorang bangsawan mereka tidak bisa bersikap gegabah. Untuk kesekian kali, Aydin hanya bisa menelan kemarahan itu. Tiga tahun itu waktu yang singkat. Jujur saja, Aydin sangat menikmati kehidupan putih abunya. Pihak sekolah memperlakukannya seperti murid yang lain, begitupun guru-guru yang ada. Butuh waktu sekitar satu bulan, untuk teman sekelasnya memberanikan diri bersikap santai kepada Aydin. Maka, ketika semua dinding tinggi yang membatasi antara sang Pangeran dengan orang sekitarnya runtuh. Saat itulah Aydin tau, bahwa kehidupan diluar istana sangat menyenangkan. Apalagi tiga tahun itu ia habiskan bersama seseorang, yang sejak kali pertama bertemu tidak merasa takut untuk mendekat. "Lesu banget mukanya." Sudut bibir Aydin tertarik, lantas menoleh ke asal suara. Seorang perempuan melangkah mendekat dengan senyum berseri-seri. Tak seperti murid tingkat akhir lain, yang sudah memenuhi lapangan kembali untuk merayakan kelulusan mereka. Baik Aydin maupun Rana, memilih menepi sesaat menikmati kemeriahan itu dari jarak jauh. Tak seperti Aydin yang masih kering dari atas ke bawah, seragam yang dikenakan Rana sudah sedikit basah akibat gerimis yang tak kunjung berhenti sejak pagi tadi. Seolah alam ikut menyayangkan kebebasan Aydin yang hari ini resmi berakhir. "Jadi apa selanjutnya?" Pertanyaan yang diajukan Rana barusan, memancing kernyitan dahi di kening Aydin. Ia tertawa kecil, lantas berucap. "Nggak kebalik? Harusnya gue yang nanya lo jadinya gimana? Udah tau mau ambil karir apa?" "Tau deh, Yang Mulia Terhormat Pangeran Aydin udah jelas mau kemana. Nggak usah ngeledek deh." Untuk sesaat Rana bisa mendapati Aydin sedikit mendengus kala ia menyebutkan gelarnya. Aydin tidak begitu suka dipanggil dengan gelarnya, itulah kenapa selama 3 tahun ini ia sudah terbiasa dipanggil dengan sekedar nama saja. Namun, kelulusannya ini berarti Aydin harus kembali menerima fakta orang-orang akan kembali menyebutnya dengan gelar berat yang telah ia pikul sejak usia dini. "Lo masih disini kan?" Ini dia hal yang sedari tadi Aydin pikirkan. Selesainya masa SMA, menjadi pertanda bahwa ia harus kembali ke istana pusat. Kembali berkumpul dengan keluarga kerajaan sebagaimana mestinya. Ia harus bersiap untuk mendampingi sang Kakak dalam jadwal kerajaan, selaku pewaris tahta kedua setelah sang kakak. Menyadari perubahan ekspresi Aydin, membuat Rana sadar apa yang menjadi penyebab Aydin terlihat resah. Ia sudah dapat menyimpulkan jawaban dari pertanyaannya tadi. Aydin sudah harus kembali pulang. “Selamat bertugas kalau gitu Pangeran Aydin. Bagaimana kalau lo traktir gue dulu ayam geprek dekat sekolah? Hitung-hitung ngerayain lo yang juara umum dan peraih nilai ujian tertinggi.” “Bukan ngerayain namanya kalau cuman berdua,” gumam Aydin menarik hidung Rana hingga gadis itu meringis kecil. Namun, Aydin jelas tak bisa menolak permintaan sahabatnya yang satu ini. Tepat sebelum keduanya keluar dari gerbang sekolah, supir kerajaan yang semula menunggu di dekat mobilnya berjalan mendekat. Wajahnya pucat, persis seperti ekspresi pengawal pribadi Aydin. Ketika keduanya menyadari keberadaan tuan besarnya, dengan tergopoh-gopoh mereka menghampiri. Keduanya menunduk dalam di hadapan Aydin, mengabaikan tatapan bingung dari tuan besarnya. “Ada apa?” tanya Aydin berusaha terlihat tenang. “Anda harus kembali ke istana pusat, Tuan Aydin,” ucap pengawal pribadinya berusaha tak terlihat panik. Dahi Aydin mengerut, tak paham akan gelagat aneh yang ditunjukkan kedua pekerja kerajaan di depannya. “Bukankah ayah mengijinkan saya tinggal di Tangerang hingga besok?” “Keadaan genting Tuan Aydin, kita harus segera kembali.” Kini giliran supir pribadinya yang menyahut tak bisa tetap terlihat tenang lagi. “Saya tidak akan pergi, kalau kalian tidak mengatakan apa kondisi gentingnya.” Suara Aydin meninggi, beruntung tak ada siapapun di dekat gerbang sekolahnya sehingga tak ada yang melihat kemarahannya. Pengawal pribadi Aydin menatap Rana sesaat, paham akan situasi Rana berjalan mundur. Memberi ruang pada pengawal pribadi itu untuk mengatakan kondisi genting pada Aydin. Pengawal pribadi itu berbisik pelan tepat di telinga kanan sang pangeran muda. Tak lama, Rana dapat melihat kalau tangan Aydin mengepal. Sorot matanya berubah menjadi lebih tajam, sorot mata yang tak pernah Rana lihat sebelumnya selama berteman dengan Aydin. “Ran, nanti gue hubungin lo lagi.” Aydin menoleh sesaat ke arah Rana yang dibalas anggukan kecil dari sahabatnya itu. Dengan langkah berderap, ketiganya masuk ke dalam mobil kerajaan. Rana dibuat terpaku akan ketergesaan keluarga kerajaan di depannya. Ia tak bisa menampik kalau dirinya penasaran akan keadaan genting apa hingga Aydin harus kembali ke istana pusat secepatnya. Ia melambaikan tangan pelan, ketika mobil yang membawa Aydin bergerak menjauh. Aydin tak tau bahwa hari itu, akan menjadi kali terakhir ia bertemu dengan sosok Rana. *** Derap langkah kaki terdengar di sepanjang koridor rumah sakit. Aydin berjalan tergesa-gesa, setengah berlari malah. Mengabaikan beberapa perawat dan dokter yang sempat memberikan menunduk hormat ke arahnya. Kepalanya terasa pening dan jantungnya berdegup gila-gilaan. Ia hanya ingin sesegera mungkin tiba di hadapan sang Maharaja. Langkah Aydin berhenti tepat di lorong khusus kamar rawat anggota keluarga kerajaan. Ia bisa melihat bagaimana sang Ayah sedang berbicara dengan seorang dokter, sementara ibunya terduduk lemas di salah satu kursi. Wajah keduanya pucat pasi, dan tak butuh waktu lama untuk Aydin menyadari. Mimpi buruknya menjadi nyata. Arnita, adik perempuannya menjadi orang pertama yang menyadari keberadaan Aydin. Ia menyerukan nama Aydin keras-keras sehingga perhatian semua orang di sepanjang koridor tertuju padanya. Semua orang bergegas menundukkan kepala, memberi penghormatan kepada Aydin yang baru saja tiba. Semua, kecuali sang Maharaja dan Ratu. "Mama nggak papa?" tanya Aydin sembari mendudukkan diri di samping sang Ratu yang nampaknya bisa pingsan kapan saja. "Sebenarnya apa yang terjadi Mah?" "Aydin." Tangan sang Ratu gemetar, perlahan menangkup kedua pipi Aydin. Rasa dingin yang disalurkan tangan-tangan itu, sukses membuat Aydin ikut merasa gemetar. Mulai takut akan apa yang sedang terjadi. "Maafkan, Kak Nata ya?" "Pangeran Aydin, kita harus bicara." Belum sempat Aydin memproses permintaan maaf yang disampaikan sang ibu secara tiba-tiba. Suara berat sang ayah yang sudah lama tak ia dengar, menyapa telinga. Tatapan Maharaja masih terlihat tenang dengan kekacauan yang terjadi di koridor rumah sakit saat ini. Ia memberi tanda pada salah satu pengawalnya untuk menyingkir, sehingga memberi ruang agar mereka bisa berbincang. Pembicaraan serius yang diadakan di rumah sakit saat keadaan kacau balau, bukanlah hal baik. Itulah kenapa Aydin mendekat kepada sang Ayah dengan perasaan teramat gelisah. "Ayah, apa yang kudengar itu benar?" Tenggorokan Aydin terasa kering, bahkan mengucapkan beberapa patah kata itu ia sedikit tercekat. "Kak Nata benar-benar diserang?" "Setidaknya kita harus bersyukur, Nata berhasil menjinakkan bom yang ada di tempat pesta. Kalau tidak, kerusakan yang terjadi pasti lebih besar dari ini." Sang Maharaja berusaha menjelaskan kondisi mereka dengan tenang. Ia tau seberapa dekat kedua putranya, wajar saja Aydin nampak khawatir ketika tau sekelompok pemberontak kerajaan melakukan serangan di sebuah pesta yang Nata datangi. Mungkin sekarang masyarakat sedang gempar, sebab insiden itu akhirnya diberitakan oleh media nasional. Namun, ada hal yang harus Maharaja selesaikan terlebih dahulu sebelum meredam keributan yang ada. Perlahan, tapi pasti sang Maharaja memegang erat kedua bahu Aydin. Matanya menatap lurus pupil kehitaman milik sang putra. Menjatuhkan kata-kata yang sudah menghantui Aydin sejak dirinya menuju rumah sakit. Mimpi buruknya benar-benar menjadi nyata. Semua doa-doa itu menjadi sia-sia. "Aydin, mulai sekarang kamu harus mengantikan posisi Nata." Dua minggu kemudian, yang Aydin tau ia bukan lagi sang Pangeran Kedua. Melainkan Sang Putra Mahkota, Aydin Surya Kencana. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD