BAB 15 : Like Father Like Son

2137 Words
Helian menarik gas motornya lebih kuat mempercepat laju kendaraannya hingga memasuki area hotel bintang lima, seorang satpam yang berjaga di depan pintu lobi terlihat merenggut kesal melihat kendaraan kotor dan murah memasuki area hotel dengan keadaan yang kebasahan dan berpakaian kurir pengantar makanan ayam goreng. “Kenapa pos depan membiarkannya lewat” ucap penjaga itu terlihat marah karena meloloskan pengantar makanan begitu saja. Namun begitu Helian membuka helmnya, penjaga itu langsung menutup mulutnya dan berlari terbirit-b***t kearah Helian karena dia sudah bertemu dengan Helian sejak kemarin. Helian adalah tamu hotel yang sudah menginap dua hari ini. Penjaga itu langsung bersikap baik dengan membawakan helm murahan yang di pakai Helian. “Tuan selamat malam.” Helian mengangguk dan sedikit menggerakan tangannya untuk membalas. Helian membuka box belakang motornya dan mengambil beberapa box ayam pesanan. “Tuan, apa yang sedang Anda lakukan?” tanya penjaga itu setelah membungkuk memberi hormat. “Apa Anda sedang melakukan cosplay kurir?” tanyanya dengan cengiran bingungnya. “Bukan.” Helian menggeleng tidak membenarkan. “Aku sedang bekerja keras menghasilkan uang sendiri” jawab Helian dengan serius. Penjaga yang bernama Nial itu melongo kaget dan menggaruk tengkuknya. Helian bekerja menjadi kurir pengantar makanan, namun dia tidur menginap di hotel bintang lima dengan kamar presidential suite room yang sangat mahal, bahkan gaji pengantar kurir dalam waktu satu bulan tidak bisa membayar penginapannya dalam satu malam. Nial yang merasa pusing tidak mengerti dengan apa yang terjadi hanya bisa memijat belakang kepalanya karena tidak mengerti dengan jalan pikiran seorang Helian Giedon. Helian memberikan kunci motornya pada Nial, “Jaga motornya, jangan sampai tergores. Aku akan mengantar pesanan orang dan langsung tidur.” Katanya dengan santai. Nial hanya mengangguk masih dalam kebingungan, Helian langsung memasuki hotel dengan pakaian basah kuyupnya dan masih dengan memakai jaket kurir pengantar makanan. “Sepertinya tadi aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Namun aku lupa apa yang akan aku katakan.” Gumam Nial dengan bingung seraya mengingat-ngingat sesuatu sambil memandangi Helian yang kini sudah pergi menjauh. Suara kelakson limousine putih mewah datang membuat Nial langsung teringat saat melihat lambang keluarga Julian Giedon yang berada di sisi limousine. Dengan tergesa Nial meletakan Helm di atas jok motor.  “Astaga, Julian Giedon mengadakan rapat disini.” Nial terperanjat begitu ingat. Helian sudah berpesan sejak pertama kali menginap bahwa dia harus di beritahu jika ada Julian Giedon. Helian masih belum berani bertemu dengan ayahnya karena dia belum bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Nial berlari memasuki hotel, pandangannya mengedar mencari keberadaan Helian yang entah memasuki lift yang mana. “Ku harap dia baik-baik saja.” Pikir Nial merasa pusing dan di buat kerepotan. Nial kembali keluar dan membawa motor Helian untuk di amankan di samping mobil mewah Helian. Sementara itu, Helian keluar dari lift. Kedua tangannya menjinjing dua kotak makanan yang masih panas, seseorang memesan makanan di lantai empat yang membuatnya harus mengantarkannya terlebih dahulu sebelum pergi ke kamarnya. Pandangan Helian mengedar mencari nomer pintu tujuannya. Derap suara langkah beberapa orang terdengar dari arah yang berlawanan, lorong panjang dan luas terlihat sangat bercahaya, setiap langkah yang di lewati seperti sebuah kaca karena mengkilap. Beberapa orang penting keluar dari sebuah ruangan pertemuan mereka dan masih berdiskusi meski pertemuan sudah usai. Helian melenggang dengan ekspresi tidak pedulinya, beberapa orang yang berjalan dari arah berlawanan sedikit terdiam dan berbisik melihat keberadaan putera bungsu Julian Giedon yang kini berpakaian kurir hingga membuat mereka sedikit berdebat apakah yang mereka lihat sekarang apakah benar-benar Helian atau bukan. Orang-orang itu langsung berhenti melangkah mulai yakin bahwa pria yang berpakaian kurir itu Helian Giedon. “Ehem” seorang pria itu yang menjabat sebagai direktur di salah satu cabang perusahaan Julian berdeham dan membungkuk memberi hormat kepada Helian. Lalu di ikuti oleh orang lain. “Tuan Helian, lama tidak berjumpa.” Helian langsung berhenti melangkah dan melihat pria itu dengan bingung. Orang-orang di sekitarnya ikut membungkuk memberi hormat. “Kau mengenalku?” tanya Helian bingung. Helian yang memiliki kekurangan yang kesulitan mengingat wajah orang, kini kembali di buat bingung karena tidak mengenal siapa orang yang menyapanya. “Saya Esav, direktur Jfood. Kita bertemu bulan lalu di pesta. Saya yang pernah mengantar Anda ke sekolah beberapa kali” kata Esav yang kembali memperkenalkan dirinya lagi. Beberapa saat Helian terdiam dan mengingat, Helian mengangguk kecil mulai ingat. Pria itu melihat kesana kemari dan mendekati Esav. “Kau sedang apa disini?.” “Saya sudah melakukan pertemua dengan Tuan Julian dan beberepa relasinya dari Thailand untuk mengkomersialkannya di sana.” Pupil mata Helian melebar. “Ayahku ada di sini?.” Esav mengangguk, “Ya, beliau ada di sini.” Mendengar nama ayahnya sendiri di sebutkan, Helian terlihat langsung panik. “Kenapa tidak bilang dari tadi. Aku harus pergi, jangan pernah bilang apapun kalau kalian melihatku.?” “Baik” jawab Esav segera membungkuk memberi hormat bersama beberapa orang lainnya membiarkan Helian berlari pergi, namun belum sempat Esav mengangkat tubuhnya, Esav diam terpaku seraya menelan salivanya dengan susah payah karena rupanya Julian Giedon berada di belakangnya tengah berdiri melihat apa yang yang sudah di bicarakan Esav dengan Helian. Sementara Helian, pria itu melangkah tergesa menjinjing makanan pesanan tamu dan pergi lewat begitu saja melupakan wajah ayahnya yang kini tengah berdiri di hadapannya tengah bersedekap hendak berbicara. Helian berlari pergi mencari pintu kamar yang di tujunya melewati Julian begitu saja. “Astaga” Julian melongo kaget melihat puteranya sendiri melewatinya begitu saja tepat di depan matanya sendiri. “Dia tidak mengakuiku?. Dia melupakan wajahku juga?” tanya Julian dengan tatapan tidak percaya dan merasa terhina. Semua orang hanya bisa berdeham dan membalikan badan berpura-pura tidak melihat apa yang terjadi. Helian mengetuk pintu dan menekan bel di pintu, Helian tersenyum lebar terlihat begitu menikmati pekerjaannya dan tidak mempedulikan bahwa kini Julian dan semua bawahannya tengah melihat apa yang dia lakukan. Pintu di depan Helian terbuka, seketika Helian semakin tersenyum lebar dan membungkuk memberi hormat. “Atas nama Veronika Huang, pesanan Anda.” Wanita yang membuka pintu itu mengambil pesanannya. “Berapa?.” “Sebelas dollar.” Veronika membuka dompetnya mengambil beberapa lembar uang dan memberikannya kepada Helian. “Uang tipsmu tiga dollar. Terimakasih.” ‘Terimakasih kembali. Selamat menikmati makanannya” cengir Helian menerima uang pembayarannya, pintu di depannya kembali di tutup. Helian hanya tersenyum lebar memasukan uangnya ke dalam saku dan kembali melewati Julian bersama bawahannya yang di buat melongo tidak tahu harus berkata apa. Julian hanya bisa membuang napasnya dengan kasar beberapa kali apalagi ketika Helian melewatinya begitu saja dan masuk ke dalam lift. “Astaga, astaga..” Julian memijat tengkuknya dengan keras. Kakinya menghentak ke lantai dan pergi melewati semua orang yang kini hanya bisa diam terpaku melihat hubungan aneh di antara Helian dan Julian yang tidak pernah berubah sejak dulu. “Kalian pergilah lebih dulu. Aku harus bicara dengan anak kurang ajar itu” teriak Julian yang tidak dapat menyembunyikan kemarahannya karena di abaikan oleh puteranya sendiri. *** Suasana malam semakin dingin, Helian berdiri di bawah shower tengah mandi membersihkan diri setelah seharian sibuk menjadi petugas kebersihan dan kurir pengantar makanan. Suara bel di luar terdengar beberapa kali membuat Helian terpaksa harus segera menyelesaikan acara mandinya. Helian mengambil jubah mandinya dan mengenakannya, dia segera pergi keluar dengan rambut basahnya dan kaki yang mengenakan sandal berbulu. Helian pergi keluar menuju pintu karena suara bel tidak kunjung berhneti. Helian langsung membuka pintu dan bersedekap melihat Julian yang berdiri bersedekap di menunggu di bukakan pintu. “Siapa?.” Tanya Helian dengan datar. “Aku ayahmu anak kurang ajar.” Pelotot Julian dengan kesal, Julian langsung masuk ke dalam tanpa permisi. “Ayahku?” tanya Helian tidak yakin.  Beberapa saat Helian mengerutkan hidungnya mencium parfume familiar milik ayahnya yang bisa dia kenali. “Ini bukan bukan bau kemiskinan” bisik Helian berpikir. Julian membuang napasnya dengan berat, pandangannya mengedar melihat penjuru ruangan. Julian langsung duduk di kursi ruang tamu tanpa di persilahkan, Helian yang masih merasa bingung dan tidak percaya segera pergi mengambil handponenya di kamar untuk memastikan. Helian segera duduk di sebrang Julian yang kini bersedekap menatapnya dengan tajam karena kemarahan. Helian melihat photo keluarganya dan memperhatikan wajah Julian di layar, kepala Kenan terangkat melihat wajah Julian dan kembali melihat layar handponenye. “Ya, baiklah, karena kau tampan kau pantas jadi ayahku.” Gumam Helian yang mendadak menjadi gugup. Setelah kejadian keributan masalah yang terjadi di Emilia Island, Helian dan Julian sama sekali belum bertemu. Sebisa mungkin Helian menghindari Julian karena takut, dia ingin menyelesaikan masalahnya sebelum bertemu lagi dengan Julian. Julian menyeringai melihat kegugupan dan ketakutan di wajah Helian. “Kau tidak mau menyapaku?.” Seketika Helian bangun dan membungkuk memberi hormat. “Selamat datang di penginapan sederhanaku ayah.” Sapanya dengan gugup. “Duduklah” intruk  Julian. Helian langsung duduk kembali dengan patuh. “Apa kau nyaman tinggal disini?” tanya Julian yang terdengar lembut dan melunak. Meski Helian selalu membuat keributan dan ulah yang merepotkannya, namun Julian tidak dapat berpura-pura bahwa dia tidak peduli kepada puteranya. Helian tertunduk mendengar pertanyaan Julian. “Aku baik-baik saja. Di sini nyaman setelah bantalnya di ganti memakai bulu angsa.” Terjadi keheningan lagi di antara Julian dan Helian, mereka terlihat sama-sama canggung satu sama lainnya. “Aku haus” Julian memulai pembicaraan lagi. Helian langsung beranjak dari duduknya dan segera pergi menuju lemari pendingin. Tidak berapa lama dia kembali membawa dua gelas minuman yang memiliki lambang pegunungan Alpen. Julian terdiam memperhatikan kini Helian membuka botol minumannya dengan sapu tangan sutera dan memindahkannya pada gelas yang dia lap dengan hati-hati. Helian dan Julian adalah dua mahluk yang memiliki banyak kesamaan. Mereka banyak maunya, sulit dan memiliki stadar yang aneh. “Kapan kau akan menyelesaikan masalahmu dan membebaskan Endrea yang kini berada dalam hukuman?” tanya Julian sambil memperhatikan Helian yang meletakan segelas minuman di hadapannya. “Aku sedang berusaha menyelesaikanya. Namun tidak semudah itu” jawab Helian dengan jujur dan terlihat malu karena setelah sekian lama kini Julian mulai bertanya mengenai masalah yang di buatnya di Emilia Island. “Aku minta maaf, sudah membuat kekacauan.” Entah yang ke berapa kalinya Julian membuang napasnya dengan berat. Dia memahami kesulitan Helian yang tidak mudah menyelesaikan masalahnya karena kesulitannya mengingat wajah seseorang. Bahkan Julian sendiri, sebagai ayah Helian bisa di lupakan begitu saja olehnya. Karena itu juga Helian selalu di rundung masalah karena banyak yang memanfaatkan kekurangannya. “Fokuslah belajar, kembali ke sekolah dan jangan berhenti melakukan pengobatan, jangan melewatkan jadwal pengobatanmu jika kau tidak ingin pergi ke Amerika. Selesaikan semuanya dalam jalur hukum, jangan membuat masalah yang menjadikanmu criminal,  jangan mengecewakan Endrea yang sudah melakukan banyak hal untukmu. Ini untuk yang terakhir kalinya aku masih memberikanmu keringanan. Namun, aku tidak akan memberikan toleransi apapun lagi jika kau kembali melakukan kesalahan dan membuat kakakmu kembali kerepotan. Jangan kembali sebelum lai menunjukan diri bahwa kau sudah benar-benar berubah dan menyesali perbuatanmu.” Helian terpaku kaget karena Julian kembali memaafkan kesalahan yang sudah di perbuatnya. Helian tertunduk dan mengangguk terlihat malu karena Julian selalu memberikannya kesempatan untuk Helian memperbaiki kesalahan yang sudah di buatnya. Bibir Helian menekan ingin berterimakasih, namun dia sungkan karena belum menyelesaikan apapun dan membuktikan dari. “Kenapa kau bekerja menjadi kurir?” tanya Julian yang mengalihkan kecanggungan mereka. “Ehem” Helian berdeham tidak nyaman dan terlihat kembali tenang. “Aku suka baju seragamnya, warnanya mencolok.” Jawabnya dengan serius membuat  Julian melongo kaget karena teringat masa mudanya dulu yang memiliki pikiran berbeda seperti Helian sekarang. Julian mengambil gelas di depannya dan meminumnya dalam beberapa teguk. “Anu” Helian kembali tertunduk sambil menautkan jari-jarinya. “Bagaimana kabar ibu?.” “Dia mengkhawatirkanmu.” “Benarkah?” Helian berbinar mendengarnya. Helian selalu memiliki reaksi yang baik bila setiap kali berhubungan dengan ibunya, karena itu dia terlihat senang. “Tolong sampaikan kepada ibu jika aku baik-baik saja.” Julian tidak menjawab apapun, dia segera beranjak dan mengancingkan kembali jassnya. “Aku harus segera kembali. Jaga dirimu baik-baik.” “Terimakasih ayah.” Helian membungkuk memberi hormat. Baru beberapa langkah Julian melangkah, pria itu kembali berbalik dan melihat Helian yang kini menjatuhkan pandangannya ke lantai. Julian teringat Helian pergi tanpa membawa apapun saat kabur. “Kau meniggalkan dompetmu di kamar, apa uangmu sekarang masih cukup?.” “Tidak apa-apa, jangan memikirkannya” senyum Helian. Julian mengambil dompetnya dari saku celananya, di ambilnya sebuah kartu kreditnya dan memberikannya kepada Helian. “Gunakan ini” titahnya. Helian menggeleng, “Anu ayah, aku tidak suka warna putih, warna putih membuat mataku tidak nyaman. Aku suka warna hitam.” Bibir Julian langsung menekan membentuk garis. “Anak kurang ajar” makinya seraya menukarkan kartunya dengan kartu Visa Infinite Card yang berwrna hitam bergradasi silver. Kartu itu bisa di gunakan di seluruh dunia karena itu Helian menginginkannya. Helian tersenyum lebar menerimanya. “Jangan ke luar negeri, atau kau tidak bisa kembali kesini dan tidak bisa bertemu ibumu.” Ancam Julian dengan tegas membuat senyuman lebar Helian langsung memudar. “Terimakasih Ayah.” Ucapnya seraya membungkuk dan mengantar kepergian Julian. To Be Continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD