Sesampainya di rumah, Evan dan Lola langsung merebahkan tubuhnya di Sofa. Keduanya sangat lelah habis bepergian. Tak hanya lelah secara fisik, Evan juga lelah secara pikiran. Bagaimana tidak? Evan harus memikirkan bagaimana cara agar ia tetap bisa menjalani dua hubungan sekaligus.
“Capek juga ya punya dua pacar,” ucap Evan yang rebahan di sofa.
“Siapa suruh punya dua pacar,” celetuk Lola.
“Mendingan kamu diem aja deh. Kakak udah capek pikiran, capek fisik. Jangan sampai kamu tambah bikin kakak capek,” ucap Evan.
“Aku lihat kakak aja udah capek,” ucap Lola kemudian pergi ke kamarnya sembari membawa kopernya.
Di Rumah Sakit
Keesokan harinya, Dinda berangkat bekerja seperti biasa. Tak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya, Dinda berangkat pagi ke rumah sakit dengan mengenakan seragam dokter kebanggaannya. Setiap langkah kakinya menuju rumah sakit selalu menjadi pusat perhatian banyak orang.
Soal fisik, Dinda bisa dibilang wanita yang cantik nan menawan. Memiliki tubuh tinggi semampai, kulit putih bersih, serta paras yang cantik bak model membuatnya banyak dilirik. Belum lagi sifatnya yang ramah dan baik juga menjadi nilai plus tersendiri. Dinda tak pernah sombong dan ramah pada semua orang.
Sebagai wanita yang cantik dan baik hati, tentunya banyak lelaki menaruh hati padanya. Untungnya, tak ada yang berani mendekati Dinda. Hal ini karena setiap lelaki yang mencoba mendekatinya langsung mundur ketika mengetahui siapa pacar Dinda. Mereka sadar bahwa mereka kalah materi dan kalah fisik, sehingga tak mungkin bisa merebut Dinda.
Setelah selesai mengurus pasiennya, Dinda pergi ke kantin untuk makan siang bersama dengan rekannya, Lidya. Dinda selalu makan di kantin rumah sakit karena ingin melarisi dagangan milik Yatmi, teman baik ibunya. Hanya saja nasib Yatmi tak semujur nasib Ratih, ibu Dinda.
“Siang tante Yatmi,” ucap Dinda pada Yatmi.
“Siang juga anaknya Ratih yang paling cantik,” ucap Yatmi pada Dinda.
“Tante Yatmi nih bisa aja mujinya. Iyalah saya anaknya Bu Ratih yang paling cantik, orang anaknya cuma saya aja,” ucap Dinda sambil tersenyum.
“Tante mujinya beneran loh mbak Dinda. Ngomong-ngomong mbak Dinda kemana aja nih? Kok beberapa hari ini gak kelihatan,” tanya Yatmin.
“Kemarin saya cuti 3 hari tante,” jawab Dinda.
“Oh iya. Ini jadinya mbak Dinda sama Mbak Lidya mau pesen apa?” tanya Yatmi.
“Saya mau ayam goreng sama tumis sayur ya,” ucap Dinda.
“Kalau mbak Lidya?” tanya Yatmi.
“Saya lontong sayur aja bu,” ucap Lidya.
“Wah.. tumben nih mbak Lidya pesen lontong sayur,” ucap Yatmi.
“Iya bu. Soalnya saya udah lama enggak makan lontong sayur. Jadi kangen makan lontong hehehe,” ucap Lidya.
“Siap mbak. Mbak lidya sama mbak Yatmi silahkan tunggu sebentar ya. Saya buatkan dulu menunya,” ucap Yatmi.
Sembari menunggu Yatmi, Lidya dan Dinda duduk di kantin sambil ngobrol-ngobrol santai. Sebenarnya, Lidya adalah teman sekolahnya dulu. Hanya saja, keduanya mengambil jurusan yang berbeda. Dinda menjadi dokter spesialis penyakit dalam, sedangkan Lidya menjadi dokter spesialis kedokteran jiwa alias Psikiater.
Uniknya, kedua sahabat ini memiliki kisah hidup yang hampir sama. Mereka sama-sama cerdas, sehingga bisa menjadi dokter di usia muda. Selain itu, mereka juga sama-sama belum menikah karena menunggu pasangan mereka siap.
****
Di kantin rumah sakit, Lidya dan Dinda makan. Setelah makan, keduanya menyempatkan waktu untuk mengobrol sebentar. Lagipula ini juga masih waktu istirahat, sehingga mereka bisa lebih santai.
“Gimana hubungan kamu sama Moldy?” tanya Dinda.
“Hubungan aku sama Moldy baik-baik aja tapi gak tau arahnya kemana,” ucap Lidya.
Dinda berkata, “Loh kok gitu? Kalian kan udah sama-sama dewasa, harusnya udah punya tujuan untuk itu dong.”
“Sebenarnya aku sama Moldy udah berbicara ke arah sana, tapi si Moldy belum siap terus. Padahal aku udah kenal sama keluarganya tapi giliran aku mau kenalin Moldy sama keluargaku, dia gak pernah mau. Padahal kalau udah serius harusnya sih mulai pendekatan sama keluarga masing-masing,” ucap Lidya.
“Emangnya kenapa dia gak mau dikenalin sama keluarga kamu?” tanya Dinda.
“Moldy minder sama keluargaku Din. Dia ngerasa kalau dia gak sebanding sama keluargaku. Padahal aku selalu bilang sama dia kalau aku terima dia apa adanya tapi dia masih aja nolak tiap mau aku kenalin sama keluargaku. Moldy baru mau kenal sama keluargaku kalau dia udah sukses,” ucap Lidya.
“Kasih solusi dong Din. Aku pusing banget nih mikirin sikap Moldy yang kayak gitu. Dia selalu bilang kalau dia serius sama aku tapi aku ajak kenalan sama keluargaku aja dia gak mau,” imbuhnya.
“Gimana ya Din. Sebenarnya aku juga punya masalah yang sama kayak kamu tapi beda keadaan aja,” ucap Dinda.
“Emangnya Evan kenapa? Selama ini aku lihat hubungan kamu sama Evan baik-baik aja,” ucap Lidya.
“Hubungan aku sama Evan emang baik-baik aja tapi ya gitu deh,” ucap Dinda.
“Gitu deh gimana sih maksud kamu aku gak ngerti,” ucap Lidya.
“Aku sama Evan udah pacaran 3 tahun tapi dia orangnya tertutup banget. Sejak awal kita pacaran, Evan gak mau hubungannya dipublikasi kecuali kalau udah serius siap menikah. Makannya gak ada yang tahu aku punya pacar, selain teman-teman dekat aja. Kalaupun ada orang yang tahu palingan juga dapet gosipnya dari orang-orang terdekatku,” ucap Dinda.
“Kalau itu aku udah tahu tapi bukannya kamu fine-fine aja kalau hubungan kamu gak dipublikasikan?” tanya Lidya.
“Soal itu sih aku santai tapi ini soal lain Lid. Aku kan udah pacaran sama Evan 3 tahun tapi dia masih belum mau kalau aku kenalin sama keluargaku. Katanya dia baru mau kenalan sama keluargaku kalau dia udah siap menikahi aku,” ucap Dinda.
“Kamu udah kenal belum sama keluarganya Evan?” tanya Lidya.
“Aku kenal cuma sama adeknya. Soalnya orang tuanya udah meninggal, kakek neneknya ada di luar kota, paman dan bibinya tinggal di luar negeri. Jadi keluarga Evan yang baru aku kenal ya cuma adeknya doang,” ucap Dinda.
“Emang kenapa sih Evan gak langsung nikahin kamu aja? Kalian kan sudah sama-sama dewasa, hidup juga udah mapan. Jadi mau nunggu apa lagi,” ucap Lidya.
“Aku maunya gitu Lid tapi aku juga gak bisa maksa Evan. Aku gak mau Evan nikahin aku cuma karena terpaksa. Aku sayang banget sama dia, aku gak mau ada salah satu sikapku yang bikin dia gak nyaman. Aku takut dia ninggalin aku,” ucap Dinda.
“Kalian kan sama-sama cinta berarti kalau nikah ya gak bisa disebut terpaksa karena kalian saling mencintai,” ucap Lidya.
“Maksud aku, aku gak mau maksa dia buru-buru nikahin aku. Aku udah siap tapi kalau Evannya belum siap lahir dan batin ya percuma dong Lid. Jadi aku nunggu aja sampai dia siap,” ucap Dinda.
“Emang kamu mau nunggu sampai kapan?” tanya Lidya.
“Gak tau, intinya sampai Evan siap. Evan bilang untuk saat ini dia masih fokus mengejar karirnya karena dia pengen punya masa depan cerah,” ucap Dinda.
“Ya ampun, kurang cerah apa lagi sih masa depannya? Apa perlu aku terangi sama lampu biar makin kelihatan cerah? Lagian ada-ada deh si Evan. Perasaan karirnya udah bagus, bisnisnya banyak, kekayaannya melimpah tapi kok merasa kurang terus. Dari situ aja udah kelihatan kalau masa depannya cerah,” ucap Lidya.
“Ya gimana ya Lid. Aku juga bingung harus gimana lagi sama Evan. Aku cuma bisa sabar dan nunggu kepastian dari dia,” ucap Dinda.
Ketika Dinda dan Lidya sedang berbicara, ada seorang pria tampan berjas putih dan berkacamata datang menghampiri mereka.