Dia Wanita Setia

1151 Words
Ada seorang pria menghampiri Lidya dan Dinda yang sedang makan di kantin rumah sakit. Pria ber-kaca mata itu merupakan seorang dokter yang bekerja di rumah sakit yang sama dengan Dinda dan Lidya. “Selamat siang,” ucap pria itu. “Siang juga dokter Gavin,” jawab Dinda dan Lidya tersenyum. “Boleh saya ikut duduk disini?” tanya Gavin. “Tentu saja dok. Silahkan,” ucap Lidya. Pria yang diketahui bernama Gavin itu duduk diantara mereka. Namun, ada yang aneh pada Gavin. Tak seperti biasanya, Gavin tampak begitu gugup ketika duduk berhadapan dengan Dinda. Sebenarnya mereka sudah sering bertemu di rumah sakit tetapi mereka belum pernah duduk sedekat itu. “Dokter Gavin kenapa?” tanya Dinda. “Gak apa-apa kok. Saya mau tanya sama dokter Dinda,” ucap Gavin. “Mau tanya apa dok? Kalau saya bisa jawab pasti saya jawab,” ucap Dinda. “Kalau boleh saya ingin berbicara berdua dengan dokter Dinda,” ucap Gavin. “Berarti saya harus pergi nih?” tanya Lidya. “Eh..eh.. Jangan pergi Lid. Disini aja dulu,” ucap Dinda menarik tangan Lidya. Kemudian Lidya kembali ke tempatnya. “Maaf ya dok. Sepertinya akan lebih baik kalau kita berbicara bertiga saja,” ucap Dinda. “Tapi saya mau berbicara penting pada dokter Dinda. Jadi saya harap dokter Dinda mau berbicara empat mata dengan saya,” ucap Gavin. “Sekali maaf ya dokter Gavin. Saya benar-benar tidak bisa berbicara hanya berdua dengan sembarang pria,” ucap Dinda. Gavin berkata, “Tapi kita kan rekan kerja dok. Kita juga sering bertemu di rumah sakit. Dokter Dinda tidak perlu khawatir, saya bukan pria jahat dan saya juga tidak akan macam-macam sama dokter Dinda.” “Dokter Gavin jangan salah paham dulu. Saya tidak mau berbicara berdua dengan dokter Gavin karena saya tidak mau nanti akan timbul fitnah,” ucap Dinda. “Kalau dokter Gavin mau berbicara dengan saya, silahkan katakan apa yang ingin dokter Gavin katakan pada saya sekarang. Kalau dokter Gavin keberatan, saya tidak masalah jika dokter Gavin tidak mau mengatakannya pada saya. Saya harap dokter Gavin menghormati keputusan saya,” ucap Dinda. “Baiklah. Ada hal yang ingin saya tanyakan pada dokter Dinda dan saya sampaikan pada dokter Dinda,” ucap Gavin.   “Silahkan katakan dok,” ucap Dinda. “Dinda, dokter Gavin. Saya beneran tidak apa-apa kalau ada disini? takutnya saya mengganggu kalian,” ucap Lidya. “Lid, kamu tetep disini temani aku ya. Jangan pergi sebelum dokter Gavin ngomong sampai selesai,” ucap Dinda. Gavin menanyakan mengapa Dinda tak pernah membalas pesannya. Sebenarnya, Dinda selalu membalas pesan Gavin jika itu menyangkut pekerjaan. Namun, apabila itu tidak berkaitan dengan pekerjaan, Dinda memang sengaja tidak mau membalasnya. Gavin sering mengajaknya bertemu, makan siang, atau melakukan hal lain berdua tetapi selalu Dinda tolak. “Begini, kenapa dokter Dinda tidak pernah membalas pesan dari saya?” tanya Gavin. “Seingat saya, saya selalu balas pesan dari dokter Gavin. Setiap dokter Gavin tanya soal pasien atau rumah sakit juga selalu saya jawab. Sepertinya saya selalu balas pesan dari dokter Gavin,” ucap Dinda. “Kalau itu memang iya tapi pesan saya yang lainnya tidak pernah dokter balas. Saya ajak kamu jalan, tidak kamu balas. Saya beri perhatian juga tidak kamu anggap. Saya cuma ingin mengenal kamu lebih dekat,” ucap Gavin. “Oh soal itu. Maaf ya dok, saya sangat jarang membalas pesan dari lawan jenis kecuali kalau itu soal pekerjaan. Jika dokter Gavin mengirim pesan pada saya tapi tidak berhubungan dengan pekerjaan, maaf saya tidak bisa membalasnya. Saya rasa hubungan kita hanya sebatas rekan kerja,” ucap Dinda. Gavin memegang kedua tangan Dinda. Lidya terkejut melihat apa yang Gavin lakukan di depan matanya. Sekalipun itu hanya memegang tangan tetapi rasanya tidak pantas dilakukan apalagi keduanya tidak ada hubungan apa-apa. Dinda berusaha melepaskan tangan Gavin tetapi Gavin tak mau melepaskannya. “Lidya, maaf kalau aku berbicara ini di depanmu karena aku gak tahu lagi harus gimana ngomong sama Dinda. Aku gak pernah bisa ajak dia pergi berdua jadi aku terpaksa berbicara ini disini,” ucap Gavin. Saat Gavin memegang tangan Dinda, Lidya melihat Evan datang ke rumah sakit dan mencari Dinda. Entah ada apa tiba-tiba Evan datang menemui Dinda dirumah sakit tetapi ini bukan waktu yang tepat. Dan benar saja, Evan melihat Gavin dan Dinda berpegangan tangan. Ketika melihat itu, Evan sangat marah. Terlihat dari raut wajahnya Evan tampak begitu emosi. Namun, bukannya menghampiri Dinda, Evan malah pergi. Lidya ingin memberitahukannya pada Dinda tetapi saat ingin berbicara padanya, Gavin lebih dulu berbicara mendahului Lidya. Jadi mau tidak mau, Lidya harus menunggunya selesai berbicara. “Din, kita kan udah kenal lama. Sebenarnya aku suka sama kamu bahkan sejak pertama kali kita bertemu di gerbang rumah sakit 4 tahun lalu. Aku udah gak bisa menahan perasaanku lagi. Aku cinta sama kamu dan aku serius sama kamu,” ucap Gavin. “Aku ingin hubungan kita lebih dari sekedar teman biasa tetapi menjadi teman hidup. Sudah lama aku memendam perasaanku dan sekarang waktu yang tepat untuk aku mengatakannya sama kamu. Aku berbicara seperti ini karena aku serius sama kamu. Aku ingin kamu jadi istriku,” imbuhnya. Dinda melepaskan tangannya dari Gavin, kemudian ia berkata “Maaf ya Vin. Jadi pacar kamu aja aku gak bisa apalagi jadi istri.” “Kenapa gak bisa? Bukannya selama ini kamu gak punya pacar? Aku gak pernah tuh lihat kamu bikin story atau unggah foto sama pacar kamu,” ucap Gavin menyangka bahwa Dinda tidak memiliki pacar. “Kamu salah, aku sudah punya pacar. Kami sudah berpacaran selama 3 tahun dan kami menjalani hubungan kami dengan serius,” ucap Dinda. “Kamu bohong kan? Kamu sengaja bilang ini karena kamu gak mau nerima aku,” ucap Gavin. “Dokter Gavin yang terhormat, saya tidak pernah berbohong. Saya berkata sejujurnya kalau saya memang sudah punya pacar. Saya sangat mencintai pasangan saya dan saya ingin menikah dengannya,” ucap Dinda tegas. Dinda mengambil ponsel dari tasnya, kemudian menunjukkan beberapa foto mesranya bersama Evan. Melihat foto itu, Gavin sangat cemburu. Apalagi Dinda sengaja memperlihatkan foto-foto mesranya dengan Evan mulai dari yang datang ke pesta, liburan bersama, hingga berciuman. “Kamu lihat sendiri kan kalau aku tidak bohong?” ucap Dinda tetapi Gavin hanya diam sambil mengepal tanganya. “Dokter Gavin, apa yang Dinda omongkan itu benar. Saya sahabatnya Dinda dan saya tahu hubungannya dengan pacarnya. Dinda dan pacarnya udah pacaran 3 tahun lalu,” ucap Lidya. “Tapi aku mencintai Dinda 5 tahun lalu. Aku mencintainya lebih dulu tapi malah orang lain yang mendapatkannya,” batin Gavin kesal. “Meskipun aku udah punya pacar, aku harap kamu jangan jauhin aku ya. Kita masih bisa jadi temen baik kok,” ucap Dinda tersenyum. “Iya aku tahu. Gak apa-apa kalau kita gak bisa bersama. Mungkin kita memang tidak ditakdirkan berjodoh. Semoga kamu bahagia ya sama pacar kamu,” ucap Gavin. Dinda tersenyum, kemudian berkata “Iya, makasih ya kamu udah ngerti. Pokoknya aku doain semoga kamu segera mendapatkan pasangan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD