Bab 10- I'm your husband!

1450 Words
Sora benar-benar blank dengan yang baru saja menimpanya. Pikirannya kacau. Namun, ia tahu jika ini salah. Tak seharusnya ia diam saja menerima ciuman dari Ersya. Hanya saja, entah mengapa tubuhnya seakan tidak bisa melawan dari kuasa pria itu. Setelah puas mencecap manis bibir Sora, Ersya pun menjauhkan wajahnya. Ia menyunggingkan senyum miring seolah pamer pada Sora jika ia baru saja memenangkan sesuatu. Wajah Sora semerah tomat, matanya sayu. Terlihat linglung sekaligus situasi menjadi awkward. "It's our second time," ucap Ersya dengan nada rendah yang sialnya terdengar begitu seksi di telinga Sora sekaligus menyadarkannya untuk tidak terlihat bodoh. Sora merasa serba salah. Antara marah, tetapi tak bisa memungkiri fakta jika ia juga terbawa suasana. "Dan aku masih merasakan hal yang sama. You're drunk, little girl. Nggak bisa lagi menyangkalku!" lanjut Ersya. Sora sontak menahan napas. Kekesalannya bertambah. Jadi, Ersya mencium bibirnya hanya untuk mencecap rasa minuman memabukkan itu dari bibir Sora? Sora refleks melayangkan satu tamparan ke pipi Ersya. Benar-benar refleks, hingga ia pun ikut terkejut sepersekian detik berikutnya. "Kamu tampar aku? Di mana salahku?" heran Ersya. Sora tak bisa menjawab. Ia tidak tahu, kenapa rasanya sangat menjengkelkan saat Ersya seolah mengatakan bahwa ia mencium Sora hanya untuk memastikan jika Sora benar-benar habis minum. 'Kenapa juga aku harus marah?' "Sora!" "Ya karena kamu lancang udah mencium aku sembarangan!" sentak Sora, berhasil berdalih. "But I'm your husband. Semua yang ada di diri kamu, adalah milikku - hakku," tegas Ersya. Baik, Ersya kembali benar. Namun, Sora tidak mau menurunkan egonya. Pokoknya, ia tidak boleh terlihat kalah di depan Ersya. Seharusnya Ersya yang selalu salah, bukan malah Sora. "Tetap aja aku nggak sudi kamu cium! Dasar berengsek!" teriak Sora. Ersya menghela napas panjang. Padahal ia hanya melakukan sesuatu yang amat sangat wajar dilakukan oleh para suami. Namun, ia malah mendapat umpatan dari sang istri serta bonus tamparan. Ersya bergerak cepat mengecup bibir Sora - sekadar untuk 'menegur' gadis itu. "Kamu benar-benar-" "Eittts! Satu kali lagi kamu mengumpat, aku benar-benar nggak akan kasih kamu ampun! Aku serang kamu lebih panas dari yang tadi!" ancam Ersya. Sora sontak bungkam. Ia menurunkan kembali kepalan tangan yang hampir saja ia lesatkan ke tubuh Ersya. "Sekarang kita perlu bicara serius! Kamu harus dengar ucapanku sampai selesai, atau aku akan menghukum kamu lebih parah. Kamu nggak lupa sama ancaman terakhir aku saat ngelarang kamu mabuk-mabukan, kan?" ujar Ersya. "Sya, aku capek. Bisa di-pending aja nggak sih ngobrolnya? Lagian hari ini kamu udah benar-benar mengacaukan mood aku. Jadi-" "Kalau kamu capek, mau istirahat, aku nggak keberatan kalau kita ngobrol di kamar. Kamu bisa pilih. Mau kamar aku, atau kamar kamu," potong Ersya, yang kembali membuat Sora bungkam. Tentu saja bukan itu maksud Sora. Ia hanya malas mengobrol dengan Ersya. Terselip juga rasa takut atas ancaman lelaki itu mengenai 'hukuman'. Sungguh, Sora tidak khawatir soal Ersya yang akan melakukan kekerasan atau semacamnya. Sora tahu, Ersya tidak akan pernah melakukan itu. Dia pria yang berpendidikan tinggi dan tahu etika. Tidak mungkin dia sampai main fisik dengan perempuan. Hal yang paling Sora takutkan adalah ... unboxing. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika Ersya benar-benar nekat mengambil keperawanan Sora malam ini juga. Biar bagaimana pun, Sora sadar, Ersya menang dalam hal kuasa maupun tenaga. Lagi pula, tidak ada yang bisa Sora mintai pertolongan jika ia sampai 'diserang' oleh pria yang berstatus sebagai suaminya sendiri, kan? "Ng- nggak usah di kamar! Kita mengobrol di sini aja. Jadi, apa yang mau kamu bilang?" putus Sora sambil menggelengkan kepala yang membuat Ersya mengernyit. Tak mau posisinya semakin terancam dengan menyetujui ide Ersya, Sora memilih meluangkan waktunya untuk mengobrol dengan pria itu di ruang tamu. "Duduk dulu!" Ersya mengajak Sora untuk duduk di sofa. Sora menurut. Namun, ia memilih untuk membuat jarak di antara ia dan Ersya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Ersya sadar dengan gelagat istrinya itu. Tetapi, ia memilih untuk tidak ambil pusing dengan hal itu. Ersya menarik napas panjang untuk melapangkan kembali kesabarannya sebelum mulai bicara. "Kamu sadar, kalau hari ini kamu sudah membuat sangat banyak kesalahan?" Dia bertanya dengan nada tenang yang terkesan lembut. "Apa? Clubbing? Mabuk? Oke, itu salah! Tapi itu bukan masalah besar, Sya. Itu memang cara aku hidup, dan kamu tahu itu, kalau kamu nggak suka sama cara hidupku, itu masalahmu bukan berarti kamu bisa menghentikanku!" Balas Sora tetap dengan egonya. Merasa Ersya tidak punya hak mengatur-atur hidupnya. "Aku sudah berkali-kali melarang kamu. Bahkan yang terakhir, bukankah aku sudah memperingatkanmu dengan cukup keras?" ucap Ersya. Sora kembali teringat ancaman Ersya terakhir kali. Dan untuk yang satu itu, Sora tak mau coba-coba menantang Ersya. "Jadi bagaimana? Apa perlu aku benar-benar menuntut hakku sekarang agar kamu tahu posisiku dan bisa belajar menghargaiku? Aku tidak keberatan dengan kehadiran seorang anak dalam waktu dekat," lanjut Ersya. Sora mendelikkan matanya. "Maksudnya kamu mau p*rkosa aku?" "Apa seorang suami yang meniduri istrinya bisa disebut sekeji itu? Aku rasa gak akan ada yang bisa menyalahkanku jika aku melakukan hal itu. Bahkan hukum sekali pun," balas Ersya. Sora benar-benar dibuat mati kutu. Betul juga. Mau dilihat dari segi mana pun, Ersya tidak bisa disalahkan hanya karena ia meminta haknya pada Sora sebagai pasangan suami-istri. “Nggak bisa gitu dong! Kamu tetap gak bisa memaksaku, apalagi kalau sampai aku nggak mau dan belum beri ijin kamu untuk menyentuhku!” tegas Sora. Ersya menyeringai, “mulutmu menolak, tapi jelas tadi tubuhmu bereaksi berbeda. Kita bisa bukti—“ “Ersya stop ya! Stop! Oke-Fine!” Sora menarik napas dalam-dalam, tidak bisa gegabah, Ersya mode menyebalkan sekali, "aku janji nggak akan ngulangin hal itu lagi," ucap Sora dengan satu tarikan napas dan nada terpaksa. "Apa? Bisa kamu ulangi lagi?" pinta Ersya. "Ck. Iya aku nggak akan ulangin kesalahan-kesalahanku hari ini lagi, cukup? Puas kamu!" ulang Sora jengkel, terpaksa. "Memang kesalahan kamu apa saja? Minimal aku harus tahu, kan, sejauh apa kamu sadar dengan kesalahan-kesalahan kamu, dan apa saja yang kata kamu 'nggak akan kamu ulangi lagi' itu." "Dugem, ngilang, pulang malam, mabuk. Udah. Kesalahanku cuma itu, ya, nggak usah ditambah-tambahin mentang-mentang aku lagi ngalah!" jawab Sora culas. Ersya harus berusaha keras untuk menahan tawanya. Cara Sora menjawab, terdengar sangat menggelitik di telinganya. Ersya berdehem. "Lalu? Tentang aku yang tidak bisa menghubungimu sejak sore?" Sora memutar bola matanya malas. "Iya. Aku akan buka blokirannya." Bagus. Setidaknya hari ini Sora mau mengakui kesalahannya. "Oke, aku akan kasih kamu kesempatan satu kali lagi. Tapi, dengan kesalahan sebanyak itu dalam satu hari, aku nggak bisa benar-benar bebasin kamu dari hukuman, Sora. Kamu tetap harus menerima hukuman," ucap Ersya, membuat Sora kembali merinding. "Apa sih? Kayak guru BP aja suka ngasih hukuman?!" protes Sora. "Mau nggak mau, suka nggak suka, kamu harus terima hukuman dari aku. Aku melakukan ini demi kebaikan kamu, biar kamu jera," balas Ersya. Sora menggigit bibir bagian dalamnya. Pikirannya mulai ke mana-mana membayangkan hukuman apa yang akan ia terima dari Ersya. "Semua rekening kamu, termasuk yang berasal dari orang tua kamu, sudah aku bekukan. Dan kamu bisa pakai kartu debit ini sebagai gantinya," ucap Ersya sambil menyodorkan sebuah kartu berwarna gold pada Sora. Sora membelalakkan matanya, "yang benar aja?! Kamu nggak ada hak ya buat-" "Tentu aku punya. Karena aku adalah suami kamu. Lagi pula, aku tetap bertanggungjawab penuh atas kamu. Makan, biaya kuliah dan yang lainnya tetap aku tanggung. Dan di kartu debit itu, ada uang jajan bulanan buat kamu. Aku akan transfer lagi setiap awal bulan. Jumlahnya memang tidak sebanyak uang pribadi kamu. Karena ini adalah salah satu dari hukuman buat kamu," terang Ersya. "Nggak. Pokoknya aku nggak bisa terima!" "Percuma, Sora. Aku sudah bekukan semua, dan nggak ada lagi yang bisa kamu lakuin sampai aku benar-benar cabut hukuman kamu," balas Ersya. Sora benar-benar tidak menyangka jika Ersya akan berbuat sejauh ini. Bahkan, harta pribadi Sora pun berada di bawah kendali pria itu. Kalau begini, bagaimana Sora bisa Party dengan teman-temannya lagi? "Dan tidak hanya itu saja. Mobil kamu, akan aku jual. Uangnya akan aku sumbangkan ke yayasan panti asuhan atas nama kamu. Dan selama kamu masih nakal, kamu akan diantar-jemput sopir suruhanku. Jadi, kamu nggak akan bisa kabur-kaburan lagi!" imbuh Ersya. “What the f**k?! Are you kidding me huh?!” ia sampai berteriak sekaligus berdiri, itu jelas membuat Sora nyaris pingsan di tempat. “Lihat wajahku, apa aku terlihat sedang bergurau sekarang?” “Argh! Kamu sinting! Ini nggak adil buatku! Kamu jahat!” “Aku bukan jahat, tapi coba bersikap tegas. Apa yang kulakukan demi kebaikan istriku, pernikahan kita,” Sora seketika lemas, terduduk lagi dan matanya terasa perih. Mendadak ia menyesal karena telah percaya pada Ersya dan menyerahkan kunci mobilnya pada anak buah Ersya di depan kelab tadi. Kalau begini, bagaimana Sora bisa melanjutkan kehidupan 'normal' nya lagi? 'Ersya benar-benar suami sialan! Menyebalkan melebihi ayah!' Sora tidak berhenti mengumpatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD