Bab 11-Proposal...

1225 Words
Sora baru mulai menikmati suapan pertama sandwitch-nya kala ia melihat Ersya menuruni tangga. Sora menelan makanannya dengan terburu-buru. Sisanya, ia letakkan kembali ke atas piring. Ia hanya ingin segera menyingkir sejauh mungkin dari sosok Ersya. "Mau ke mana? Sandwitch-nya nggak dihabiskan?" tegur Erysa. "Udah nggak nafsu. Mau langsung ke kampus aja!" jawab Sora malas. Gadis itu sudah bangkit dari kursinya, bersiap pergi segera. "Duduk! Habiskan! Nggak baik buang-buang makanan seperti itu!" ujar Ersya tegas. Sora berdecak sebal. "Aku nggak nafsu. Nggak lapar!" "Kamu masih ngambek?" tanya Ersya. Lelaki itu sudah lebih dulu duduk di kursi yang berhadapan dengan Sora. Sora memutar bola matanya ke segala penjuru ruangan - ke mana saja asal tidak bersitatap dengan Ersya. "Kamu nggak lupa kalau mobil kamu sudah aku jual? Hari ini aku sendiri yang akan mengantar kamu ke kampus. Dan sekarang aku mau sarapan dulu, jadi mending kamu ikut makan dulu!" lanjut Ersya. Sora masih diam di tempat. Andai saja ia tidak tinggal di negara hukum, mungkin piring sandwitch di hadapannya sudah melayang ke kepala Ersya. "Duduk dan habiskan makananmu, Sora! Kamu nggak mau hukuman kamu berlangsung lebih lama, kan?" “Iya, iya bawel! Sepertinya kamu harus pesan nasi tumpeng. Namamu sudah resmi bukan cuman ‘Ersya Malik’ deh, tapi sekarang jadi “Ersya Malik si tukang atur-atur, maksa bin nyebelin’ Ck!” Sora benar-benar jengkel. Sial sekali. Bahkan paling menyebalkan ialah saat rekeningnya pun berhasil Ersya bekukan entah bagaimana caranya. Sora sudah tidak bisa banyak bertingkah sekarang. Akhirnya, ia pun kembali duduk dan melanjutkan kegiatan sarapannya dengan malas. *** Sora membanting keras pintu mobil Ersya, lalu masuk ke area kampusnya tanpa mau repot-repot 'say bye' pada Ersya. Ia langsung menuju ke kantin. Sebelumnya - saat berada di mobil Ersya, ia sudah janjian dengan Fika untuk ke kantin dulu sebelum masuk kelas. "What? Jadi benar mobil kamu dia jual?" kaget Fika, begitu melihat Sora datang dengan raut wajah lesu. Sora ingin menangis rasanya. "Aku harus gimana dong, Fik? Aku harus minta tolong ke siapa biar Ersya mau lepasin lagi uang-uangku di rekening dan balikin mobilku?" Fika meringis. "Aku nggak menyangka efeknya akan sebesar ini. Oke, sekarang aku tahu se-nggak waras apa suami kamu itu." "Kasih jalan keluar kek! Aku harus apa sekarang? Dia cuma kasih aku debit card yang isinya tiga juta, Fik. Buat satu bulan! Buat naik taksi online buat bolak-balik aja nggak cukup. Aku juga nggak mau dong kalau harus pulang-pergi sama dia terus," kesal Sora. "Ya habisnya gimana dong? Mau minta tolong ke Om Sakti juga nggak mungkin, kan?" Mengadukan nasib pada Papa pun percuma, ia yakin Papa akan jadi yang paling senang atas cara Ersya bertindak tegas padanya. Belum lagi Papa jadi punya alasan mendikte dirinya, Sora tidak akan lakukan itu! "Dih, nggak sudi. Mending aku nyari kerjaan part time aja kali ya? Itung-itung biar aku bisa jarang di rumah juga. Menurut kamu gimana, Fik?" tanya Sora. Fika menghela napas panjang. "Kerjaan part time? Aku bahkan ragu kamu udah ngajuin proposal buat magang." Sora mengernyitkan alisnya. "Magang? Emang kita udah mau magang? Bukannya mulainya pas libur semester nanti ya? Masih dua bulanan, kan?" "Tuh kan. Jangankan ngajuin. Bikin proposalnya aja pasti belum. Ya ampun, Ra, kamu nggak takut kehabisan tempat apa? Mentang-mentang papa sama suami kamu punya perusahaan," geram Fika. Sora segera mengeluarkan laptopnya dari tas. Ia segera membuka format fail proposal yang pernah Fika berikan padanya. "Soraaaaaa..." geram Fika yang benar-benar tak habis pikir dengan sahabatnya itu. "Ini gimana dong? Bagusnya aku ngajuin ke perusahaan apa? Kamu ada rekomendasi nggak, Fik?" heboh Sora. "Aku bahkan nggak yakin kantor-kantor yang udah kerjasama kampus kita masih ada slot sisa buat mahasiswa magang. Aku aja, ngajuin di dua tempat bulan lalu udah masuk waiting list, Ra," terang Fika. "Aduh, gimana dong?! Masa aku baru magang tahun depan? Telat dong nanti lulusnya. Keburu nggak punya teman juga dong," Sora benar-benar pusing. Bagaimana mungkin ia bisa teledor ketinggalan sejauh ini dari teman-temannya, termasuk Fika. "Aku udah ingetin kamu dari jauh-jauh hari loh, Ra. Dari pas aku mau mulai siapin proposalnya. Tapi, kamu yang ngegampangin semuanya. Sekarang, aku cuma bisa kasih dua opsi solusi buat kamu. Terserah kamu mau pakai yang mana," ucap Fika. "Apa?" "Pertama, kamu sebar proposal ke semua perusahaan yang udah kerja sama dengan kampus kita, berharap masih ada yang bisa lolos, atau ..." "Atau apa?" "Gunain privilege kamu sebagai anak dan istri pengusaha. Kamu bisa minta tolong ke papa kamu atau suami kamu buat terima kamu magang di kantor mereka," lanjut Fika. "Apa?! Yang benar aja?! Nggak! Aku nggak sudi. Nggak ada cara lain apa? Ya udah nih ya, aku akan pilih opsi pertama. Mending aku sebar proposal ke semua perusahaan yang udah kerja sama dengan kampus kita daripada ngelibatin Papa sama Ersya," Sora menolak mentah-mentah opsi kedua yang Fika berikan. Dan Fika sudah menduga hal itu. Fika hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tapi sebenarnya itu nggak ngejamin juga sih, Ra. Belum tentu masih ada yang mau terima kamu, mengingat waktunya udah mepet dan kamu masih harus buat banyak proposal sekaligus." "Nggak peduli. Aku akan lakuin apa aja, selagi itu bisa bikin aku nggak berurusan sama mereka berdua. Mending sekarang aku cepat-cepat ke kantor jurusan buat minta list perusahaannya. Nih nitip laptop sama tasku!" Sora menyodorkan barang-barangnya pada Fika. Kemudian, ia pun bergegas menuju ke kantor jurusan yang berada di langai tiga. *** Satu bulan kemudian... "Apa ini?" Sora tahu, dia memang bukan orang baik. Ia memiliki banyak dosa dan tampak masih jauh dari kata taubat. Namun, ia tidak menyangka jika karma - kesialannya di dunia akan sebanyak ini. "Proposal. Aku udah ngajuin juga ke kantor kamu langsung. Tapi aku mau kasih ke kamu salinannya juga biar kamu bisa baca sendiri dan ..." "Dan?" Ersya menatap Sora dengan bingung, menunggu kelanjutan ucapan gadis itu. "... dan kalau bisa, sedikit bantu aku," lanjut Sora dengan nada lirih. Ersya mengernyitkan alisnya. Tidak mengerti bantuan seperti apa yang saat ini Sora butuh kan darinya. Akhirnya, ia pun segera membaca berkas proposal yang telah Sora serahkan padanya. "Magang? Satu bulan lagi?" tanya Erysa. Sora mengangguk membenarkan. Ersya berdehem dan membenarkan posisi duduknya. Setelah satu bulan lebih Sora merajuk padanya, ini adalah kali pertama Sora menghampirinya lebih dulu. "Aku sudah coba ajuin ke beberapa perusahaan sejak bulan lalu. Tapi nggak ada yang mau menerima aku. Jadi, aku putusin buat coba ajuin ke kantor kamu. Menurut kamu gimana?" tanya Sora. Harga dirinya benar-benar hancur. Satu bulan lebih ia berusaha menunjukkan pada Ersya jika dirinya tak bisa ditindas - bersikap dingin dengan pria itu, tetapi kini, mau tidak mau ia justru harus menurunkan egonya untuk minta bantuan pada pria itu. "Aku nggak mau kalau harus magang tahun depan. Keburu teman-temanku pada lulus, malu," lanjut Sora. Ersya terkekeh geli. "Kamu baru sadar sekarang, kalau kamu bisa merasa malu kalau terus-terusan hidup seenaknya begitu?" "Sya, plis! Aku lagi nggak mau debat. Aku cuma butuh jawaban kamu. Bisa bantu apa enggak?" desak Sora. "Kalau aku nggak bisa terima kamu, apa yang akan kamu lakuin? Akan coba ngajuin ke perusahaan Papa?" tantang Ersya. Sora terdiam sembari mengepalkan tangannya. Memang, pilihan yang ia punya hanya dua itu, setelah perjuangannya sebulan ini berakhir sia-sia. Ersya menghela napas panjang. Tak tega juga jika ia harus terlalu lama melihat wajah murung penuh beban pikiran gadis yang ia cintai itu. "Aku bisa bantu kamu. Tapi, ada syaratnya," ujar Ersya yang membuat Sora langsung berbinar menatap pria itu penuh harap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD