Marife datang dengan wajah lelah.
"Bagaimana keadaan Zachary?"
"Dia baik-baik saja,"jawab Susan.
Marife masuk ke kamar dan Edward sangat senang Marife sudah datang.
"Marife sudah ada di sini,"bisiknya.
Zachary langsung memegang tangan Marife. "Kamu sudah datang?"
"Iya aku sudah datang."
"Bagaimana syutingmu?"
"Semuanya berjalan lancar. Sepertinya operasi matamu juga berjalan lancar. Aku sudah tidak sabar menantikanmu bisa melihat lagi."
"Aku juga."
Beberapa hari kemudian perban mata Zschary dibuka dan dia dapat melihat kembali. Matanya langsung tertuju pada Marife yang sedang tersenyum padanya.
"Apa kamu bisa melihat kami?"tanya Edward.
Zachary tersenyum dan menangis. "Iya Ayah. Aku bisa melihat lagi."
Edward nampak senang memeluk Zachary dengan perasaan lega. "Syukurlah!"
Marife juga memeluk Zachary. "Aku sangat senang kamu bisa melihat lagi."
Zachary menghapus air mata Marife yang sempat menetes dengan jari jemarinya.
"Selamat Tuan Zachary!"kata Lucia.
"Terima kasih, Lucia!"
"Semoga Anda bisa kembali bekerja lagi."
Zachary mengangguk.
"Malam ini kita akan merayakan kesembuhannmu,"kata Edward.
"Ayah siapa yang sudah mendonorkan matanya untukku?"
Semuanya terdiam.
"Ada apa?"
"Begini, Ayah sudah menanyakannya pada dokter, tapi dokter tidak bisa memberitahu kita, karena identitas pendonor ingin dirahasiakan."
"Aku mengerti. Siapa pun orangnya, aku sangat berterima kasih kepadanya."
Mereka semua mengangguk.
***
Hari ini Marife akan menikah dengan Zachary. Ia merasa gugup, karena sebentar lagi mereka akan menjadi suami istri. Hari ini juga akan menjadi hari terpenting bagi mereka berdua, karena hari ini mereka akan menyatukan cinta mereka untuk selamanya. Zachary juga tidak kalah gugupnya dengan Marife. Berkali-kali pergi ia ke toilet dan tersenyum di depan cermin toilet, sebentar lagi Marife akan menjadi miliknya untuk selamanya.
Tidak lama kemudian upacara pernikahan dimulai. Zachary sudah menunggu Marife di depan altar dan mereka mengucapkan ikrar pernikahan, lalu mereka dinyatakan sah sebagai suami istri dan Zachary memasangkan cincin di jari Marife dan Marife juga memasangkan cincin di jari Zachary. Mereka berciuman dan semua yang hadir memberikan tepuk tangan dan ucapan selamat kepada mereka.
"Zachary, selamat. Semoga kamu hidup bahagia dan kamu juga Marife."
"Terima kasih Ayah,"kata mereka bersamaan.
Edward tersenyum bahagia. Setelah upacara dan resepsi pernikahan, Marife dan Zachary pergi bulan madu ke Salzburg, Austria.
***
Sementara itu di kediaman keluarga Sukwariabhipraya, Marcelina selalu mengurung diri di kamar. Kadang terdengar teriakan-teriakan dari kamarnya. Rasa marah dan dendam telah menguasai dirinya.
"Marcelina, boleh kakek masuk?"
Marcelina membukakan pintu dan kakeknya masuk.
"Sebenarnya ada apa dengan dirimu?"
Kakeknya menatap Marcelina dengan pandangan sedih melihat cucunya dengan penampilan berantakan dan wajahnya dipenuhi oleh air mata.
"Sebaiknya lupakan saja Zachary dan cari pria lain yang benar-benar mencintaimu. Pria itu sudah menjadi milik wanita lain."
Tiba-tiba Marcelina pingsan.
"MARCELINAAA."
Para pelayan berdatangan ke kamar dan menyuruh salah satu pelayan laki-lakinya untuk membawa marcelina ke tempat tidur.
Pak Rudi, Kakek Marcelina cepat –cepat memanggil dokter. Tidak lama kemudian dokter datang. Setelah selesai diperiksa dokter mengatakan kalau Marcelina mengalami depresi berat dan harus dibawa kepada seorang psikiater.
Pak Rudi duduk di ruang kerjanya dan memikirkan perkataan dokter dan bergulat dengan pikirannya. Akhirnya Pak Rudi menelepon seorang psikiater dan membuat janji bertemu dengannya.
"Maaf Marcelina. Ini demi kebaikanmu sendiri,"gumamnya
Marcelina yang sudah sadar pandangannya kosong dan kadang-kadang tidak mengenali sekelilingnya dan setelah beberapa hari tingkah lakunya seperti menunjukan orang gila dan hal itu yang membuat Orang tua dan kakeknya merasa khawatir. Marcelina kadang-kadang suka tertawa sendiri dan suka marah dengan tiba-tiba. Kalau sudah marah, Marcelina akan membanting semua barang yang ada di sekelilingnya ke lantai. Ia juga sering berusaha untuk menyakiti dirinya.
Pak Rudi tidak tahan lagi melihat Marcelina yang seperti itu. Akhirnya ia membawanya ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan perawatan dan orang tuanya pun setuju. Marcelina berusaha memberontak ketika para perawat membawanya.
"Kakek, Ayah, Ibu. Jangan tinggalkan aku di sini!Aku mohon."
Marcelina menangis dan memohon-mohon pada kakek dab orang tuanya. Dengan perasaan sedih mereka meninggalkan Marcelina di sana dan Pak Rudi menutup telinganya tidak ingin mendengar teriakan dan jeritan cucunya. Ia masuk ke dalam mobilnya.
"Maafkan aku, Marcelina!"
Pak Rudi cepat-cepat menghapus air matanya dan menyuruh sopirnya untuk pergi.
***
Zachary dan Marife sedang menikmati pemandangan di kota Salzburg. Mereka mengunjungi beberapa bangunan bersejarah. Mereka mengunjungi Salzburg castle merupakan salah satu istana terbesar di Eropa. Salzburger dom (The City’s Chathedral) merupakan bangunan kejayaan barok dan Hellbrunn palace. Mereka juga melakukan tur original sound of music dan mengunjungi gazebo yang dipakai dalam syuting Sound of music di Hellbrun Schloss ( Istana Helllbrun) dan mereka berdansa di dalam gazebo itu.
Salzburg terletak di tepi sungai Salzach dibagian utara pegunungan Alpen dan kotanya disebut kota tua atau biasa disebut Altstadt adalah sebuah kota yang didominasi oleh bangunan berarsiktektur barok. Bangunan yang terkenal adalah Festung Hohensalzburg. Kota ini di kelilingi oleh dua gunung yang lebih kecil, yaitu Monschberg dan Kapuzenerberg. Gunung-gunung ini menjadi paru-paru hijau bagi kota tersebut. Mereka terpesona dengan pemandangan yang disajikan kota ini. Tidak terasa hari sudah malam mereka kembali ke Spa Hotel Saalbach: Alpine Palace Hinterglemm.
Marife langsung berbaring di tempat tidur dan Zachary pergi ke kamar mandi. Tiba-tiba ia bangun dan pipinya mulai terasa panas. Ia mulai menyadari kalau malam ini adalah malam pertamanya dengan Zachary. Jantungnya berdegup semakin kencang dan mulai gugup. Ia berusaha menyembunyikan kegugupannya dan sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Marife."
Matife terlonjak kaget dan menoleh ke arah Zachary. Wajahnya berubah pucat.
"Marife, kamu baik-baik saja? Tadi kenapa kamu begitu kaget ketika aky memanggilmu? Apa ada yang sedang kamu pikirkan?"
"Ti-tidak ada apa-apa. Sungguh,"kata Marife gugup.
Marife langsung cepat-cepat pergi ke kamar mandi.
"Aduuh, bagaimana ini? Kenapa aku jadi gugup begini."
Marife membuka pakaiannya dan masuk ke dalam bath tub. Ia asyik memainkan busa sabun dan meniup-niupnya. Kamar mandi sudah di penuhi oleh gelembung sabun. Ia sudah berada di kamar mandi selama setengah jam dan juga belum keluar. Zachary khawatir dan mengetuk pintu.
"Marife, apa kamu tidak apa-apa?"
Zachary meraih pegangan pintu dan pintu tidak terkunci, lalu ia mendengar Marife sedang bernyanyi dan melihat banyak gelembung sabun yang berterbangan. Ia tersenyum, lalu Zachary pergi mengintip Marife dan gadis itu sedang asyik memainkan busa sabun.
"Apa yang kamu lakukan?"
Marife terkejut dengan kedatangan Zachary dan berusaha menutupi badannya dengan busa sabun.
"Kenapa ada di sini? Kamu mengintip aku mandi ya?"
"Kamu sudah berada terlalu lama di kamar mandi. Aku sudah mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Makanya aku masuk."
Zachary mendekati Marife dan Marife semakin berusaha menutupi badannya dengan busa sabun. Ia mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Marife yang membuat wajah gadis itu berubah merah seperti tomat.
"Cepatlah selesaikan mandimu nanti masuk angin. Aku menunggumu."
Zachary pergi dengan wajah tersenyum. Beberapa menit kemudian, Marife keluar dari kamar mandi dan Zachary sudah berada di tempat tidur. Pelan-pelan Marife naik ke tempat tidur dan menutupi dirinya dengan selimut. Beberapa saat terjadi keheningan dan wajah mereka berubah merah. Zachary mulai memeluk Marife dan menciumnya dengan lembut sementara tangannya seperti lahar panas menjelajahi seluruh tubuh gadis itu dan Zachary mematikan lampunya.
Keesokan paginya, Marife terbangun dalam pelukan suaminya dan ia tersenyum. Sekarang di hatinya ada perasaan bahagia yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Marife memandangi wajah Zachary dan mengecup bibirnya. Ia mulai menyadari sekarang dia tidak memakai pakaian sehelai pun. Wajahnya kembali menjadi merah. Ia cepat-cepat pergi ke kamar mandi. Zachary bangun dan tidak menemukan istrinya di tempat tidurnya, lalu ia melihat Marife keluar dari kamar mandi dan Zachary tersenyum. Setelah mereka berpakaian rapi, sarapan pagi diantarkan oleh pelayan ke kamar.
Setelah makan mereka memutuskan untuk kembali berjalan-jalan dan mengunjungi tempat yang belum sempat dikunjungi mereka kemarin. Kali ini mereka pergi ke taman Mirabella dan bermain catur raksasa di Mozart square, lalu mereka juga mengunjungi taman bir.
Marife dan Zachary berbulan madu di Austria selama seminggu dan tidak terasa bulan madu mereka sudah berakhir. Keesokan paginya mereka pulang ke Jakarta.
***
Setelah pergi bulan madu, Zachary membawa Marife ke rumah barunya dan mengajaknya melihat-lihat rumahnya.
"Sayang, apa kamu suka?"
"Iya, saya suka. Terima kasih."
"Di rumah ini kita akan membentuk sebuah keluarga baru. Besok kita menemui Ayah. Sekarang kita istirahat."
Mereka pergi ke kamar. Keesokan paginya mereka menemui Edward dan pria tua itu menyambut mereka dengan gembira, lalu mereka menceritakan tentang bulan madu mereka. Edward juga menceritakan tentang Marcelina yang masuk rumah sakit jiwa. Marife dan Zachary terkejut mendengarnya. Zachary pergi ke kantor dan meninggalkan Marife di rumah ayahnya.
"Pagi Lucia!"
"Pagi! Bagaimana bulan madu Anda?"
"Sangat menyenangkan. Bagaimana keadaan di kantor selama aku pergi?"
"Semuanya baik-baik saja. Di atas meja ada beberapa surat untuk Anda."
"Terima kasih. Nanti aku akan melihatnya."
Sore harinya, Zachary memutuskan untuk menemui Marcelina di rumah sakit jiwa Sesampainya di sana salah satu perawat mengantarkannya ke kamar Marcelina. Wanita itu menatap Zachary dengan pandangan kosong dan tidak mempedulikan kehadiran pria itu di sana. Lama kelamaan Zachary jadi merasa iba melihatnya yang seperti itu.
"Bagaimana kabarmu, Marcelina?"
Marcelina hanya diam dan terus memandang Zachary.
"Siapa kamu?"
"Apa kamu sudah lupa padaku?"
Marcelina terus menatap Zschary lekat-lekat dan ia mulai teringat siapa pria yang ada di hadapannya.
"Zachary."
Marcelina memandang Zachary dengan penuh kemarahan dan ia mulai berteriak-teriak.
"PERGI DARI SINI AKU TIDAK INGIN MELIHATMU. AKU BENCI PADAMU."
Marcelina melemparkan bantalnya kepada Zachary, dan memukulnya berkali-kali. Para perawat berdatangan dan berusaha menenangkannya dan perawat menyuruh Zachary untuk segera pergi. Tidak lama kemudian para perawat itu bisa menenangkan Marcelina. Ia akhirnya pergi dari sana dengan perasaan sedih.
"Marcelina, kenapa kamu menjadi seperti ini?"
***
Dua bulan kemudian
Ketika Marife bangun pagi, ia merasa pusing dan mual.
"Ada apa?"
Marife melihat Zachary sudah berpakaian rapi siap untuk pergi ke kantor.
"Sayang, ada apa?"
"Sepertinya aku merasa tidak enak badan."
Marife merasa mual dan cepat-cepat pergi ke kamar Mandi. Zachary sangat mengkhawatirkan Marife.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa."
"Sebaiknya kita pergi ke dokter. Aku akan mengantarmu."
"Tidak perlu. Aku tidak apa-apa. Sungguh."
Zachary tetap khawatir meskipun Marife bilang tidak apa-apa.
"Sebaiknya sekarang kita makan dulu, setelah itu aku akan mengantarmu ke dokter."
Marife berpakaian, lalu mereka sarapan pagi dan setelah selesai makan, mereka pergi ke rumah sakit. Di rumah sakit Marife duduk di luar menunggu giliran di panggil. Beberapa menit kemudian ia dipanggil dan dokter memeriksanya.
"Bagaimana keadaan istriku?"
"Istri Anda baik-baik saja. Mulai sekarang istri Anda harus memperhatikan kesehatan tubuhnya, karena istri Anda sekarang sedang hamil."
Zachary dan Marife terkejut mendengar penjelasan dokter.
"Benarkah itu?’’tanya Marife.
"Itu benar."
Mereka berpelukan karena gembira.
"Selamat untuk kalian!"kata dokter itu.
Mereka meninggalkan ruangan dokter dengan wajah berseri-seri.
"Sebentar lagi kita akan menjadi orang tua. Aku tidak menyangka kalau kita akan mendapatkan anak secepat ini,"kata Zachary.
"Aku juga."
Zachary mengelus-elus perut Marife, kemudian mereka masuk ke dalam mobil. Di wajah mereka masih terpancar kebahagiaan.
***
Delapan bulan kemudian
Marife sedang merajut pakaian bayi di tempat tidur dan mengelus-elus perutnya yang sudah membesar dengan penuh kasih sayang. Sekarang usia kandungannya 8 bulan. Hujan mulai turun dan cuaca semakin dingin. Ia sudah mulai mengantuk dan matanya sudah tidak dapat menahan rasa kantuknya. Akhirnya ia terlelap tidur masih sambil memegang rajutannya. Pintu kamar terbuka dan di sana berdiri seorang pria dan memandangnya dengan wajah tersenyum. Pria itu mendekati Marife dan mengambil rajutan di tangannya dan menyelimuti Marife dengan baik. Pria itu mencium bibirnya berkali-kali.
"Sayang, tidurmu nyenyak sekali."
Pria itu mengelus-elus perutnya dan menciumnya lagi. Dua jam kemudian, Marife membuka matanya dan menemukan Zachary berada di sampingnya.
"Zachary."
"Tidurmu tadi nyenyak sekali. Bagaimana keadaanmu?"
"Baik. Kapan kamu pulang?"
"Sejak dua jam yang lalu."
"Kenapa kamu tidak membangunkanku?"
"Aku tidak tega membangunkanmu, karena kamu tidurnya nyenyak sekali."
"Kamu sudah makan malam?"
"Sudah."
"Kamu sudah memutuskan untuk memberikan nama apa pada anak kita nanti?"
"Aku akan memberikan nama Danica. Apa kamu setuju?"
"Iya. Aku setuju."
"Aku baru mendapat kabar kalau Luca sudah menikah dengan orang Jepang. Istrinya sangat cantik."
"Benarkah? Aku turut bahagia untuknya."
Marife menyandarkan kepalanya di d**a Zachary.
"Marife."
"Hmmmm."
"Besok lusa aku akan pergi ke Amerika selama dua bulan."
Marife langsung menatap Zachary.
"Apaaa?! Tapi kenapa kamu pergi ke sana?"
"Ada urusan pekerjaan di sana."
"Tapi sebentar lagi aku akan melahirkan. Kenapa kamu harus pergi?"
Zachary membelai pipi Marife.
"Aku tahu sebentar lagi kamu akan melahirkan, tapi aku tetap harus pergi. Maaf aku tidak bisa berada di sisimu saat kamu akan melahirkan. Maafkan aku, Sayang. Bagaimana kalau Susan tinggal di sini untuk menemanimu?"
"Baiklah. Aku akan bicara dengannya dan memintanya tinggal di sini untuk menemaniku."
Zachary menyandarkan kepala Marife di bahunya dan Marife mulai terisak-isak menangis, kemudian terdengar ketukan di pintu, Marife cepat-cepat menghapus air matanya.
"Masuk!"
Seorang pelayan mengantarkan makan malam untuk Marife.