11. Tamu yang tidak diharapkan

2349 Words
Matahari telah keluar dari tempat persembunyiannya dan menyinari seluruh rumah. Hari telah berganti. Udara pagi menyeruak ke dalam rumah. Marife sedang mempersiapkan pakaian Zachary untuk dibawa ke Amerika. Zachary baru saja selesai mandi dan ia dapat mencium aroma sabun di tubuh suaminya. Setelah selesai berpakaian mereka turun untuk makan pagi dan Edward sudah berada di bawah menunggu mereka turun. "Ayah, apa yang Ayah lakukan di sini?" "Tentu saja untuk mengunjungi kalian dan aku juga ingin mengucapkan selamat jalan untukmu. Maaf Marife, aku sudah menjauhkanmu dari Zachary untuk sementara waktu disaat kamu hamil. Dan bagaimana keadaan cucuku di dalam sana?" Marife mengelus-elus perutnya. "Danica baik-baik saja." "Danica?" "Ayah, kami sudah menamai anak kami, Danica,"kata Zachary. "Oh. Rupanya kalian sudah memberikan nama untuknya. Nama yang bagus." "Terima kasih!"kata Zachary. "Marife, sebaiknya selama Zachary pergi sampai kamu melahirkan tinggallah di rumahku. Kamu bisa menempati kamar Zachary. Bagaimana?" Marife melirik Zachary meminta persetujuan. "Baiklah Ayah. Tolong jaga istriku dan anakku baik-baik." "Tentu saja." Edward tersenyum pada mereka berdua. Sudah tiba waktunya Zachary untuk pergi. Ia berpamitan pada Marife dan ayahnya. Marife berusaha tersenyum agar suaminya tidak mencemaskannya. Zachary memeluk Marife dan menciumnya. Ia mengantar kepergian Zachary sampai pintu depan menatap mobil yang membawa suaminya sampai menghilang dari hadapannya. Marife meneteskan air mata dan Edwatd berusaha menghiburnya supaya tidak bersedih lagi, karena waktu dua bulan bukanlah waktu yang cukup lama. Marife membereskan barang-barangnya untuk pindah sementara ke rumah Edward. Disepanjang perjalanan menuju rumah, Marife terlihat muram dan sedih kadang-kadang air matanya menetes lagi. Meskipun baru berpisah, Marife sudah kembali merindukan Zachary. Akhirnya mereka tiba di rumah, pelayan mengantarkan Marife ke kamarnya. Di dalam kamarnya sudah ada box bayi dengan segala perlengkapannya. "Aku yang membeli itu semua. Anggap saja itu sebagai hadiah untuk calon cucuku. Apakah kamu suka?" "Iya. Aku suka.Terima kasih." "Istirahatlah. Kalau butuh apa-apa bilang saja." "Baik." Marife berada sendirian di kamar. Ia melihat-lihat sekeliling kamar sudah lama ia tidak datang ke kamar ini lagi. Ia mengambil foto Zachary yang berada di samping tempat tidur dan membelai foto itu dengan senyuman sedih, lalu mencium foto itu. "Cepatlah pulang. Kami menunggumu." Marife kemudian meletakkan kembali foto itu. Matanya tertarik pada sebuah album foto di salah satu rak buku. Ia mengambilnya, naik ke tempat tidur dan membuka album foto yang berisi foto-foto Zachary ketika masih kecil sampai sudah dewasa. Marife tersenyum ketika melihat foto-foto itu. Ia menyadari dari sekian banyak foto suaminya yang ia lihat tidak ada senyum di wajahnya. Ia kembali menyimpan album foto itu di tempatnya semula. Tidak terasa matahari sudah terbenam dan malam pun tiba. Marife pergi ke bawah untuk makan malam bersama. Setelah selesai makan, Marife kembali ke kamarnya dan pergi ke balkon kamarnya. Angin dingin berhembus membelai tubuhnya dan ia menatap langit menyaksikan jutaan bintang bersinar dari balik awan. Keesokan paginya, Marife dibangunkan oleh bunyi telepon dan ia menerimanya sambil dalam keadaan masih mengantuk. "Halo!" "Halo Sayang, selamat pagi!" "Zachary." Marife langsung bangun. "Kamu baru bangun?" "Iya. Kamu sudah tiba di Amerika?" "Iya. Baru saja. Sekarang Aku ada di hotel bersiap-siap untuk tidur dan karena aku merindukan suaramu, aku meneleponmu terlebih dahulu. Bagaimana keadaanmu?" "Aku baik-baik saja. Lalu bagaimana denganmu?" "Aku juga baik-baik saja. Sekarang kamu ada di rumah ayah?" "Iya. Aku sekarang ada di rumah ayah. Zachary cepatlah pulang!" "Aku baru saja sampai. Apa kamu merindukanku?" "Iya. Jaga dirimu baik-baik di sana dan juga jaga kesehatanmu. Satu lagi jangan coba-coba melirik wanita lain di sana." Zachary tersenyum senang mendengar istrinya cemburu. "Tenang saja. Aku tidak akan tertarik dengan wanita lain selain dirimu. Aku senang dapat mendengar suaramu lagi." "Aku juga senang bisa mendengar suaramu lagi." "Marife, aku cinta kamu selamanya!" "Aku juga!" Marife menutup teleponnya dan tersenyum, kemudian melihat ke arah luar jendela. "Zachary,"gumamnya. Marife kemudian menelepon Susan. *** Tiga minggu kemudian Di luar hujan turun dengan lebat ketika Marife sedang merajut di ruang keluarga, i merasakan perutnya sangat sakit. Tubuhnya seperti ditarik-tarik kemudian ia berusaha untuk mencari pertolongan. Kebetulan Susan lewat dan melihat Marife kesakitan. "Marife kenapa?" "Sepertinya aku akan segera melahirkan?" "Apaaa?! Kalau begitu tunggu sebentar aku akan memanggil ambulan." Susan dengan terburu-buru menelepon ambulan. "Ada apa ini?’’kata Edward. "Maaf Pak Edward. Sepertinya Marife akan melahirkan." "Apaaa?" Edward segera menemui Marife dan melihatnya mengerang kesakitan. Tidak lama kemudian ambulan datang dan membawanya ke rumah sakit. Susan menemani Marife di ambulance, sedangkan Edward dan Pak Rian menyusul dengan menggunakan mobilnya. Ketika Edward sampai di rumah sakit, tangis bayi terdengar. Edward, Susan, dan Pak Rian merasa senang. Edward cepat-cepat menghubungi Zachary. Zachary sedang menghadiri rapat dengan beberapa kliennya dan tiba-tiba seseorang masuk dan membisikan sesuatu. Ia meminta izin keluar sebentar. Orang itu memberikan teleponnya pada Zachary. "Zach, ini Ayah. Marife sekarang ada di rumah sakit.: "Rumah sakit? Marife kenapa?" "Marife melahirkan hari ini." "Apaaa?! Benarkah itu? Apa Marife sudah melahirkan?" "Iya. Marife sudah melahirkan bayi perempuan yang sehat dan cantik. Dia mirip denganmu." Perasaan Zachary diselimuti oleh kebahagiaan. "Benarkah?" "Iya. Beberapa menit lagi aku akan mengirimkan foto anakmu. Zach, selamat sekarang kamu sudah menjadi seorang ayah." "Terima kasih." Zachary kembali ke ruang rapat dengan wajah bahagia. Orang-orang jadi terheran-heran melihat perubahan suasana hatinya. Zachary tidak lagi memperlihatkan wajah dinginnya. Selama rapat berlangsung, ia selalu tersenyum dan itu membuat para kliennya bingung. Setengah jam kemudian rapat telah selesai dan ia cepat-cepat mengambil ponselnya dan di sana telah ada sebuah pesan. Ia tersenyum bahagia ketika melihat foto anaknya. "Anakku,"katanya dengan perasaan terharu. Zachary meneteskan air mata kebahagiaan. Ia terus memandangi foto itu selama beberapa menit, kemudian ia menelepon Marife. "Marife, ini aku. Aku sudah melihatnya dan sangat senang. Seandainya aku ada di sana bersama kalian dan berbagi kebahagiaan dengan kalian. Maafkan aku!" "Kamu tidak perlu minta maaf. Sekarang putriku sedang ada bersamaku." Marife menatap anaknya dengan tatapan lembut. "Aku jadi ingin menggendongnya." "Kalau begitu kamu harus cepat pulang." "Aku akan pulang secepatnya dan bertemu dengan kalian. Maaf aku harus kembali kerja nanti aku akan menghubungimu lagi." "Baiklah. Sampai jumpa!" "Sampai jumpa!" Satu bulan sudah berlalu sejak Marife melahirkan. Sekarang Danica berumur satu bulan. Setiap hari Danica terlihat semakin mirip dengan ayahnya. Selama Danica hadir dalam hidupnya, ia tidak kesepian lagi begitu juga dengan Edward yang seperti menemukan mainan baru dalam hidupnya. Dalam sekejap Danica sudah berhasil mencuri hati Edward. *** Sementara itu di rumah sakit jiwa. Marcelina duduk di taman dan di tangannya menggenggam selembar koran yang memuat foto pernikahan Marife dan Zachary. Setiap kali ia melihatnya sinar matanya memperlihatkan kemarahan. "Aku harus pergi dari sini. Aku harus pergi dari sini. Aku harus pergi dari sini,"katanya berulang-ulang dalam hati. Tidak beberapa lama terjadi keributan yang cukup besar di dalam rumah sakit jiwa karena ada pertengkaran diantara sesama pasien dan keributan itu menyita banyak perhatian perawat dan petugas. Marcelina mengambil kesempatan ini untuk kabur dan keluar dari rumah sakit. Sepertinya keberuntungan memihak pada Marcelina. Ia melihat di pintu gerbang depan tidak ada penjaga dan dia cepat-cepat mengambil kesempatan itu untuk keluar. Rencana pelariannya berhasil dilakukan dan para petugas keamanan yang mengetahuinya langsung mengejar Marcelina, tapi ia berlari sangat kencang dan petugas itu tidak berhasil menangkapnya. Marife memutuskan untuk kembali ke rumahnya, karena Zachary sebentar lagi akan pulang. Edward terpaksa menyetujuinya. Marife mulai berkemas-kemas dibantu oleh Susan. Danica tidur dengan nyenyak di tempat tidurnya. "Marife, apa kamu sudah siap untuk pergi?"tanya Edward. "Iya." "Seringlah datang kemari bersama Danica." "Tentu saja. Ayah juga sering-sering datang ke rumah kami." "Edward tersenyum. "Terima kasih." Edward mendekati tempat tidur Danica dan melihatnya tidur dengan nyenyak. "Kakek pasti akan merindukanmu." Setelah menempuh perjalanan kurang dari sejam. Akhirnya Marife sampai di rumahnya. Ia senang sekali bisa kembali ke rumahnya. Satu minggu kemudian. Zachary pulang ke Jakarta dan sekarang ia berada di bandara Cuaca di luar sangat panas. Ia ingin segera pulang ke rumah untuk bertemu dengan istri dan anaknya. Dalam perjalanan, Zachary melihat toko bunga dan menyuruh sopir untuk berhenti dan tidak lama kemudian ia keluar dengan membawa satu buket besar bunga mawar merah untuk Marife. Edward yang mengetahui Zachary akan pulang hari ini cepat-cepat pergi ke rumah Zachary dan Marife, karena sudah tidak sabar ingin menemui cucunya dan juga bertemu putranya. Zachary sedang dalam perjalanan pulang dan di wajahnya selalu tersenyum sambil memandangi bunga mawar merah. "Marife, Danica sebentar lagi aku akan bertemu dengan kalian lagi. Aku sangat merindukan kalian berdua." Marife sedang menidurkan Danica di lantai atas, kemudian terdengar bunyi bel. "Mungkin itu Ayahmu sudah datang." Setelah menyimpan Danica di tempat tidurnya dengan hati senang Marife turun ke bawah untuk membukakan pintu dan ia sangat terkejut dengan kedatangan Marcelina yang tiba-tiba. "Halo Marife sudah lama kita tidak bertemu." "Marcelina." "Iya. Aku, Marcelina. Aku senang kamu masih ingat aku." Marife merasa takut dengan kedatangan Marcelina yang tiba-tiba. Sorot matanya penuh kebencian dan juga kemarahan. wanita itu mendekati Marife dan Marife melangkah mundur. "Marife, kamu sudah merebut Zachary dariku. Aku tidak akan memaafkanmu." Marcelina mengeluarkan sesuatu dari celananya dan Marife terkejut. Wanita itu memegang sebuah piisau dan langsung menusukkannya ke perut Marife. Daarah merah segar mengalir dari perutnya dan juga membasahi pakaian dan tangan Marcelina. Marife mencengkeram pakaian Marcelina dengan kuat dan menatapnya dengan tatapan sedih. "Kamu jangan menatapku seperti itu. Aku tidak suka dengan tatapan belas kasihanmu." Marife kemudian terjatuh ke lantai. Kepalanya terbentur dengan keras ke lantai. Sekarang tangan Marcelina dipenuhi oleh darah. Seluruh tubuhnya gemetaran dan mulai meneteskan air mata. Selangkah demi selangkah, Marcelina menjauhi tubuh Marife. Beberapa menit kemudian sebuah taxi berhenti di depan sebuah rumah yang tidak begitu besar tapi begitu nyaman. Zachary memasuki halaman rumahnya dengan senyuman menghiasi wajahnya. Ketika membuka pintu, ia tidak mempercayai pemandangan yang ada di depannya. Marife sudah tergeletak di lantai penuh dengan darah. Ia langsung mendekati Marife dan mengguncang-guncang tubuhnya. "MARIFE....MARIFE...MARIFE." Perlahan-lahan air mata mengalir di wajahnya. Hatinya bagai tersayat piisau melihat istrinya tergelatak di lantai yang sudah berlumuran darah. "Sayang, bangun. Ayo bangun! Aku mohon jangan tinggalkan aku!" AYO BANGUN.TIDAAAAKKKKKKK." Zachary tidak dapat membendung air matanya da menangis sambil memeluk Marife. Ia melihat Marcelina masih memegang pisau yang berlumuran darah. Ia meletakkan Marife di lantai dan mendekatinya dan memandangnya dengan penuh kemarahan dan juga kebencian. Ia belum pernah merasakan kemarahan dan kebencian sebesar ini selama ia hidup. "Kamu yang telah melakukannya bukan? KENAPA KAMU MELAKUKAN ITU?" Zachary mengguncang-guncang tubuh Marcelina dan membuatnya ketakutan. "Aku...." "MARCELINA." Marcelina merasa terpojok dan tertekan. Akhirnya ia menusuk Zachary dan darah segar mengalir di tubuh pria itu. Zachary melangkah mundur dan memegangi perut yang sudah ditusuk Marcelina. Darahnya menetes di lantai. Seluruh tubuh wanita gemetaran kemudian jatuh terduduk di lantai masih dengan memegang pisau. Kepala Zachary mulai berkunang-kunang dan berkeringat berusaha menahan rasa sakitnya, kemudian ia naik ke lantai atas dengan susah payah. Ia ingin melihat dan bertemu anaknya sebelum ia mati. Darahnya menetes di mana-mana. Napasnya tersengal-sengal. Zachary membuka pintu kamar anaknya dan mendekati tempat tidurnya. Danica sedang tidur nyenyak. Zachary tersenyum dan memandangnya dengan tatapan lembut dan dibelainya. "Maafkan Ayah dan Ibumu, karena kami tidak bisa berada di sisimu. Kami tidak bisa melihatmu tumbuh dewasa." Zachary menangis. "Kamu harus jadi anak yang baik dan kamu harus menurut pada kakekmu." Zachary mencium Danica, setelah itu ia kembali ke bawah. Di sana Marcelina duduk dengan pandangan kosong dan wajahnya dipenuhi oleh air mata. Zachary mendekati Marife dan tidur di sampingnya sambil berpelukan, mencium keningnya, dan tersenyum. Beberapa menit kemudian, Zachary menutup matanya, sedangkan Marcelina menangis dengan sangat keras. Beberapa menit kemudian, Edward datang dan matanya terbelalak melihat Zachary dan Marife berlumuran darah. Pak Rian dan sopirnya pun tidak kalah terkejutnya. Pak Rian langsung mendekati mereka berdua dan memeriksa keadaannya. Wajah Edward berubah jadi muram dan hatinya sangat pedih melihat putra dan menantunya tergeletak di lantai dengan berlumuran darah.Tidak terasa Air mata sudah mengalir di wajahnya. Susan yang baru saja kembali dari supermarket sangat terkejut dan shock. "TIIIIIIDAAAAKKKK,"teriak Susan. "Mereka masih hidup." "Aku akan menelepon ambulan,"kata Susan dan langsung menelepon ambulan. "Sebenarnya siapa yang sudah melakukan ini?"seru Edward kesal. Tiba-tiba Edward teringat dengan Danica dan wajahnya berubah menjadi panik. "Danica." "Tuan, tenang biar saya yang melihat Nona Danica di atas,"kata Pak Rian. Pak Rian dengan setengah berlari langsung menuju lantai atas dan Danica tidak ditemukan di mana pun. Pak Rian menjadi panik dan cemas. Edwards menunggu di bawah dengan khawatir, lalu dilihatnya Pak Rian dengan wajah muram. "Di mana Danica?" Pak Rian menggelengkan wajahnya. "Nona Danica tidak ada." "Apaaa?!" Edward dan Susan Terkejut. "Seseorang pasti sudah menculik Danica,"kata Susan panik. "Kita harus segera mencarinya." "Kita tidak tahu siapa yang melakukan semua ini,"kata Edward. "Kita bisa melihat pelakunya melalui kamera CCTV,"kata Pak Rian. "Kamu benar." "Kameranya sedang rusak dam baru akan diganti besok,"kata Susan. Mereka kecewa dan semakin hilang harapan. Ambulan datang. Marife dan Zachary di bawa masuk ke ambulan. Mereka mengikuti ambulan dari belakang. *** Marcelina menatap anak itu dengan bingung dan menebarkan pandangan ke segala arah. "Di mana aku? Kenapa aku ada di sini?" Marcelina sangat terkejut ketika mendapati kedua tangannya berlumuran darah dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa yang terjadi? Kenapa tanganku penuh dengan daarah? Bayi siapa ini?" Marcelina memegang kepalanya dengan salah satu tangannya yang bebas sambil menangis. "Aku harus pulang, tapi di mana rumahku?" Tiba-tiba Marcelina kembali mengingat di mana rumahnya. Kedatangan Marcelina dengan pakaian berlumuran daarah dan seorang bayi di tangannya membuat keluarganya terkejut. "Marcelina apa yang terjadi padamu?"tanya ayahnya. "Aku sudah membunuh Zachary dan istrinya." Mereka semua terkejut dengan pengakuan Marcelina. "Dan ini bayi siapa?" "Aku membawanya dari rumah mereka." Mereka kembali dibuat terkejut. "Sebaiknya kita rahasiakan hal ini pada semua orang,"kata Pak Rudi. "Tapi bagaimana dengan bayi ini? Kalau kita mengembalikan bayi ini pada keluarga Adhipramana, mereka akan tahu Marcelina pelakunya,"kata Pak Anggara, ayah Marcelina. "Kita tidak perlu mengembalikan bayi itu." "Apa?!" "Mereka sudah membuat hidup Marcelina menderita sampai dia sakit jiwa." "Lalu apa yang Ayah akan lakukan pada bayi itu?" "Aku akan memberikannya pada seorang kenalan yang ingin memiliki seorang anak." "Siapa?" "Berjanjilah untuk merahasiakannya!" "Aku berjanji." "Aku akan memberikannya pada keluarga Balindra." "Aku setuju." Mereka berdua saling menatap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD