8. Pertemuan kembali dengan Edward

2057 Words
"Terima kasih dokter." Zachary melihat ke arah Marife dan tersenyum. "Kamu dengar kata dokter tadi." "Iya dan maaf sudah mengkhawatirkanmu." "Sudah tidak apa-apa. Aku senang kamu baik-baik saja." Marife menatap Zachary dan membelai wajahnya. Mereka tersenyum dan mereka saling menatap dengan tatapan penuh cinta. *** Dua hari kemudian. Marife sedang makan siang ditemani Susan. Mereka sedang membicarakan acara pernikahan Marife dan mereka tidak menyadari pintu masuk bergeser dan Luca masuk. Mereka berduda terkejut melihat kedatangan Luca. "Luca,"panggil mereka bersamaan. "Aku senang kamu sudah sadar. Aku ingin bicara padamu." "Sebaiknya aku pergi keluar dulu. Sepertinya banyak yang ingin kalian bicarakan,"kata Susan. Susan pergi keluar kamar dan menutup pintu di belakangnya. "Baiklah. Kamu ingin bicara apa?" "Pertama-tama aku ingin minta maaf padamu atas kejadian waktu itu. Ketika itu aku lupa diri dan sudah membuatmu sedih. Setelah aku menenangkan diri dan berpikir, aku sudah merelakan kamu pergi dari sisiku. Aku sekarang mengerti. Kamu hanya akan bahagia di sisi Pak Zachary, jadi Marife, apa kamu mau memaafkanku?" "Aku memaafkanmu." "Terima kasih. Kita masih berteman seperti biasanya kan?" "Tentu saja." "Marife, Minggu depan aku akan pergi ke Jepang." "Jepang." "Iya. Jadi ini mungkin terakhir kali kita bertemu,"kata Luca sedih. "Aku mengerti.Semoga kamu baik-baik saja di sana." "Terima kasih. Semoga kamu dan Pak Zachary hidup bahagia dan hubungan kalian lancar." "Terima kasih Luca. Kamu juga semoga hidupmu bahagia." "Kalau begitu aku harus pergi sekarang masih ada banyak pekerjaan. Sampai Jumpa!" "Sampai jumpa!" *** Beberapa hari kemudian, Marife sudah sembuh dan dapat beraktifitas seperti biasanya dan sekarang mereka tengah disibukan dengan acara pernikahan mereka yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Marife dan Zachary pergi ke butik untuk mencoba pakaian pengantin mereka dan setelah itu pergi membeli perlengkapan rumah tangga. Ia sudah membeli sebuah rumah untuk ditinggali dengan Marife nantinya. Semenjak kejadian itu, Zachary tidak pernah membiarkan Marife sendirian. Ia menyuruh orang untuk menjaga dan mengawasi Marife secara sembunyi-sembunyi. Kemana pun Marife pergi, orang-orang suruhan Zachary akan mengikutinya. Ponsel Zachary berdering. "Pak Zachary, ini saya, Alba. Saya sudah mendapatkan informasi siapa yang berusaha mencelakan Nona Marife." "Katakan siapa orang itu?" "Nona Marcelina." Wajah Zachary langsung menegang. Ia langsung menutup ponselnya dan langsung pergi ke rumah Marcelina. Sesampainya di sana Zachary menerobos masuk dan langsung berteriak memanggil namanya. "MARCELINA...MARCELINA." Zachary menuju ke kamar Marcelina dan ia menemukan wanita itu di kamarnya dengan wajah ketakutan, karena Zachary memandangannya dengan wajah penuh kemarahan. "Kalau kamu berani-berani lagi menyakiti Marife, aku tidak akan pernah memaafkanmu. Ingat itu,"kata Zachary dengan sinar mata penuh ancaman. Zachary langsung pergi dari kamar Marcelina dan membanting pintu kamarnya dengan keras. Marcelina menangis di tempat tidurnya. "Lihat saja nanti. Aku tidak akan membuat kalian hidup tenang. Aku benci kalian...benci...benci." Malam telah tiba Zachary menaiki tangga dan pergi ke kamarnya. Wajah lelah terlihat jelas di wajahnya. Ia melepas pakaiannya dan mandi, lalu berpakaian dan membuka jendela membiarkan angin sepoi-sepoi menggerakkan rambutnya yang basah. *** Satu bulan kemudian Marife tersipu malu ditatap Zachary dan jantungnya berdetak dengan kencang. Sekarang mereka bukanlah atasan dan bawahan yang sedang melakukan makan malam. Sekarang statusnya sudah berubah sekarang dia adalah calon istri Zachary yang akan melangsungkan pernikahan Minggu depan. Mereka berdua terlihat sangat bahagia menikmati makan malam di bawah sinar bulan. Zachary tersenyum lembut dan menatap penuh cinta pada Marife. Itu sudah cukup membuat suhu wajahnya meningkat. Marife masih belum mempercayai kalau pria yang ada dihadapannya sekarang adalah calon suaminya. Jantungnya berdetak semakin kencang ketika lelaki itu memegang kedua tangannya. "Aku senang bisa berada di sini bersamamu menikmati makan malam berdua. Aku ingin selalu seperti ini menghabiskan waktu bersama denganmu. Aku sudah tidak sabar menjadikan kamu sebagai milikku." "Aku juga." Pelayan datang mendekati mereka membawa makanan pesanan mereka berdua. Zachary melepaskan kedua tangan Marife. Ia tertunduk malu dan merasa wajahnya sudah memerah untung di sekeliling tidak begitu terang sehingga Zachary tidak dapat melihatnya. Mereka makan malam dengan tenang dan diiringi canda tawa. Pernikahan mereka berdua sudah menjadi berita utama tahun ini dan sudah menjadi pembicaraan banyak orang. Mereka masih belum mempercayai kalau Zachary lebih memilih Marife dari pada Marcelina yang cantik dan berasal dari keluarga kaya. Banyak wanita yang menyukai Zachary merasa kecewa, karena pria itu akan segera menikah dengan Marife. Persiapan pernikahan mereka sudah sempurna segalanya sudah beres tinggal menunggu waktu hari mereka menikah. Setelah selesai makan malam, Zachary mengantarkan Marife pulang. Gadis itu memegang pegang pintu mobil hendak keluar, tiba-tiba tangannya ditahan oleh Zachary. "Mana ucapan selamat malam untukku, Sayang?" "Selamat malam!" Marife sudah mengeluarkan salah satu kakinya dari mobil dan tangannya ditahan lagi oleh Zachary. "Hanya itu saja?" Marife tersenyum. Ia tahu apa yang diinginkan Zachary dan dengan malu-malu ia mendekatkan wajahnya pada pria itu. Semburat warna merah menghiasi pipinya yang putih. Ia mengecup lembut bibirnya dengan cepat dan tersenyum malu-malu padanya. Zachary tersenyum senang dan mengacak-acak rambutnya. "Istirahatlah! Besok aku akan menjemputmu. Ayah ingin menemuimu di rumah." Mata Marife terbelalak kaget. Ia merasa gugup akan bertemu dengan ayah Zachary lagi seketika tangannya menjadi dingin. "Baiklah!" Marife keluar dari mobil dan langsung masuk ke dalam apartemennya. Keesokan paginya, Marife membuka tirai jendela. Sinar Matahari menyilaukan matanya. Kabut tipis pagi hari masih menyelimuti langit biru yang cerah. Pohon-pohon bunga kertas yang sedang berbunga menambah indahnya pemandangan dari jendela kamar apartemennya. Pot-pot bunga yang penuh dengan bunga warna-warni sangat menyejukan mata dan semuanya sangat mempesonanya. "Hari ini cerah sekali dan indah sekali!"seru Marife sambil merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara pagi yang segar dalam-dalam. Marife merasakan udara yang hangat dan lembut membelai wajahnya. Ia melamun sambil melihat pemandangan di pagi hari dan lamunannya dibuyarkan oleh bunyi suara ponsel dengan setengah berlari Ia menyambar ponselnya yang terletak di atas meja riasnya. Wajahnya tersenyum ketika ada sebuah pesan masuk dari Zachary. Sayang, selamat pagi! Sebentar lagi aku akan menjemputmu. Bersiap-siaplah! Marife segera mengganti pakaiannya dan memakai baju berwarna ungu seperi bunga violet hutan dan sesuai dengan bentuk tubuhnya yang langsing. Ia keluar kamar dengan wajah cerah dan senyuman menghiasi wajahnya. "Pagi Susan!" "Ah, pagi!" Susan memperhatikan Marife dan dia merasa takjub melihat penampilan Marife di pagi hari. "Marife." "Bagaimana penampilanku? Apa aku sudah terlihat cantik." Marife memutar-mutar tubuhnya. "Kamu sangat cantik. Memangnya kamu akan pergi kemana?"tanya Susan sambil masih terus menatap Marife. "Zachary mau mengajakku bertemu dengan Ayahnya." Susan mengangkat sebelah alisnya dan masih menatap Marife. "Pantas saja kamu berdandan cantik. Pasti Pak Zachary senang melihat penampilanmu pagi ini." "Aku sebenarnya sangat gugup bertemu dengan Ayahnya meskipun aku sudah pernah bertemu dengannya. Coba pegang tanganku, Susan. Tanganku dingin." Marife menjulurkan tangannya pada Susan dan tangannya memang sangat dingin. "Itu wajar ketika akan bertemu dengan calon Ayah mertuamu." "Ya. Kamu benar." "Marife ternyata hatimu sudah benar-benar terebut oleh Pak Zachary. Siapa yang akan menyangka kalau hatimu akan berlabuh padanya. Pria yang dulu kamu benci dan sekarang malah jadi mencintainya. Sepertinya daya tarikmu padanya sangat kuat sehingga dia rela membatalkan pernikahannya dengan Marcelina dan juga siapa sangka kalau Pak Zachary yang ada di otaknya hanya ada pekerjaan saja bisa jatuh cinta padamu." Marife tersenyum malu dan rona merah mulai menghiasi wajahnya yang cantik. "Ayo sebaiknya kita makan. Aku sudah memasak makanan kesukaanmu." "Terima kasih Susan!" *** Beberapa menit kemudian, Zachary datang menjemput Marife dengan membawa satu buket mawar merah. Marife terlihat sangat senang dan mencium bunga itu. "Terima kasih, Sayang." Marife mengecup lembut bibir Zachary. "Kamu terlihat sangat cantik hari ini dan juga mempesona,"kata Zachary tanpa mengalihkan tatapannya pada Marife. "Ayo masuk!" Marife meraih tangan Zachary untuk menariknya masuk ke dalam. Ia kemudian memasukkan bunganya ke dalam sebuah pot besar dan diletakkan di atas meja. Zachary meraih tangan Marife dan mengecup lembut tangannya. "Kamu sudah siap bertemu dengan Ayahku?" "Entalah. Aku sangat gugup bertemu dengannya lagi. Aku takut kalau aku ajan memunculkan kesan yang tidak baik." "Tenang Sayang. Ada aku di sampingmu. Kamu kan sudah bertemu dengannya sebelumnya,"katanya lembut sambil membelai wajah Marife dengan punggung jari telunjuknya. "Semoga saja." Marife dan Zachary keluar dari apartemen disambut oleh silaunya sinar matahari. Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Disepanjang perjalanan Zachary tetap memegang tangan Marife dengan salah satu tangannya dan yang satunya memegang kemudi. Sesekali Ia melirik Marife yang tampak melamun. Mobil berhenti di depan pintu masuk kediaman keluarga Adhipramana. Mata Marife menebarkan pandangan ke sekeliling Mereka berjalan sambil bergandengan tangan dan mulai menaiki undakan tangga. Di samping pintu utama banyak pot berisi bunga azalea berwarna merah bata. Seorang pelayan membukakan pintu dan memberi hormat. Marife dan Zachary mengikuti pelayan itu melalui lorong-lorong rumah yang luas dan sejuk. Pelayan itu membukakan pintu ruang kerja Edward. Ruangan itu bermandikan cahaya matahari. Di dalam ruangan sangat sunyi hanya terdengar pergerakan jarum jam dinding. Sinar matahari berada di belakang Marife menyinari rambutnya seperti memancarkan cahaya. Zachary mengajaknya untuk duduk dan Marife terlihat gugup, ia meremas gaunnya dengan kedua tangannya dan tubuhnya terlihat tegang. "Marife, tenang saja. Kamu tidak perlu segugup atau setegang itu." "Tapi Zach...." Pintu terbuka dan Edward yang duduk di kursi roda tersenyum pada mereka berdua. "Kita bertemu lagi,"kata Edward dengan senyuman ramah. "Se-selamat siang!’’ "Kamu terlihat sangat cantik." Marife tertunduk malu. Rona merah pipinya kembali muncul di wajahnya. "Te-terima kasih." Edward mengajak Marife dan Zachary berjalan-jalan di halaman belakang. Halaman yang hijau dikelilingi oleh pohon-pohon menambah kesejukan. Rumput-rumput dipotong sangat rapi terbentang di seluruh halaman rumah. Dikiri kanan halaman terdapat banyak bunga mawar berbagai macam warna yang sudah mulai berkembang, ada kolam ikan, dan juga kolam renang.Tidak hanya itu saja Marife melihat ada sebuah lapangan basket dan juga lapangan tenis. Marife membantu Edward memberi makan ikan-ikannya, kemudian ia kembali mendorong kursi roda dan Zachary mengikutinya dari belakang. Mereka duduk di bangku taman yang menghadap air mancur di bawah pohon pakis yang menjulang tinggi. Mereka bertiga berbicara dengan penuh canda dan tawa. Mereka membicarakan tentang persiapan pernikahan mereka dan rencana bulan madu. Pak Rian sangat senang melihat kebersamaan mereka. Edward dan Zachary tertawa bersama dan merupakan pemandangan yang langka. Gadis itu membawa kehangatan dalam keluarga ini pikirnya. "Ah sudah waktunya makan siang sebaiknya kita makan dulu,"kata Edward sambil melirik jam tangannya. Mereka bertiga memasuki ruang makan di mana hidangan makanan yang lezat sudah disiapkan. Makan siang di rumah Zachary sudah selesai. Ia harus mengakui bahwa makanannya sangat enak sekali dan sempurna dihidangkan dalam ruang makan yang sangat bagus. Zachary mengajak Marife kembali berjalan-jalan di taman, sedangkan Edward kembali ke kamarnya untuk beristirahat. "Bagaimana Ayahku?" "Dia baik tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Aku kira ayahmu benar-benar galak dan juga menakutkan ternyata semuanya salah." "Ayahku memang galak dan menakutkan, tapi terhadapmu dia bersikap manis." Lengan Zachary memeluk Marife sangat erat sehingga Marife semakin merapat ke tubuh pria itu dan ia menciumnya. Mereka sekarang sudah menjadi satu yang dipertemukan oleh cinta. Zachary tidak memberikan kesempatan pada Marife untuk bernafas, karena bibirnya terus menjelajahi bibirnya. Napas mereka memburu ketika bibir mereka berpisah. Zachary tersenyum lembut dan jari-jarinya menyentuh pipi Marife, lalu menuju ke arah lehernya. Untuk sesaat mereka segan untuk memisahkan diri masing-masing tubuh ingin merasakan kehangatan dari orang yang dicintai seolah-olah mereka sudah tidak ingin berpisah lagi walaupun hanya sedetik, karena jiwa dan hati mereka sudah menjadi satu. Zachary memegang dagu Marife. "Sepertinya kamu harus pulang Sayang. Aku akan mengantarmu karena aku harus kembali bekerja." "Baiklah,"katanya singkat walaupun hatinya ingin tetap lebih lama dengannya. Zachary mengantarkan sampai depan apartemennya setelah itu dia pergi ke kantornya. Di sana Lucia sudah menunggunya dan langsung memberikan beberapa dokumen yang harus ditanda tangani. "Bagaimana pertemuan Marife dengan Ayah Anda?" "Semuanya berjalan baik." "Syukurlah dengan begini hati Anda sudah menjadi tenang." Zachary tersenyum dan kembali membaca dokumen yang diberikan Lucia. Sore hari Ia akan bertemu dengan salah satu kliennya di sebuah kafe disekitar kantornya. Ia memutuskan untuk berjalan, karena jaraknya yang begitu dekat hanya memerlukan waktu tujuh menit untuk sampai ke sana. Zachary berjalan dengan langkah cepat lurus ke depan dan sekarang dia berada di bawah kontruksi bangunan. Tanpa disadari sebalok kaca besar jatuh dan pecah menghantam tanah. PRAAANNGG! Suara pecahan kaca sangat memekikan telinga. Zachary tidak sempat menghindar dan pecahan kacanya mengenai tubuhnya. Semua orang berteriak dan berusaha menghindar. Zachary jatuh pingsan dan di tubuhnya banyak tertancap pecahan kaca. Kapala dan tangannya mengeluarkan banyak darah. Dia segera dibawa ke rumah sakit dan mereka segera mengeluarkan pecahan kaca satu persatu dari tubuhnya. Pecahan kaca juga mengenai kedua matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD