Zachary nampak begitu sedih. Hatinya terluka. Wanita yang dicintainya sekarang telah terbang sangat jauh dan sudah tidak terjangkau lagi untuk menangkapnya kembali. Ia pun akhirnya menangis. Hidupnya telah hancur berkeping-keping. Lucia yang melihat semua itu merasa sedih. Kisah cinta atasannya harus berakhir sampai di sini. Ia sangat menyayangkan hal itu setelah mereka susah payah daoat bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan. Ia ingin sekali menolong mereka agar hubungan mereka baik kembali. Tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk memeriksa keaslian foto itu, karena ia percaya kalau Marife tidak akan pernah mungkin mengkhianati Alrico.
Marife pulang lewat pintu belakang, karena para wartawan masih berkumpul di depan pintu masuk utama.Terdengar langkah-langkah cepat disepanjang lorong menuju pintu belakang. Wajahnya telah basah oleh air matanya. Saat ini ia benar-benar sangat kecewa dan marah pada suaminya. Rasa cemburunya sudah benar-benar menyakiti perasaannya hanya karena seorang wanita yang mirip dengannya. Ia berjalan dengan langkah gontai, tatapannya kosong, berkali-kali dia menabrak orang, dan meminta maaf. Saat ini ia tidak ingin kembali ke rumahnya. Ia ingin pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri dan menjernihkan pikirannya.
"Zachary, kamu jahat sekali. Aku akan pergi dari sisimu kalau ini keinginanmu. Selamat tinggal!"
***
Lucia masuk ke ruangan Zachary membawakannya cemilan dan secangkir kopi. Sesekali ia melirik pria itu yang di wajahnya tidak ada ekspresi apa pun. Lucia mendekatinya dengan perasaan takut.
"Maaf. Apa Anda benar-benar yakin dengan keputusan Anda ini? Sekarang masih belum terlambat, jika Anda merubah keputusan Anda. Marife adalah wanita yang Anda cintai selama ini dan dengan susah payah Anda mendapatkan cintanya. Saya tidak mengerti, kenapa Anda begitu mudahnya melepaskan Marife?"
Zachary menatap Lucia dengan pandangan marah.
"Ini bukan urusanmu. Percuma saja kalau kamu berusaha untuk membuatku berbaikan dengan Marife. Hatiku sudah terlanjur sakit dengan pengkhianatannya. Aku bisa saja bisa melakukan seperti apa yang Marife lakukan padaku,"katanya tanpa mengalihkan pandangannya dari depan komputer.
"Apa maksud Anda?"tanyanya penasaran
"Aku bisa saja mencari wanita lain dan mengencaninya."
"Pak Alrico, Anda jangan bermain api. Jangan tambah masalah Anda dengan Marife jadi rumit."
Zachary berhenti mengetik.
"Sekarang katakan siapa yang terlebih dahulu bermain api? Marifelah yang memulainya, jadi kenapa aku juga tidak bisa melakukannya."
Zachary kembali mengetik dan Lucia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kalau Anda bermaksud untuk balas dendam, sebaiknya jangan lakukan itu, karena dapat menyakiti kalian berdua dan itu tidak akan dapat menyelesaikan masalah."
"Lucia sebaiknya kamu pergi saja dan jangan ganggu aku lagi. Aku akan memanggilmu kalau aku membutuhkanmu,"katanya dengan nada suara ketus.
"Baik."
Lucia menuruti perintah Zachary keluar dari kantornya. Ia menyandarkan dirinya di pintu dan menghela napas panjang.
"Aku rasa sebentar lagi akan terjadi masalah besar. Kenapa hubungan kalian bisa menjadi bermasalah seperti ini?"
Lucia kembali ke meja kerjanya dan segera menghubungi seseorang.
"Halo ini aku, bisa kita bertemu sore ini? Baik. Aku tunggu di kafe dekat taman."
Lucia kembali memandangi foto Marife dan pria asing yang sedang berciuman. Foto itu dia dapatkan dari wartawan yang memfoto mereka dalam waktu dua jam setelah ia membaca koran. Wartawan itu tidak terima pendapatnya kalau foto itu palsu dan rela memberikannya agar Lucia bisa membuktikan keaslian foto itu.
Lucia dikejutkan oleh kedatangan seorang wanita cantik. Kepalanya ditegakkan. Rasa percaya dirinya sangat tinggi dan sedikit terkesan menyombongkan diri.
"Anda siapa? Kenapa Anda bisa datang ke sini tanpa izin."
"Aku ke sini karena sudah ada janji temu denganku."
"Benarkah?"
"Aku Yessika. Wartawan dari majalah Orion."
Lucia segera membuka buku agendanya, karena ia tidak ingat Zachary ada janji temu hari ini dengan seorang wartawan. Di buku tidak ada jadwal tentang janji temu itu.
"Di jadwal yang aku tulis tidak ada janji temu Anda dengan Pak Zachary."
"Mungkin Anda lupa mencatatnya."
"Tunggu sebentar di sini ! Aku akan menanyakannya terlebih dahulu pada Pak Zachary."
Wanita itu mengangguk. Lucia mengetuk pintu dan masuk. Ia berjalan mendekati Zachary.
"Ada seorang wanita bernama Yessika dari majalah Orion ingin menemui Anda."
"Suruh dia masuk."
"Kenapa di agenda saya tidak ada janji temu Anda dengannya?"
"Aku mendadak menghubunginya untuk bicara dengannya."
Lucia pergi memanggil Yessika masuk. Wanita itu sangat senang sudah diizinkan masuk. Begitu ia di dalam ruangan langsung memperhatikan Zachary yang tampak sedang sibuk bekerja.
"Selamat siang!"
Zachary langsung mendongakkan kepala dari layar komputer.
"Silahkan duduk!"
Yessika duduk di sofa dan Zachary beranjak dari kursi kerjanya. Lelaki itu kemudian duduk dikursi berlengan.
"Aku ingin mengumumkan sesuatu."
"Baiklah. Apa yang ingin Anda informasikan padaku?"
Zachary tersenyum pahit. "Ini tentang pernikahanku."
"Sangat menarik."
Yessika bersiap mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Zachary.
***
Marife berada disebuah planetarium sedang melihat langit yang di penuhi oleh jutaan bintang. Wajah Zachary terbayang di langit yang dipenuhi jutaan bintang bersinar.
"Zachary,"gumamnya lirih.
Air mata tidak terasa telah mengalir di wajahnya. Ia menutup kedua matanya dengan lengannya dan menangis.
"Zachary bodoh."
Disebuah agen penerbitan koran terkenal di Jakarta, Yessika memasuki ruangan atasannya dengan wajah tersenyum senang setelah melakukan wawancara dengan Zachary. Ia memberikan sebuah laporan mengenai Marife dan Zachary. Atasannya membaca laporannya dan tidak lama mengembang senyuman di wajahnya.
"Kerja bagus. Aku suka berita ini. Ini akan menjadi berita utama besok."
"Terima kasih. Aku rasa hubungan mereka sudah benar-benar berakhir. Kalau begitu saya permisi dulu."
Yessika membungkukkan badannya dan berlalu pergi. Di wajahnya merekah senyuman tipis.
***
Setelah jam kerja selesai, Lucia pergi menuju kafe untuk menemui seseorang. Matanya mengedarkan ke segala penjuru kafe mencari seseorang yang dikenalnya. Ia tersenyum, lalu mendekati seorang temannya yang sudah menunggunya.
"Apa aku datang terlambat?"
"Terlambat lima menit."
"Maaf. Hari ini bosku sedang punya banyak masalah dan kami jadi ikut terkena kemarahannya. Kamu pasti sudah tahu apa masalahnya."
Lucia menyerahkan sebuah amplop coklat kepada Ardian Balindra. Dia adalah teman SMU Lucia. Ia melihat foto yang ada di dalam amplop itu sambil mengerutkan keningnya memandangi kemesraan dua anak muda yang ada di foto ini.
"Pantas saja atasanmu marah melihat kekasihnya dicium mesra oleh pria lain."
"Aku ingin kamu memeriksa keaslian foto ini karena aku tidak percaya kalau Marife selingkuh."
"Aku akan memberikan jawabannya besok siang."
"Terima kasih."
Lucia beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan kafe.
Sementara itu Marife mengadakan perjalanan ke Bandung ke villa orang tuanya. Ia ingin menenangkan hati dan pikirannya di sana dan sekalian menjenguk Pak Septian penjaga villa yang sudah bertahun-tahun mengabdi pada keluarganya dan juga makam orang tuanya. Ia menghubungi Susan untuk memberitahu keberadaannya, tapi Susan sudah menghubunginya terlebih dahulu.
"Marife, kamu di mana? Ini sudah sore. Pak Edward juga ikut mencemaskanmu."
"Aku pulang ke Bandung."
"Eh, pulang ke Bandung?"tanyanya terkejut.
"Iya. Aku habis bertengkar dengan Zach dan aku ingin menenangkan diriku dulu di sana."
"Baiklah. Jaga dirimu!"
Marife menutup sambungan teleponnya. Sementara itu Susan memberitahu Edward kalau Marife perhi ke Bandung setelah bertengkar dengan Zachary. Pria tua itu sangat sedih.
"Nanti aku akan bicara lagi dengan Zach."
Edward berjalan tertatih-tatih menggunakan tongkat berjalannya menuju kamar. Ia mengambil ponselnya dan menelepon Zachary.
"Setelah kamu selesai bekerja, pulanglah! Ayah ingin bicara denganmu?"
"Maaf Ayah, aku tidak bisa pulang."
"Kenapa?"
"Aku tidak bisa melihat Marife di sana."
"Dia tidak ada di rumah. Ia pulang ke Bandung."
"Eh."
"Aku tidak ingin mendengar alasanmu lagi. Cepatlah pulang!"
"Baiklah."
Pak Rian masuk membawakan teh dan kue bertepatan ketika Edward sudah selesai menelepon Zachary.
"Masalah ini menjadi semakin rumit,"katanya pada Pak Rian.
"Sayang sekali kalau mereka sampai bercerai."
"Benar."
"Saya jadi penasaran kenapa ada wanita yang mirip dengan Nyonya Marife."
"Aku juga. Siapa sebenarnya dia?"
Mereka berdua saling pandang.
***
Seorang wanita sedang duduk di taman kota sambil membaca sebuah koran.
"Apa-apaan ini kenapa aku dan Ferdi masuk koran dalam keadaan sedang berciuman."
Wanita itu membaca secara keseluruhan berita. Ia mengerutkan dahinya terlihat rasa terkejut di wajahnya.
"Marissa Fernanda,"katanya heran dengan tatapan masih tertuju pada bacaan artikel di koran. "Siapa dia? Kenapa mereka menyebutku dengan nama Marissa Fernanda. Jelas-jelas namaku Marissa Jose."
Berbagai macam pertanyaan berputar-putar di kepalanya. Ia mencondongkan kepalanya kiri sebentar-sebentar ke kanan sambil mencari-cari jawaban atas pertanyaannya dan masih dengan wajah yang tampak kebingungan.