louisa - empat

1211 Words
Diego sedang duduk bersama Mami dan Papinya. Ia merasa seperti penjahat yang sedang disidang oleh hakim dan akan diganjar dengan hukuman berat. "Pokoknya Mami nggak mau tau, kamu harus nikah sama Louisa atau kamu Mami pindahkan ke Belanda,” ucap Ruby, maminya. Diego melihat ke arah Ezra—papinya—untuk memohon bantuan, tetapi yang ia dapatkan hanya wajah datar Ezra tanpa senyum ataupun tanda-tanda ingin membantunya. "Nggak, Mi. Aku nggak mau nikah atau pergi ke Belanda,” tolak Diego. "Yaudah, terserah. Pokoknya Mami cuma kasih pilihan itu. Menikah atau pindah. Oh satu lagi." Diego sedikit senang, mungkin Maminya akan memberikan izin untuk berjuang bersama Kimmy. "Apa, Mi?" "Tidak Mami anggap anak." "Pi, tolong bantu Diego. Ini si Mami kenapa?" ucap Diego meminta pembelaan. "Untuk kali ini Papi setuju dengan Mami. Kamu harus menikah dengan Louisa,” ucap Ezra lalu bangkit berdiri meninggalkan Diego yang terduduk lesu. Diego dengan kasar menuju kamarnya. Ia tidak tau kenapa orang tuanya melarang ia berjuang untuk Kimmy. Padahal ia sendiri mau berjuang untuk Kimmy, meskipun ia tau Kimmy tidak mencintainya. Setidaknya ia ingin melindungi Kimmy dari segala sakit hati. Diego melihat ke arah ponselnya, nama Louisa beserta nomor ponsel yang ia simpan sudah berada di daftar kontak ponselnya. Mau tidak mau ia harus mengikuti kemauan orang tuanya. Ia tidak ingin dipindahkan ke Belanda, ke ladang anggur yang Papinya sedang rintis di sana. Diego mencoba menelepon Louisa, tetapi nomor wanita itu sedang sibuk. Diego menggeram kesal, kenapa ponsel wanita ini sedang sibuk di saat ia membutuhkannya. Satu jam Diego menunggu dan tidak ada jawaban. Ia sudah kesal kepada Maminya yang seenaknya, dan sekarang Louisa yang sama sekali tidak bisa dihubungi. Diego melempar ponselnya, lalu ia berbaring di kasurnya. Menutup mata sambil berharap bahwa semua hanya mimpi. ♥♥♥ "Terus, kamu sama dia nggak jadi nikah?" ucap seseorang di sana. "Ya nggaklah. Lagian aku maunya nikah karena cinta bukan karena perjodohan." Terdengar suara tawa dari seberang sana, "Kamu jangan ketawa, Bert." "Sorry, sory. Lagian kamu lucu. Bukannya kamu suka sama dia? Enam tahun, Louisa, kamu gagal move on dari dia. Sekarang ada kesempatan menikah sama dia, kamu tolak?" "Delbert, kamu tau? Percuma aku menikah dengannya kalau dia nggak mau sama aku dan terpaksa. Namanya aku membangun neraka buat diri aku sendiri.” "Tapi jadi istri seorang Diego Sunario Kresta adalah salah satu impian semua wanita. Kamu yakin nggak akan menyesal menolaknya?" "Bisa ganti topik?" "Iya oke, sekarang kamu maunya apa?" "Kembali ke Malaysia dan bekerja. Kembali pada aktivitas aku selama ini." "Bagaimana dengan Bunda?" "She will understand." Selama satu jam Louisa menelepon Delbert. Biasanya jika di Malaysia—meskipun mereka satu flat—ketika Delbert di restoran dan Loisa di flat, ia akan menelepon Louisa. Louisa melihat ponselnya, ada beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor asing. Alis Louisa mengerut. Ia tidak mengenal nomor ini, tetapi panggilan begitu banyak. Louisa memutuskan untuk mengirimkan pesan.   To : 08115enam782233 Siapa ya?   Baru semenit pesan itu terkirim tiba-tiba panggilan muncul dari ponsel Louisa. "Hallo.,” ucap Louisa. "Kamu di mana?" Louisa mengerutkan kening. "Siapa ya?" "Diego." Diego? Untuk apa dia menelepon? "Di rumah." "Minggu depan bisa bertemu?" "Untuk?" "Ada hal yang perlu saya bicarakan." "Masih ada yang perlu dibahas? Bukannya kita sudah tidak ada urusan?" "Bisa bertemu?" Uh! Laki-laki ini menyebalkan. Ia mengabaikan pertanyaan Louisa. "Minggu depan saya sudah kembali ke Malaysia." "Oke, hari ini kita bertemu. Bisa?" "Membicarakan masalah apa? Tidak bisa di telepon saja?" "Hanya sebentar. Di Starbucks ya. Jam enam sore." Louisa mematikan ponselnya dengan perasaan geram. Untuk apalagi sih Diego mengajaknya bertemu? Bukan Louisa tidak ingin atau malas bertemu, hanya saja ia lebih suka menolak dan tidak bertemu sementara waktu. Ini lebih baik untuk kesehatan jantung dan urusan move on yang masih belum berjalan dengan lancar. Jika bertemu terus, bagaimana bisa ia move on? ♥♥♥ Louisa masuk ke Starbucks tepat pukul enam sore. Ia melihat ke seluruh sudut kafe tempat laki-laki itu sudah menunggunya. Dari jam 5.15 Diego mengirimkan pesan jika ia sudah sampai di sini dan meminta Louisa cepat menemuinya. Ia melihat Diego yang duduk dengan kopi di mejanya, tangannya sibuk memainkan ponsel pintarnya. "Kenapa kamu minta saya ke sini ?” tanya Louisa setelah ia mendaratkan pantatnya di kursi. "Mau pesen minum?" Louisa menggeleng, "Langsung saja." "Saya mau kamu menikah dengan saya." Louisa melebarkan matanya dan menarik rambutnya yang berjuntai bebas ke belekang telinganya. "Apa?" "Saya yakin kamu denger tanpa harus saya ulang." "Kamu sakit? Bukannya kita sudah menolak pernikahan itu? Kamu nggak lupa, kan?" "Mami memaksa saya, sampai saya tidak ada pilihan lagi. Jadi bisa kamu membantu saya?” Louisa menutup mata sebelum menjawab pertanyaan Diego, "Saya tidak ingin menikah tanpa cinta. Kita punya tujuan yang berbeda. Pernikahan bagi saya tidak sesepele itu." "Saya tidak akan melarang kamu untuk beraktivitas. Kamu bebas, hanya saja status kamu adalah istri saya." Louisa tersenyum, "Menikah itu bukan seperti berkaca yang kamu temui hanya diri kamu sendiri. Menikah itu muka bertemu muka, kepala bertemu kepala. Menyatukan dua orang berbeda dengan satu tujuan. Lagipula menikah akan lebih baik tanpa ada paksaan. Kamu mengertikan?" "Kalau begitu saya butuh bantuan kamu untuk menikah dengan saya hanya untuk beberapa tahun." Louisa menatap laki-laki di hadapannya ini. Dingin. Ia kesal dengan segala yang ada di diri Diego, tetapi ia tidak bisa menyangkal jika ia masih mencintai laki-laki ini. "Kalau saya menolak?" "Saya yakin, kamu juga tidak mampu menolak permintaan Bunda kamu. Kamu mau buat Bunda kamu kecewa?" "Saya yakin, Bunda akan mengerti jika kita tidak bisa bersatu." "Kenapa kamu menolak saya dan tidak ingin membantu saya?" Diego meminum kopinya dengan perlahan. Ia tidak menyangka meyakinkan wanita ini untuk menikah dengannya bukan hal yang mudah. Sedangkan dulu, perempuan ini dengan tidak tau malunya selalu megganggunya. "Hmm, apa kamu sudah memiliki pacar?” tanya Diego lagi ketika tidak mendapat jawaban dari Louisa. "Punya atau tidak nggak ada hubungannya sama kamu. Jadi intinya kamu mau apa?" "Menawarkan pernikahan, bukannya sudah jelas?" "Lalu setelah menikah?" "Menjalankan kehidupan masing-masing seperti sebelum menikah." "Kehidupan saya ada di Malaysia, sedangkan kamu di Indonesia. Jadi?" Diego terdiam sebentar, ia juga menjadi ragu. Diego lupa jika Louisa tinggal di Malaysia. "Kamu bisa pindah ke Jakarta?" "Jika tidak?" ucap Louisa datar. "Saya benar-benar membutuhkan bantuan kamu. Kalau tidak saya akan dipindahkan ke Belanda atau Mami ngambek sama saya." "Kamu yakin mau menikah dengan benalu dan w************n? Bukannya lebih baik kamu tinggal di Belanda daripada menikah dengan saya?" "Saya minta maaf karena perlakuan dan sikap saya dulu. Saya tidak bermaksud seperti itu." Diego memang tidak bermaksud untuk menyakiti Louisa, hanya saja berada dekat Louisa membuat dirinya emosi dan ingin marah. Entah mengapa. "Biar saya pikirkan dulu. Jika sudah tidak ada yang dibicarakan lagi, saya permisi." Louisa pamit dan keluar dari kafe tanpa menunggu jawaban Diego. Jantungnya sudah mau berhenti berdetak. Bagaimana bisa ia menjawabi Diego dengan ketus seperti itu? Darimana ia mendapatkan keberanian semacam itu? Mengapa di saat ia ingin move on Diego datang dengan tawaran yang sedikit membuat hatinya gundah? Menikah dengan Diego berarti bisa memilikinya meskipun hanya sekedar status kan? Bukankah itu membuat keinginannya selama ini tercapai? Louisa menggelengkan kepala, ia tidak boleh berpikir tentang itu. Diego tidak mencintainya jadi untuk apa ia menerima pernikahan itu? Hanya untuk menolong? Pasti banyak wanita yang mampu menolong dan mau menjadi istrinya. Ya, Louisa harus fokus dengan keinginannya untuk move on. Harus! ♥♥♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD