Kartu ATM di Blokir

851 Words
Baru semalam Olivia berangan-angan jika sang ayah akan segera menghubunginya dan memohon-mohon agar mau kembali ke rumah. Tapi kenyataan yang ada justru sebaliknya. Kepala Olivia sampai terasa mau pecah, sebab dia tidak bisa membayar semua barang belanjaannya yang super banyak itu saat ini. Semua kartunya diblokir. Olivia juga tak mungkin menggunakan uang yang dia tarik semalam dari mesin ATM, sebab jumlahnya tak seberapa. Dia akhirnya keluar dengan tangan kosong serta rasa malu. Benar-benar dipikir orang gila baru yang mengaku-ngaku mampu membeli semuanya. Sialnya, justru dia ditertawakan. “Sialan sekali! Berani-beraninya mereka menertawakan aku!” kesal Olivia. “Dia tidak tau apa jika aku orang kaya?” Olivia semakin meradang, saat seorang pria menabraknya lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan maaf. “Dasar orang gila! Minta maaf saja tidak mampu!” teriak Olivia kesal. Dia sama sekali tidak melihat seperti apa rupa orang tersebut, sebab Olivia langsung melangkah pergi sambil terus marah-marah. Tidak peduli sedang diperhatikan banyak orang saat ini. “Sialan! Moodku benar-benar dibuat rusak hari ini.” Alfredo yang baru saja menerima panggilan telepon dari Ayah Olivia pun segera menoleh ke bangku belakang mobil. “Apa kau tau jika Ayah sudah memblokir semua kartuku? Aku tidak bisa membayar semua barang belanjaanku tadi. Semua orang menertawakan aku karena mereka pikir aku ini hanya orang halu dan mengaku-ngaku punya uang. Sialan kan? Bahkan gedung mall ini bisa saja aku beli! Bisa-bisanya mereka mempermalukan aku di depan orang banyak!” Olivia dengan sejuta gengsinya, dan amarah yang membumbung tinggi memang sudah menjadi kebiasaan. “Nona, ada hal yang jauh lebih penting yang harus Anda ketahui sekarang.” “Apa?” tanya Olivia. Dia juga tampak was-was, saat Alfredo terlihat sangat serius sekarang. “Barusan yang menelepon saya adalah tuan Jonshon.” “Ayah? Apa yang Ayah katakan padamu? Dia memintamu untuk membujukku pulang kan?” cerocosnya tidak mau berhenti. “Ah, sudah aku bilang kan semalam, jika Ayah pasti akan mohon-mohon padaku agar mau pulang.” “Bukan itu, Nona Oliv.” “Hah? Lalu apa?” “Tuan Jonshon tetap pada pendiriannya. Anda pergi dari rumah, maka semua fasilitas dan juga keuangan Anda ditarik. Bukan hanya itu saja, Tuan juga mengancam saya.” Olivia menaikkan sebelah alisnya dengan cepat. “Mengancam mu? Itu konyol. Bagaimana bisa Ayahku mengancam mu?” “Tuan Jonshon tau jika Anda berada di salah satu rumah saya. Beliau mengancam akan memecat saya dan menganggu keluarga saya jika masih membantu Anda dalam masalah ini.” Olivia sontak gelagapan mendengarnya. Jantungnya sudah berdebar bukan main. Bukan ini yang dia harapkan. “M-maksudnya bagaimana ini?” “Saya tidak bisa mengizinkan Anda untuk menempati rumah saya, Nona. Maaf sebelumnya. Karena saya hanya menjalankan perintah. Saya tidak bisa mengorbankan istri, anak dan juga pekerjaan saya karena masalah ini.” “Kau tega mengusirku? Lalu aku harus tinggal di mana, hah?!” “Apa lebih baik, Nona pulang saja dan—” “Menerima perjodohan itu?!” potong Olivia dengan cepat. “Sampai kapan pun juga aku tidak akan mau! Lebih baik begini.” “Jika itu pilihan Nona, maka harusnya Nona sudah paham apa konsekuensinya. Semua akses uang di blokir.” Olivia tetap pada pendiriannya. Dia tetap tidak mau pulang dan menerima perjodohan yang menurutnya sangatlah konyol. “Saya juga tidak bisa membantu Nona lebih jauh lagi. Sebab—” “Ayahku mengancammu, iya kan? Kau sudah memberitahuku tadi.” “Jadi, Nona tidak mau berubah pikiran? Sebelum terlambat.” “Kau lihat bagaimana ekspresi wajahku saat ini? Memangnya tidak cukup untuk memperjelas jika jawabanku tetap sama? Aku tidak akan pernah pulang jika Ayah masih menuntutku agar mau dijodohkan.” Demi Tuhan, Olivia benar-benar tidak mau dan memilih untuk tetap pada pendiriannya. Meskipun konsekuensi yang akan dia dapatkan ya hidup melarat. “Sebelum aku angkat kaki dari rumahmu itu, bisa kau bantu aku untuk mencari pekerjaan dulu? Aku tau kau punya koneksi teman yang bisa diperhitungkan.” “Akan saya bantu, Nona.” +++ “Kau sudah mengambil semuanya? Apa Ayah tau?” Alfredo menggeleng, dan tampak sekali ada raut kekecewaan yang terlihat di wajah Olivia. “Saya meminta bantuan pelayan untuk mengemas pakaian Anda yang cocok untuk digunakan bekerja di kantor. Sekaligus heels yang pantas digunakan untuk bekerja.” “Lalu, tas-tas branded milikku juga sudah? Atau apapun barang berhargaku sudah? Dan oh satu lagi, berkas-berkas penting milikku juga sudah semua kan?” Alfredo mengangguk dengan cepat, “sudah semuanya, Nona. Saya juga sudah menghubungi teman saya yang akan membantu Anda masuk ke perusahaan tempatnya bekerja.” Olivia mengangguk. Tidak ada pilihan lain selain mendapatkan pekerjaan melalui orang dalam. Mengingat dia tak pandai mencari pekerjaan. Membayangkan melamar pekerjaan saja dia tidak pernah sama sekali. Selama 25 tahun hidupnya tidak pernah kekurangan sama sekali. Selalu berfoya-foya setiap harinya. Makan, tidur, shopping dan clubbing. Begitu seterusnya sampai bosan. Tapi Olivia sama sekali tidak pernah bosan melakukannya. Dia memang sebegitu pintarnya memanfaatkan kekayaan orang tua. Dan sekarang, dia harus bekerja demi kelangsungan hidup. Ditambah lagi, Alfredo tidak akan berada di sampingnya sekarang. Dia benar-benar sendirian. “Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk Anda, Nona. Selebihnya, saya tidak bisa membantu Anda lagi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD