Pesawat Qantas Airlines, mendarat dengan mulus di Bandara Soekarno Hatta. Kami yang duduk di kelas bisnis dipersilahkan turun terlebih dahulu. Perempuan itu berjalan di depanku saat kami mengantri untuk men stempel paspor kami di imigrasi. Sebenarnya aku bisa memakai jalur khusus untuk mengecap paspor. Tapi ntah kenapa aku ingin melihat perempuan ini lebih lama. Jadi aku mengantri di belakangnya dan membiarkan Budi mengomel panjang lebar di belakangku
“ Boss. Lu lagi jatuh cinta ya?” Bisiknya di telingaku. Aku hanya memberi kode dengan telunjukku yang kuletakkan di bibir untuk menyuruhnya diam. Dan seperti dugaanku. Perempuan itu mulai nervous lagi ketika dua orang lagi sampai gilirannya untuk mencap paspor . Dia mulai menundukkan kepalanya dalam-dalam. Memegang ujung blazer hitamnya . Dan memutar-mutar gagang koper Rimowanya. Gayanya tidak lagi penuh percaya diri seperti tadi. Dia kembali gelisah dan salah tingkah. Ketika satu orang lagi tiba gilirannya. Saat dia berdiri menunggu di garis kuning.Dia menghela nafasnya dengan kencang dan desahan nafasnya itu terasa sangat berat. Dari belakang aku bisa melihat bahunya yang seperti berguncang menahan tangis. Lalu dengan gerakan yang panik dia membalikkan badannya dengan sangat cepat dan menghadapku lalu dia terkulai lemas di pelukanku. Ada apa dengan dia? Apakah dia ada melakukan kesalahan sehingga takut melewati imigrasi? Apakah paspornya palsu? Apakah visanya palsu? Budi dengan sigap berlari ke depan melindungiku dan aku mengangkat tanganku ketika semua petugas imigrasi berdiri bersiaga, takut terjadi hal-hal yang tidak dinginkan.
Aku memeluk bahunya dan menggendongnya memasuki ruangan interogasi. Aku memperlihatkan tanda pengenalku kepada kepala imigrasi dan dia memberi hormat. Petugas pada keheranan, mengapa wanita ini bisa tiba-tiba pingsan di pelukanku. Lalu aku menjelaskan kejadian di pesawat kepada kepala imigrasi dan mengatakan dari pengamatanku, mungkin wanita ini ada phobia terhadap orang -orang yang berseragam. Seperti dia mulai gemetar ketika melihat Budi dan gemetar, nervous dan salah tingkah ketika melihat petugas imigrasi yang berseragam biru-biru. Kepala Imigrasi memeriksa paspornya. Tidak ada yang mencurigakan dari paspor itu. Wanita ini telah berpergian hampir ke seluruh penjuru bumi. Tiap tahun dia pasti travelling dua atau tiga kali. Dari Asia sampai Eropah. Dari Amerika sampai Afrika baru kembali ke Australia sebagai tempat tinggalnya karena dia adalah pemegang paspor Australia. Tapi memang tidak ada kunjungannya ke Indonesia. Ini adalah kunjugan pertamanya ke Indonesia. Saat di cek di data imigrasi. Wanita ini merupakan pemegang visa kunjungan kerja dan yang menjadi sponsor visanya adalah Kementrian Hukum Republik Indonesia . Wanita ini adalah pengacara internasional. Hanya itu data yang bisa kami baca di aplikasi visanya. Mengapa Kementrian hukum bisa mengundangnya?
Wanita ini masih tetap pingsan. Dia tertidur dan pahaku dijadikan bantal kepalanya. Kaki panjangnya menutupi sofa 4 seater yang menjadi tempat duduk kami saat ini. Memang kondisi ini tidak lazim? Tetapi apa yang harus aku lakukan? Tadi dia terjatuh pingsan dipelukanku. Tidak mungkin aku tidak menolongnya. Aku hanya bisa diam dan memandangnya yang terlelap. Dari sudut matanya aku melihat ada air mata yang mengalir pelan. Tanpa sadar aku menghapusnya dengan jariku. Ada apa dengan kamu, Linda? Apa yang sebenarnya terjadi denganmu ? Mengapa kamu tidak nyaman dengan semua orang yang berseragam?Untung aku tadi tidak memakai baju dinas lengkap, kalau tidak, apa yang akan terjadi denganmu selama hampir tujuh jam penerbangan dari Sydney menuju Jakarta? Kamu akan duduk sederetan dengan dua pria yang memakai seragam lengkap.
Linda mengerjap-ngerjapkan matanya. Di mana aku sekarang? Mengapa aku bisa tidur di ruangan luas ini? Aku membuka pelan mataku. Dan segera menutupnya kembali. Mengapa laki-laki berwajah tampan dengan lesung pipi dan tatapan teduh menenangkan tadi bisa ada di sampingku? Mengapa aku bisa tidur di pangkuannya? Apa yang telah terjadi? Supaya tidak canggung, aku kembali menutup mataku dan mencoba mengingat kejadiannya. Laki-laki yang sekarang pahanya kujadikan bantal ini, bernama Lim Han Min begitu katanya ketika dia mengenalkan diri padaku. Orang Indonesia yang tetap memakai nama chinesenya tanpa merubahnya menjadi nama berbau Indonesia sungguh sangat jarang. Tadi dia bersedia bertukar tempat duduk dengan temannya yang memakai seragam kepolisian Republik Indonesia. Melihat yang duduk di sampingku adalah lelaki berseragam membuat hatiku berdebar kencang, aku seperti ingin muntah, badanku gemetar, keringat dingin bercucuran di kening dan telapak tanganku. Air mata tanpa sadar turun dari sudut mataku. Aku tidak tahu mengapa semua itu bisa terjadi? Aku tidak tahu mengapa semua kejadian kelam masa laluku muncul tanpa bisa kucegah? Padahal selama dua puluh tahun ini aku sudah berhasil melupakannya meskipun dengan bantuan beribu-ribu sessi terapi bersama psikiaterku dr.Meyer. Mengapa kejadian yang membuat aku kehilangan ibu, adik dan ayahku, kejadian yang membuatku terpaksa meninggalkan Indonesia bisa kembali lagi begitu jelas dalam ingatanku ketika aku memandang laki-laki berkumis tipis, berkulit sawo matang dan berseragam lengkap bertuliskan Kepolisian Republik Indonesia yang akan duduk di sampingku selama penerbangan ini.
Aku sungguh tidak bisa menerimanya. Badanku seolah memberontak. Aku sudah mencoba mengganti tempat dudukku dengan meminta pada pramugari, tapi tidak diizinkan karena semua kursi kelas bisnis ini sudah penuh. Setelah beberapa kali menghapus air mata yang turun tanpa kusadari, lelaki berwajah oriental yang sekarang pahanya kutiduri menawarkanku untuk pindah tempat duduk ke kursinya, aku langsung tanpa malu lagi memintanya untuk duduk di sampingku. Aku bukan masalah dengan tempat dudukku. Aku memang dalam setiap penerbanganku selalu memilih kursi di samping jendela karena aku suka melihat pemandangan awan-awan putih yang bergelung-gelung seperti kapas yang terbang ke langit. Awan-awan itu terlihat bebas dan begitu indah berterbangan di langit cerah tanpa batas. Lelaki itu bersedia, dia lalu pindah duduk di sampingku Dan hatikupun kembali tenang. Tidak lagi gelisah, tidak lagi berdebar tanpa henti. Keringat dingin juga lenyap, air mataku juga berhenti mengalir. Lelaki ini sedang bertugas sepertinya, tetapi aku tidak tahu dia bertugas sebagai apa karena dia menolak wine yang ditawarkan pramugari. Mungkinkah dia bertugas juga sebagai polisi seperti temannya itu? Rasanya tidak mungkin. Jarang ada warga negara keturunan china yang tinggal di Indonesia yang mau menjadi polisi. Pada zaman remajaku dulu, kebanyakan orang Chinese Indonesia jadi pedagang seperti papaku atau kerja kantoran di bank atau perusahaan-perusahaan perdagangan, tidak ada yang duduk di pemerintahan apalagi di kepolisian.
Hatiku tetap tenang sampai aku mengantri di imigrasi dan melihat sederetan petugas imigrasi yang berseragam biru , kembali membuat hatiku berdebar tidak karuan dan ketika aku berdiri di garis batas tunggu berwarna kuning untuk mencap pasporku, nafasku seperti terhenti. Aku tidak bisa bernafas . Aku langsung membalikan badanku dan mataku bertatapan dengan Lim Han Min lalu setelah itu gelap dan hanya ada gelap.
Aku harus bangun dan tidak boleh lagi pura-pura memejamkan mata seperti sekarang ini. Lalu aku membuka mataku dan mengangkat kepalaku dan mataku dan mata Han Min bertemu. Tangannya sedang menghapus air mataku yang jatuh di pipiku. Lalu ketika melihatku membuka mata. Han Min segera menarik tangannya dan aku juga langsung bangkit dari pahanya
“ Apa yang terjadi? Mengapa aku bisa tidur di sini?” Tanyaku kepadanya .
“ Kamu pingsan sebelum mencapai loket imigrasi”. Kata Han Min dan langsung berdiri dari tempat duduknya.
Seorang laki-laki berseragam biru masuk ke ruangan ini bersama seorang wanita berambut pendek memakai blazer kerja coklat muda.
“ Selamat sore Ibu Linda, saya dari Kementrian Hukum yang ditugaskan menjemput ibu . Tapi saya tunggu-tunggu, di terminal kedatangan, ibu tidak keluar, lalu saya menghubungi petugas imigrasi untuk menanyakan tentang apakah ada penumpang dari Sydney yang mendarat atas nama Linda Wijaya Smith dan akhirnya saya bisa ketemu ibu di sini.Ibu lagi kurang sehat? Tidak apa-apa kalau mau beristirahat dulu, di sini” Katanya ramah.
Linda yang badannya sudah mengerut ketika melihat laki-laki berseragam imigrasi, langsung berdiri dari sofa karena ingin segera meninggalkan ruangan ini, Linda benar-benar tidak nyaman berada satu ruangan dengan laki-laki berseragam itu.
“ Tidak apa-apa . Ayo kita segera pergi. Apakah paspor saya sudah distempel? Tanyaku
“ Kita bisa keluar lewat jalur diplomatic ibu, ayo biar kita sama-sama keluar”. Kata perempuan itu sigap
Aku memandang Han Min yang berdiri diam memperhatikanku. Lelaki ini sangat baik. Tidak sopan rasanya kalau aku langsung pergi setelah semua kebaikan yang dilakukannya terhadapku. Aku lalu berjalan menghampirinya yang berdiri tenang dekat pintu keluar.
“ Terimakasih Pak Han Min atas bantuannya. Maaf kalau saya sudah merepotkan anda”.
“ Tidak apa-apa Bu Linda. Senang bisa membantu anda. Aku harap anda baik-baik saja”. Kata Han Min sambil mengeluarkan kartu namanya. Melihatnya mengeluarkan kartu nama dan demi tata krama, aku juga mengeluarkan kartu namaku dan kami saling bertukar kartu nama. Aku mengambil kartu nama Han Min dan membacanya. Tercetak jelas dengan tinta warna emas lambang kepolisian Republik Indonesia dan logo Garuda Pancasila
Irjen Pol. Lim Han Min, MSc.
Kadiv Hubungan International Polri
Ternyata dia benar seorang polisi. Oh sungguh tak bisa kubayangkan. Aku menatap matanya dan dia mengangguk untuk meyakinkanku . Dia pasti tahu aku meragukan kalau dia seorang polisi yang mempunyai jabatan cukup tinggi. Dia membaca kartu namaku yang tertulis
Smith & Assosiates
Linda Wijaya Smith
International attorney
Aku mengulurkan tanganku sekali lagi untuk berjabatan dengannya . Dia menyambut uluran tanganku dan mengatakan dengan manis
“ Semoga bisa bertemu dengan anda kembali”
Aku mengangguk . Tapi dalam hati aku berkata. Semoga kita tidak bertemu kembali. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan diriku bila bertemu dia dengan seragam lengkap. Apakah aku akan tetap seperti hari ini. Sesampai di hotel nanti, aku akan langsung menelepon dr. Meyer untuk konsultasi. Aku sangat khawatir kedatanganku ke Indonesia bukan membuatku sembuh tapi malah memperparah sakitku.
Aku segera keluar dari ruangan kepala imigrasi mengikuti wanita berambut pendek yang menjemputku. Han Min mengikuti dari belakang. Temannya yang berpakaian seragam lengkap tampak menunggu kami di dekat pintu imigrasi diplomatic. Sepertinya Han Min memberi kode kepadanya untuk menyingkir menjauh dari pintu itu. Sehingga ketika aku sampai di depan pintu loket, dia langsung menyingkir dan berlari ke belakang Han Min. Aku memalingkan wajahku pada Han Min dan menunduk sambil tersenyum sebagai tanda terima kasihku. Dia juga menunduk dan mengangkat tangannnya tanda kita akan berpisah. Aku juga mengangkat tanganku dan berjalan mengikuti wanita dari kementrian hukum dan HAM yang menjemputku.
Aku yakin, ini pertemuanku yang terakhir dengannya. Tidak mungkin aku akan bertemu dia lagi. Selesai acara besok dengan kementrian hukum , aku akan segera kembali ke Sydney dan melupakan semua memori gelapku tentang negara ini. Sepertinya aku memang tidak bakalan sembuh lagi seperti yang diharapkan dr.Meyer kepadaku. Aku malah memperparah kondisi mentalku dengan berkunjung ke Indonesia. Dan aku menyesal sekarang. Penyesalan memang selalu datang terlambat!