Chap #3

1432 Words
“Kamu nggak apa-apa ‘kan pulang sendirian?” tanya Rina, ia harus bertemu pamannya. “Atau, mau aku telponkan Bara?” Bara merupakan tunangan Helena. “Nggak usah, lagian Bara nggak tahu aku hadir diacara ini.” Helena menggeleng. “Terus gimana donk, aku nggak bisa pulang bareng kamu.” “Nggak apa-apa, Rin, lagian kita juga nggak serumah.” “Tapi kita kan datangnya bareng,” “Aku bilang nggak apa-apa.” “Yang bener?” “Iya,” “Baiklah, aku pergi dulu ya, pamanku nelpon terus nih,” “Iya. Kamu cepetan pergi, kasihan pamanmu udah nungguin.” “Mau aku panggilin taksi?” “Nggak usah, Rin, aku kan bisa sendiri,” “Baiklah, aku pergi dulu ya, sampai ketemu besok.” Rina mencipika-cipiki sahabatnya dan berlari menuju mobil BMW berwarna hitam  yang sudha menjemputnya. Rina memang berasal dari keluarga berada. Namun tidak lantas membuat Rina menjadi sombong. Ia berteman dengan siapa saja, termaksud Helena. Sepeninggalan Rina, Helena menghela napas, lalu berjalan keluar dari gedung hotel, menuju ke jalan poros untuk mencari ojek. Ia bisa saja naik taksi, namun sayang uangnya jika harus digunakan. Helena merogoh tas bawaannya dan mengambil ponselnya, ia hendak memesan ojek online, namun suara klakson mobil terdengar menderu didepannya. Helena mendongak melihat Arsen tengah tersenyum. “Ayo naik,” ajak Arsen. “Tidak usah, Pak. Makasih.” Helena menolak dengan halus.             “Ayo naik saja.”             “Tidak usah, Pak, saya sudah memesan ojek online.” Helena masih menolak. Ia tidak ingin ada gosip di kantor jika ia naik ke mobil Arsen.             Suara klakson bersamaan terdengar dibelakang mobil Ferrari milik Arsen, membuat Helena menggeleng karena melihat kemacetan yang disebabkan oleh sang CEO. “Naik saja, Neng, jalanan jadi macet gini loh gagara Neng berantem sama pacarnya.” Pria parubaya membuat Helena menggeleng. “Dia bukan pacar saya, Pak.” “Ayo naik, makin macet loh ini.” Arsen masih memaksanya, membuat Helena tidak memiliki opsi lain selain naik ke mobil Ferarri milik atasannya itu. Arsen tersenyum karena merasa menang telah berhasil mengajak Helena pulang bersama meski ia harus memaksa. “Susah sekali ya, membujuk kamu.” Arsen menggeleng. “Bapak kenapa mau mengantarkan saya pulang?” Helena menoleh menatap atasannya itu. “Nggak tahu kenapa, tapi saya merasa pertemuaan kita karena telah ditakdirkan,” jawab Arsen. Helena hampir kehilangan napas ketika mendengar jawaban Arsen. “Saya minta maaf, Pak.” ucap Helena. “Minta maaf? Untuk apa?” Arsen menautkan alisnya. “Karena saya sudah mengatai Bapak mesum.” “Tidak usah memanggil dengan sebutan Bapak, panggil saja saya Arsen.” Helena menautkan alis karena merasa aneh mendengar hal itu. “Oh iya, jika saya memecatmu karena telah mengatai saya m***m, apa yang akan terjadi?” tanya Arsen, sejenak menoleh melihat Helena. “Saya akan memaksa Bapak untuk menerima saya kembali.” “Ha ha, tapi saya bukan tipe pria yang akan menerima seseorang kembali meski saya dipaksa.” “Jadi … Bapak benar mau memecat saya?” “Kamu memang tidak bisa diajak bercanda.” Arsen tertawa kecil. “Turunkan saya di sini saja, Pak. Saya ada urusan di sini.” Helena menunjuk bahu jalan. Arsen mengijak rem. “Rumahmu di sini?” “Bukan, Pak, rumah saya masih agak jauh dari sini, saya mau membeli sate untuk ponakan saya,” jawab Helena. “Baiklah. Saya akan menunggu kamu.” “Tidak perlu, Pak, saya bisa naik ojek online dari sini, Bapak pulang saja, ini sudah malam sekali.” Helena menolak. “Saya pria, pulang pagi hari pun tidak masalah, kamu wanita malah bahaya di sini sendirian, saya juga lihat di sini seperti kompleks kurang aman.” Arsen mengedarkan pandangan. “Tapi—“ “Kamu jangan terus menolak niat baik saya.” Arsen menggeleng. “Saya akan mengantarmu sampai di rumahmu.” “Baiklah. Tunggu di sini sebentar.” Helena mengangguk, lalu turun dari mobil, ia menganggap niat baik Arsen hanyalah sekedar bos kepada bawahannya. Sampainya di rumah, Helena turun dari mobil dan menundukkan kepala. “Terima kasih sudah memberikan saya tumpangan, Pak. Dan … ini jasnya.” Helena hendak mengembalikan jas milik atasannya. “Kamu pakai saja dulu, kamu tidak mungkin memperlihatkan pahamu didepan saya,.” Arsen menggeleng. Helena mengangguk membenarkan. “Baiklah, Pak, saya akan mengembalikannya lain kali.” “Saya pulang dulu.” Arsen melajukan mobil ferrari miliknya meninggalkan Helena yang kini tengah menatap kepergiannya. Arsen tertawa kecil mendengar Helena berubah santun, mengingat pertemuan pertama tidak mengenakkan. Arsen menganggap Helena lucu dan menggemaskan, dia berbeda dari wanita diluar sana. Helena merasa sejak tadi jantungnya berdetak kencang, orang kantor pasti tidak akan percaya apa yang Helena alami. Helena masuk ke rumah dan melihat Bara tengah menunggunya. Radil terlihat tengah menyuguhkan secangkir teh. “Bara?” “Ucap salam dulu donk.” Bara menggeleng. “Lupa. Assalamualaikum,” “Wa’alaikumsalam,” jawab Bara. “Kenapa pulang larut malam begini?” “Aku dari acara kantor dalam rangka menyambut CEO baru.” “Radil bilang kok kamu kemana.” “Terus, ngapain kemari kalau sudah larut malam? Radil kan harus sekolah besok.” “Aku hanya khawatir.” “Aku nggak apa-apa kok, kamu nggak perlu khawatir.” “Tante mau teh juga?” tanya Radil, memotong perbincangan tantenya. “Nggah usah! Ini sate pesananmu dan makan di dapur, ya. Kamu harus sekolah besok, jangan sampai telat bangunnya.” “Iya, Tante. Terima kasih.” Radil mengambil kresek dari tangan tantenya. Sepeninggalan Radil, Helena duduk dihadapan Bara. “Kamu udah makan?” “Hem … udah. Kamu bagaimana?” Helena balik bertanya. “Aku baru mau mengajakmu makan malam, tapi ku telpon nggak diangkat,” jawab Bara. Bara seorang anak pedagang kecil yang juga susah untuk mencari sesuap nasi, pekerjaannya menjaga toko kedua orangtuanya. “Aku siapkan makan, mau?” Bara menggeleng. “Nggak usah. Sudah malam sekali, laparku sudah hilang.” “Baiklah.” “Kita cari rumah pekan ini.” “Katanya kamu udah dapat rumahnya, nggak jadi lagi?” tanya Helena. “Iya. Rumah itu terlalu mahal.” “Terus kalau nggak dapat pekan ini? Kita nunda pernikahan kita lagi?” Bara mengangguk. “Terpaksa.” “Kamu mau mengubahnya lagi? Sampai kapan kamu akan terus mengubahnya seenakmu?” Helena mencoba menahan emosinya saat ini, calon suaminya ini memang terlalu hemat seperti wanita pada umumnya. “Sayang, kita harus memikirkan bagaimana kita akan melangkah.” Bara mencoba meminta pengertian Helena. “Jika kita terus memikirkan bagaimana kita akan melangkah, kapan pernikahan kita akan terjadi? Kamu menundanya sudah lima bulan loh. Kamu nggak sadar?” Helena berusaha keras menahan rasa sakitnya. “Sayang—“ “Cukup! Aku nggak butuh penjelasanmu, entah penjelasan apa kali ini yang akan kamu katakan. Aku sudah berusaha berhemat demi biaya pernikahan kita, sedangkan kamu tahu apa saja beban hidupku. Kamu paling tahu dari oranglain karena kita sudah bersama selama empat tahun. Sama saja hanya aku yang berjuang sedangkan kamu tidak, selalu saja mengubah rencana pernikahan kita semaumu.” Helena mengatakan seluruh isi hatinya tanpa jeda. “Sayang, aku tahu selama ini kita sudah berhemat, tapi kita nggak boleh melangkah dengan terpaksa, aku nggak bisa membawamu ke rumah kontrakkan, aku ingin tinggal di rumah yang sudah kita beli bersama. Pasti kita akan lebih bahagia tanpa memikirkan sewa bulanannya.” “Tapi, sampai kapan? Aku sudah menahan diriku untuk tidak makan makanan mewah, aku setiap malam harus memakan mie cup agar bisa makan, tapi kamu mengubahnya dan menyuruhku kembali menunggu?” Helena menghela napas. “La, dengarkan aku, pernikahan kita pasti akan terjadi, aku mengubahnya karena tabungan kita belum cukup, kamu pasti melihatnya, kan? Ke jenjang pernikahan itu kita bukan hanya harus siap mental, tapi siap dananya.” “Aku mau kok menikah di KUA.” “Aku akan memberikan pernikahan yang bahagia untuk kamu, bukan di KUA.” “Sekarang jawab aku! Sampai kapan aku harus menunggumu menyiapkan segalanya? Sampai kapan aku selalu mengalah terhadapmu?” tanya Helena, dengan mata berbinar. “Sampai tabungan kita cukup.” “Jika tidak cukup juga?” “Pasti akan cukup, kita berdua kan kerja,” jawab Bara. “Baiklah. Aku akan menunggumu kali ini, tapi jika kamu mengubahnya lagi, aku akan mengakhiri hubungan kita dan nggak akan ada pernikahan yang terjadi.” Helena mengancam. “Aku janji, Sayang. Kamu nggak marah lagi, ‘kan?” “Nggak.” “Senyum donk.” Helena memberikan senyum terpaksa kepada Bara, pria yang selama ini menabung bersamanya demi biaya pernikahan dan hidup mereka kedepannya, Bara memang selalu memikirkan hal yang jauh sebelum itu terjadi, Bara hanya ingin bahagia tanpa harus ada beban sewa bulanan jika mereka mengontrak rumah setelah menikah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD