“Aku tunggu kamu dirumah, hari ini rumah terasa sangat sepi saya butuh teman.”
Kana menggaruk kepalanya tak gatal dengan keras. Ia merasa bingung dengan permintaan Elena untuk datang kerumahnya, sedangkan Jiyo pernah berkata kalau ia tak perlu mengikuti keinginan Elena dengan sering - sering datang kerumahnya.
Dengan ragu Kana menghubungi Karina, karena menurutnya hanya perempuan itu yang bisa membantunya untuk membuat keputusan karena Karina sudah lebih dulu mengenal kondisi keluarga Jiyo.
“Mbak, aku disuruh kerumah sama bu Elena, aku gak enak sama pak Jiyo mbak … dia pernah melarang aku untuk datang kalau bukan urusan pekerjaan,” keluh Kana mengirimkan pesan pada Karina.
Dalam hitungan detik, handphone Kana berdering nyaring dan membuat Kana hampir melompat karena kaget. Nama Karina muncul di layar handphone Kana.
“Kamu lihat apa?” tanya Karina tanpa mengucapkan salam.
“Lihat apa maksud mbak?”
“Kamu pasti lihat sesuatu yang seharusnya gak kamu lihat kannnn…,” goda Karina dari ujung sana.
“Mbak, aku tuh lagi bingung, jangan diajak gosip dulu! Bu Elena menunggu jawabanku!” rengek Kana karena Karina tak membantunya mendapatkan solusi.
“Gitu aja kok bingung. Ya udah, bilang aja terus terang sama bu Elena kalau kamu sudah diberitahu pak Jiyo gak perlu datang kesana kalau gak ada urusan pekerjaan dengan pak Jiyo. Simple as that. “
“Tapi kalau bu Elena marah?”
“Kana… aku juga pernah mengalami apa yang kamu alami … Mbak Mirna PA nya pak Jiyo sebelum kamu juga sama. Tapi bu Elena walau pemabuk begitu, dia sangat logis. Jika kamu bicara dengan tepat, dia gak akan ganggu kamu kok … “
Kana hanya bisa diam mendengar penjelasan Karina. Tak lama kemudian, Kana menyelesaikan komunikasinya dengan Karina lalu segera mengirimkan pesan pada Elena untuk menjelaskan kondisinya.
Kana sampai menjerit sendiri, setelah ia mengirimkan pesan penolakan pada Elena, tiba-tiba perempuan itu menghubunginya.
“I.. iya bu…,” ucap Kana sedikit takut ketika Elena menyapa terlebih dahulu.
“Kamu gak usah takut sama Jiyo, saya sudah bilang sama dia untuk gak larang-larang kamu untuk datang. Cepat ya, berangkat sekarang.”
Klik. Komunikasi itu pun terputus dan membuat Kana sesak seolah lupa bernafas. Ia merasa panik dan segera mengganti pakaiannya.
Dalam waktu 15 menit, Kana sudah sampai di depan rumah keluarga besar Jiyo. Ia segera merapikan pakaiannya dan menyemprot sedikit parfum agar tercium lebih segar.
“Kamu sudah datang?” sambut Elena riang dan dibalas dengan anggukan perlahan dari Kana.
Kali ini Elena tampak berbeda, ia mengenakan pakaian longgar dengan celemek yang penuh cat. Sepertinya ia tengah melukis.
“Ayo kesini Kana, aku sedang melukis…,” ucap Elena sambil berjalan menuju taman belakang di area rumahnya dan terlihat sebuah kanvas dengan cat basah yang telah memenuhi seluruh ruang dengan lukisan bunga.
“Aku sangat suka melukis bunga… untukku seluruh bunga yang kulihat tampak cantik dengan warna warni alami yang indah,” ucap Elena sambil meneruskan melukis sambil berbicara sendiri seolah sudah tahu kemana arah pikiran Kana.
Kana yang masih canggung hanya bisa menurut saat Elena menyuruhnya duduk di ayunan rotan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Kenapa? Rumahku tampak sepi bukan? Bahkan tak terdengar suara langkah asisten rumah tangga disini.”
Kana segera menundukan kepalanya karena merasa Elena bisa membaca pikirannya.
“Kamu tahu, suamiku yang pernah kamu pergoki itu juga sudah jarang sekali pulang. Ia lebih senang bersama selingkuhannya yang bisa membuatnya lebih bahagia daripada aku istri sahnya. Setiap hari aku selalu bertanya apa yang kurang dariku, aku selalu membelanya dan memohon cinta padanya, tetapi ternyata ia memang tidak cinta … cinta itu tak pernah ada untukku…” ucap Elena berbicara sendiri dengan santai seolah hal yang ia ceritakan itu adalah hal yang biasa.
“Sebagai manusia biasa aku juga butuh perhatian Kana, tak hanya Fabian yang mabuk cinta dengan perempuan lain. Aku pun begitu … tapi aku tak mabuk cinta dengan hanya satu laki-laki. Aku memiliki banyak pria yang bisa membuatku senang … termasuk Dom.”
Kana menatap sedih pada Elena, perempuan itu bercerita begitu tenang dan santai tanpa ekspresi. Tapi Kana sadar itu adalah ekspresi tersedih seorang perempuan yang sudah merasa tak dicintai.
“Kenapa tidak bercerai saja bu?” celetuk Kana spontan dengan suara pelan.
“Kalau kami bercerai, permainan ini selesai … aku masih senang membuatnya tersiksa dan melihatnya seolah tengah berjuang mendapatkan cinta sejatinya. Aku bukan wanita baik Kana… jadi aku masih ingin menikmati sikapku yang membuat Fabian tersiksa…”
Kana hanya diam. Ia ingin sekali berkomentar tetapi urung dilakukannya karena ia pernah mengalami hal yang sama ketika bersama Mahesa. Betapa inginnya Kana bersikap jahat pada Mahesa saat dulu, tetapi ia terlalu cinta dan memikirkan anak di dalam kandungan Wina. Ia tak mampu melakukannya.
“Akh, aku bosan! Ayo kita makan!” ucap Elena sambil meletakan kuas ke dalam gelas dan segera berdiri lalu membuka celemeknya.
Kana segera berdiri dan berjalan linglung mengikuti langkah Elena. Rumah besar itu terasa terang dan indah tapi terasa sangat sepi. Elena sibuk berdendang sendiri sambil berjalan menuju ruang makan.
Sudah tersaji banyak makanan diatas meja, padahal dirumah itu ia hanya sendirian.
“Ayooo kita makan… saatnya brunchhh….” celoteh Elena sambil duduk dimeja makan.
“Ayo duduk, Kana. Duduk sini… kamu harus coba roti ini … enak sekali…” ucap Elena sambil menyuruh Kana mendekat.
Kana pun mendekat dan duduk disamping Elena dan membiarkan Elena memberikan makanan apapun untuk Kana.
Kana merasa kehadirannya seolah bagai boneka hidup untuk Elena, tetapi Kana bertanya-tanya mengapa Elena memilihnya untuk menemaninya seperti ini.
Setelah makan, Elena kembali melakukan hal kesukaannya saat ini. Menyuruh Kana bergonta ganti pakaian dan mendadaninya dari rambut sampai Kaki.
“Cantik! Kamu cocok sekali pakai dress pendek seperti ini! Kamu ternyata memiliki kaki yang jenjang dan indah…”
“Ibu … pakaian ini terlalu pendek…” ucap Kana lirih melihat pahanya terlihat karena dress itu hanya sebatas di atas lutut.
“Ck! Percaya padaku, kamu bagus mengenakan ini … “ tiba-tiba Elena terdiam dan mengendus-endus tubuh Kana membuat gadis itu merasa tak percaya diri.
“Aroma parfummu gak enak! Terlalu banyak meninggalkan sisa alkohol! Sebentar aku carikan parfum yang cocok buat kamu,” gumam Elena sambil meninggalkan Kana sendirian.
Gadis itu segera menciumi dirinya sendiri dan mencari sumber bau di tubuhnya. Tapi tak ada, yang tersisa memang hanya semilir aroma parfum biasa miliknya.
Elena kembali membawa sebotol parfum dan menyemprotnya sedikit di pergelangan tangan dan leher Kana. Aroma Vanilla, Almond dan Musk tercium jadi satu membuat Kana terlena sendiri karena aromanya yang enak.
“Bawa parfum ini, wanginya cocok sama kamu … manis dan lembut…” ucap Elena sambil meletakan sebotol parfum mahal itu di tangan Kana.
Kali ini Kana tak dapat menolaknya, spontan ia menggenggam erat parfum itu seolah tak akan melepaskannya kembali jika Elena memintanya.
Tiba-tiba salah satu asisten rumah tangga Elena datang keruangan dimana Kana dan Elena berada.
“Bu, dicariin pak Ken… katanya ada Oma dan diajak makan siang bersama…”
“Bilang sama dia … jangan ganggu aku! Aku sedang sibuk!” jawab Elena santai setengah berteriak seolah agar terdengar sampai rumah sebelah sambil memilihkan Kana high heels.
Tiba-tiba handphone Elena berdering dan muncul nama sang Kakak di layarnya.
“Sini!” panggil Ken ketika Elena mengangkatnya keras sampai terdengar oleh Kana.
Jantung Kana berdegup tak karuan, ia seolah takut akan melihat drama keluarga yang lain dirumah itu.
“Ayo Kana, ikut!” ajak Elena menoleh pada Kana cepat.
“Sa… sa… saya ditunggu disini aja bu … gak enak sama pak Ken… “ ucap Kana cemas, apalagi ia tengah mengenakan pakaian milik Elena dari ujung rambut sampai ujung kepala. Ia takut keluarga Jiyo berpikir macam-macam padanya.
“Ck! Sini!” panggil Elena tak ingin dibantah.
Dengan cemas dan mulut komat-kamit penuh doa Kana mengikuti langkah Elena dari belakang menuju rumah utama.
Ternyata diruang makan sudah banyak orang, ada Ken dan Grace orang tua Jiyo juga Jiyo dan dua orang temannya serta Oma diatas kursi roda yang kemarin Kana antar saat pesta.
Wajah Jiyo terlihat sangat terkejut melihat kehadiran Kana, sedangkan gadis itu hanya bisa menundukan kepala dan mencoba menarik-narik dressnya yang pendek berharap menjadi lebih panjang saat itu.
“Kamu disini?!” tanya Jiyo cepat dan hanya mendapat anggukan lemah dari Kana.
“Siapa dia?” tanya Grace pada anak laki-lakinya.
“PA ku, Ma.”
“Tapi kalau Weekend ia akan menjadi PA ku!” ucap Elena sambil berjalan dan duduk diantara mereka tak mempedulikan Kana yang masih berdiri canggung.
“Siapa namamu?” tanya Ken pada Kana.
“Saya Kana pak … asistennya pak Jiyo… “ jawab gadis itu perlahan.
“Kamu … sini … Oma mau disuapin…” ucap Oma saat melihat Kana seolah mengenalinya dan memanggilnya perlahan sambil melambaikan tangan.
“Jangan dong Oma… Sri … panggilkan Kusmiati, suruh dia suapin Oma …” ucap Grace cepat pada asisten rumah tangganya.
“Gak apa- apa bu … biar saja saja … “ ucap Kana spontan dan segera mendekati Oma dan memotongkan lauk dan dicampur dengan nasi.
“Pelan ya… “ pinta Oma.
“Iya Oma …” jawab Kana pelan.
Tak ada yang tahu, bahwa ini bukan pertama kalinya Kana menyuapi Oma. Saat pesta ulang tahun pak Ken, tak ada yang terlalu peduli pada kehadiran Oma, sehingga wanita tua itu hanya duduk sendirian dan hanya disapa basa-basi oleh orang-orang.
Kana menemaninya sampai acara dimulai, bahkan ia sempat menyuapi Oma karena merasa kasihan melihat Oma yang sebenarnya sudah lapar tetapi belum ada yang menawarkannya makan.
Melihat Kana setengah berjongkok dengan dress pendek dan high heels, membuat Jiyo menghampiri Kana dan membawakan kursi untuknya agar bisa duduk didekat Oma.
“Duduk sini,” suruh Jiyo, Kana mengucapkan terimakasih dan duduk perlahan untuk menemani Oma makan.
Kana merasa gugup ketika Jiyo memutuskan untuk duduk disampingnya, bahkan ia mengambil serbet makan dan menutupi paha Kana yang terlihat.
Suasana di meja makan itu pun kembali ramai. Kana hanya bisa menyibukan diri dengan mengajak Oma ngobrol dan menyuapinya perlahan, sedangkan yang lain kini seolah tak menyadari kehadirannya.
Kana hanya bisa pura-pura menjatuhkan sesuatu agar tak terlihat di kamera ketika Jiyo dan keluarganya mengambil foto bersama untuk diposting di sosial media mereka masing -masing.
Bahkan mereka seperti tak menyadari ketika Oma ingin kembali ke kamar dan minta diantar oleh Kana. Kesempatan itu Kana gunakan untuk bisa menyingkir dari ruang makan agar ia bisa bernafas lega.
“Biar saya saja mbak yang antar Oma kekamar,” ucap Kusmiati sang perawat ketika melihat Kana dan Oma keluar dari ruang makan.
Kana hanya bisa mengangguk dan membiarkan Kusmiati mengambil alih kursi roda Oma. Kini Kana kembali berdiri canggung tak tahu harus kemana. Ia memutuskan untuk duduk disalah bangku diruang keluarga untuk menunggu Elena keluar.
Rasanya Kana ingin menangis, di situasi seperti ini ia tak tahu harus bersikap apa. Ia merasa canggung sekali.
Setelah menunggu sekian lama, akhirnya makan siang keluarga itu selesai. Kana segera berdiri ketika Jiyo menghampiri dirinya.
“Tante Elena sudah kembali kerumahnya …,” ucap Jiyo sambil memasukan tangannya ke dalam saku celana.
Kana hanya mengangguk lalu pamit untuk kembali kerumah Elena. Tapi langkahnya terhenti ketika Jiyo menatapnya dalam seolah meminta penjelasan.
“Maaf ya pak … saya melanggar perintah bapak .. soalnya bu Elena memaksa, saya jadi sungkan kalau menolak datang…,” ucap Kana pelan takut dimarahi Jiyo.
“Besok-besok kalau dia rewel seperti ini lagi, kamu harus kasih tahu saya juga … saya tak ingin orang lain berpikiran macam-macam soal kamu dan saya!”
“Baik pak …” jawab Kana pelan sambil menundukan kepalanya dalam.
Kana menahan nafasnya ketika Jiyo berjalan mendekatinya dan wajahnya didekatkan ke leher Kana seolah ingin mengendus sesuatu.
“Wangi ini cocok buat kamu … kamu tanya gih, merknya apa? Nanti kalau kamu ulang tahun saya belikan satu buat kamu,” ucap Jiyo lembut membuat jantung Kana rasanya mau copot karena suara atasannya terdengar mesra.
Kana hanya diam dan merapatkan kedua tangannya di d**a saking gugupnya sebelum Jiyo akhirnya meninggalkan Kana sendirian di ruangan itu untuk pergi bersama teman-temannya.
Tanpa menunggu waktu lama, Kana segera kembali kerumah Elena dan melihat perempuan itu tengah duduk melamun sambil memainkan gelas yang berisi wine. Wajahnya terlihat murung dan sedih.
“Ibu, saya mau ganti baju dulu … saya ijin pulang ya bu … sudah menjelang sore …” pamit Kana dengan suara pelan.
Elena hanya menoleh dan menganggukan kepalanya perlahan lalu meneguk kembali Wine yang ada ditangannya.
“Bawa saja bajunya ….” ucap Elena sambil memijat mijat sendiri kepalanya.
Tapi Kana memutuskan untuk tidak membawanya dan membiarkan pakaian itu tergerai rapi diatas ranjang kamar tamu.
Saat Kana keluar dari kamar, Elena sudah tak berada ditempatnya lagi, tetapi seorang asisten rumah tangga datang menghampiri Kana dan memberikan sebuah paper bag kecil padanya.
“Kata ibu ini oleh-oleh buat mbak Kana.”
Kana pun mengucapkan terimakasih dan segera memesan kendaraan online untuk pulang. Alangkah terkejutnya Kana saat membuka paper bag kecil pemberian Elena. Ia memberikan sebuah scarf brand ternama dan juga ada amplop dengan segepok uang bertuliskan “ongkos taksi”.
Kana hanya bisa menatap hadiah itu sambil jongkok di lantai kost-annya. Mencoba mencerna apa yang ia rasa saat ini. Haruskah ia senang bisa mendapatkan barang-barang ini dengan mudah hanya dengan menjadi boneka Elena atau ia harus menolaknya karena tahu maksud Elena hanya untuk membuatnya diam dengan apa yang terjadi.
***
Hera merapikan lipstiknya sesaat sebelum ia keluar dari pintu apartemen untuk menunggu di jemput Jiyo yang malam ini mengajaknya hangout bersama teman-teman Jiyo yang lain.
Ini bukan pertama kalinya Jiyo pergi menghabiskan malam bersama Hera. Tentu saja Hera senang bukan kepalang tetapi ia merasa belum puas karena Jiyo masih senang menghabiskan waktu bersama-sama dengan teman yang lain. Sedangkan Hera sudah ingin mereka hanya pergi berdua saja dan menghabiskan waktu dengan bermesraan.
Hera menatap wajah dan tubuhnya di cermin seolah memastikan bahwa ia sudah tampil cantik dan maksimal agar ia pantas berada disamping Jiyo. Hera menyadari, tak hanya dirinya yang ingin bersama Jiyo tetapi ada beberapa teman wanita Jiyo juga yang terlihat menyimpan rasa pada pria itu. Ia masih merasa saingannya masih banyak selama Jiyo belum mengutarakan perasaanya pada Hera.
“Aku sebentar lagi sampai,” tulisan pesan yang dikirim Jiyo pada Hera.
Hera pun segera menyambar tasnya dan turun ke lobby apartemen dan menunggu Jiyo sambil scrolling sosial media.
Matanya terhenti saat melihat story di i********: Jiyo siang tadi. Pria itu tengah berfoto bersama keluarganya dan membuat jantung Hera berdegup kencang ketika melihat sebuah wajah yang menoleh kearah yang lain tetapi terlihat begitu jelas duduk disamping Jiyo. Kana.
Ada sedikit rasa tak enak yang muncul dihati Hera ketika melihat Kana berada disana bersama orang tua Jiyo dan ia bertanya-tanya apa yang dilakukan Kana disaat akhir pekan di rumah bosnya. Seharusnya gadis itu tak ada disana dan duduk berdekatan dengan kekasih hatinya.
Bersambung.