Bab 12. Jangan beri perhatian lebih padaku
Kana berjalan lambat memasuki kantornya. Sudah 4 hari ini ia tidak bekerja dan di hari ke 5 ia memaksakan diri untuk masuk karena tak enak sudah tak masuk begitu lama walau tubuhnya masih lemas dan lemah.
“Kana! Kamu sudah masuk?! Mukanya masih pucat begitu!” pekik Kekeu saat berpapasan dengan Kana di lift.
“Aku gak enak kalau kelamaan gak masuk,” sungut Kana pada teman kantornya sambil meletakan kepalanya yang masih pusing di bahu Kekeu.
“Sini aku antar sampai lantai 9, sakit- sakit begini bawaan kamu kok banyak banget?!” ucap Kekeu sambil mengambil beberapa bawaan milik Kana.
Kana hanya bisa merangkul lengan temannya ini penuh perasaan senang karena merasa diperhatikan.
“Sudah ya, aku kembali ke alamku di lantai 8, ternyata kalau jam segini bos- bos ganteng itu belum pada datang ya?” tanya Kekeu sambil celingak celinguk dari balik pintu mengintip ke arah koridor ruangan -ruangan direksi berada.
“Sudah sana, jangan bikin gosip!” usir Kana sambil meletakan kepalanya diatas bantal boneka miliknya di atas meja.
Saat Kekeu pergi, Kana baru menyadari bahwa laptopnya sudah diculik selama beberapa hari oleh Jiyo. Ia merasa bersyukur selama ini laptopnya benar-benar ia gunakan untuk bekerja selain menonton film di apps online. Sehingga siapapun yang menggunakan laptopnya tak akan menemukan rahasia selain pekerjaan.
Kana segera bangkit dan berjalan dengan lemas menuju ruang Jiyo. Biasanya jam segini Jiyo belum datang ke kantor.
“Kana, kamu sudah sehat?” sapaan seseorang ketika Kana membuka pintu ruangan Jiyo membuat Kana menoleh kebelakang dan melihat Mahesa tengah berdiri didepan pintu ruangannya yang tepat berseberangan dengan ruangan Jiyo.
Tiba-tiba Mahesa membuka lebar pintu ruangan kerjanya dan menyuruh Kana untuk masuk dengan memberi kode dengan ayunan kepalanya.
“Kita belum sempat ngobrol sejak aku dipindahkan ketempat ini, semoga kamu masih berkenan untuk masuk dan berbicara denganku. Kita harus bicara Kana,” ucap Mahesa dengan suara lembut dan menatap Kana dalam.
Kana hanya diam tetapi ia tak menolak ketika Mahesa menarik tangannya perlahan dan menggiringnya masuk ke dalam ruangan kerjanya.
“Tubuhmu masih terasa hangat, kenapa memaksakan masuk?” tanya Mahesa sembari membuatkan Kana segelas teh panas.
Sedangkan Kana masih diam dan berdiri mematung dengan perasaan segan.
“Kanaa… aku gak suka kamu bersikap seperti ini!” keluh Mahesa melihat Kana memilih untuk berdiri mematung dari pada duduk disofa.
Pria itu segera menarik tubuhnya perlahan dan mengajaknya untuk duduk.
“Mas… aku gak bisa…” ucap Kana gelisah ketika ia menyadari bahwa ia duduk di sofa yang sama dan berada begitu dekat dengan Mahesa.
“Stt, … tenang… aku hanya ingin mengajakmu berbincang … jangan pergi … “ cegah Mahesa menahan tubuh Kana yang lemah untuk berdiri dan akhirnya tubuh itu kembali duduk disisinya.
“Aku senang kamu masih disini,” ucap Mahesa sambil menyodorkan teh panas itu pada Kana.
Kana hanya diam, dulu ia pura-pura tak tahu bahwa ia diterima di kantor ini melalui Mahesa karena ia sangat butuh pekerjaan.
“Apa mas Mahesa juga yang merekomendasikan aku untuk menjadi asisten pak Jiyo?” tanya Kana mencoba menebak mengapa ia bisa berada di posisinya sekarang.
Mahesa pun mengangguk perlahan.
“Maafkan aku, mungkin kamu tak suka tetapi aku hanya ingin membantumu…” jawab Mahesa jujur.
Kana hanya diam dan sedikit membungkukkan tubuhnya.
“Kana … kamu marah?”
Kana menggelengkan kepalanya.
“Bagaimana aku bisa marah? Aku butuh pekerjaan ini dan menjadi asisten pak Jiyo membuat gajiku naik hampir 2 kali lipat. Kali ini aku bisa sedikit bernafas dengan keuanganku,” jawab Kana jujur.
“Kana, 6 bulan lagi akan ada evaluasi kerja … nanti aku akan bantu kamu untuk bisa mendapatkan jenjang karir dan gaji yang lebih baik lagi …”
“Jangan Mas! Aku tak sehebat itu! Jangan membantuku seperti itu! Untuk bekerja menjadi PA pak Jiyo saja rasanya aku masih kalang kabut! Aku gak mau bekerja dan mendapatkan hasil besar tapi aku tak pantas untuk itu!”
“Kana … kamu bisa belajar …”
“Aku sudah berterima kasih untuk pekerjaan yang ini dulu mas!”
“Baiklah … baiklah … aku mengajakmu kesini bukan untuk membuatmu marah … maafkan aku.”
Mendengar ucapan maaf Mahesa, Kana segera menundukan wajahnya. Ia memang cepat luluh jika Mahesa sudah meminta maaf.
“Bagaimana kabar ibu? Apa hutangnya sudah lunas?” tanya Mahesa perlahan takut menyinggung perasaan Kana.
Kana mengangguk perlahan.
“Sudah mas, semua sudah lunas. Ibu sudah menjual semuanya bahkan tabungan pensiunannya pun sudah digunakan untuk melunasi hutang. Kami sudah tidak punya apa-apa…” jawab Kana jujur.
“Seharusnya dulu kamu terima uang dariku, Kana … supaya kalian gak kesusahan seperti ini…”
“Sudahlah mas … kenapa kita bahas ini lagi?! Terus terang aku takut berada berdua denganmu seperti ini … kamu sebagai apa saat ini? Suami orang? Mantan tunanganku? Atau atasanku?!” ucap Kana sedikit panik ketika merasa Mahesa bersikap kembali seperti dulu sama mereka masih bersama.
“Kana, aku sudah bercerai!” ucap Mahesa sambil menahan tubuh Kana yang berusaha untuk berdiri.
“Aku sudah bercerai setelah Marlon lahir … tapi hubungan kami masih tetap baik dan berkomitmen untuk membesarkan Marlon bersama. Wina saat ini juga sudah memiliki kekasih,”
“Trus kamu mau apa dari aku mas?”
Ditanya seperti itu Mahesa terdiam dan menatap Kana yang memandangnya dengan pandangan sedih. Ada rasa yang tak selesai di hatinya pada Kana. Rasa itu masih ada dan semakin terasa sejak ia bertemu Kana tetapi entah mengapa lidahnya kelu untuk mengajak Kana kembali bersama. Perempuan ini sudah terlalu terluka olehnya. Mahesa merasa sangat bersalah.
“Oh Kana … aku gak tahu! Aku gak tahu!” ucap Mahesa sambil menarik Kana kedalam pelukannya.
Kana segera mendorong tubuh Mahesa cepat dan segera berdiri meninggalkan Mahesa lalu berjalan sempoyongan keluar ruangan.
Mahesa segera menyambar tangan Kana ketika perempuan itu membuka pintu dan terlihat Jiyo berada didepan pintu ruangannya sendiri tampaknya baru saja datang.
Pandangan 3 orang itu segera bertemu dan tampak terkejut satu sama lain. Jiyo merasa sedikit terkejut melihat adegan Kana yang keluar dari ruangan Mahesa dengan terburu- buru dan Mahesa yang tengah mengejar Kana sampai menyambar tangannya.
“Ada apa kalian?” tanya Jiyo heran seolah melihat pasangan tengah bertengkar.
“Oh gak ada apa-apa pak. Bapak mau masuk, saya ikut … mau ambil laptop…” ucap Kana cepat menghampiri Jiyo dan segera berdiri disamping atasannya.
Jiyo segera membuka pintu dengan pandangan heran pada Mahesa dan Kana tetapi ia tak ingin memperpanjang pertanyaan karena ia tak terlalu suka mengurusi urusan orang lain. Rasa penasaran itu hanya ia simpan dalam hati.
“Kamu sudah sehat? Wajahmu masih pucat,” tanya Jiyo sambil mengeluarkan laptop Kana dari dalam lacinya.
“Lumayan pak … yang penting saya sudah bisa beraktivitas …” jawab Kana cepat sambil menerima laptopnya.
Jiyo segera meletakan punggung tangannya di kening Kana seolah memeriksa suhu tubuh asistennya itu.
“Masih hangat! Lebih baik hari ini kamu setengah hari saja dulu. Kalau kamu sakit lagi malah repot nanti … saya gak mau tidur di karpet kamu lagi… banyak debu…” keluh Jiyo dan membuat wajah Kana memerah karena malu.
“Ih, kamar saya gak sekotor ituuu… lagian bapak ngapain tidur di karpet?!”
“Ya nungguin kamu! Kamu pikir dengan kondisi kamu yang sampai gak sadarkan diri karena lemas, panas dan dehidrasi begitu bisa ditinggalkan begitu saja?! Kalau ada apa-apa pasti saya yang disalahkan, dianggap kasih kamu kerjaan berat banget! Tapi coba nanti kamu cek di online harga vacuum cleaner berapaan … saya belikan satu. Gak bagus pake karpet berdebu begitu…”
“Bapak!”
“Apa?”
“Gak gitu! Aku gak sejorok ituu…” rengek Kana spontan tak kuasa menahan malu disindir oleh atasannya.
“Loh, aku tuh hidungnya sampe merah karena alergi debu kambuh … Kana… Kana… hei … saya masih bicara ditinggal…”
Kana segera berjalan tak peduli keluar dari ruangan Jiyo. Ia merasa malu dan sebal. Kadang ia merasa senang dengan keterbukaan Jiyo tapi ia tak ingin Jiyo seterbuka itu sehingga membuatnya merasa sangat malu.
Sedangkan Jiyo jadi senyum sendiri. Kana tak menyadari ini pertama kalinya ia menunjukan ekspresi aslinya pada Jiyo. Gadis kaku seperti robot itu akhirnya punya ekspresi malu dan marah.
Bersambung.