PART 10 - Iblis dalam Hidup Lara

1510 Words
"Wah - benar! Lara! Anakku!" kata pria di depannya dengan tawa khasnya. Lara menggenggam tangannya dengan erat. Tak mau pria di depannya tahu bahwa sekarang tubuhnya bergetar dengan hebat. Lara mengatupkan rahangnya dengan kuat. Sebisa mungkin menyembunyikan wajah ketakutannya. Pria di depannya itu tak tak boleh tahu bahwa Lara masih takut padanya. Tak boleh. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lara dengan nada kaku. Pria itu tertawa lagi. Memperlihatkan giginya yang tak terawat. Lara sebisa mungkin tak menatap wajahnya dan pandangannya teralihkan pada kuku-kukunya yang menghitam. Seketika Lara menjadi mual. Tangan itu mengingatkan Lara pada masa lalu. Semua yang pria itu lakukan pada ibunya - dengan tangannya yang kuat dan kotor itu. "Kau? Bagaimana bisa kau memanggil ayahmu sendiri dengan 'kau'? Sudah lima belas tahun kita tak bertemu, bukankah harusnya kau senang melihat ayah lagi?" kata pria itu. Lara mengerjapkan matanya. Kenapa pria itu harus kembali sekarang? Di saat Lara sudah hidup dengan baik. Di saat perlahan Lara bisa menghidupi adik dan ibunya dengan baik. Lara akan segera lulus dan ia tak bisa pindah ke luar kota lagi untuk bersembunyi dari pria itu. Kenapa harus sekarang pria itu datang? Pria itu menatap Lara dengan tertarik. "Lihatlah dirimu! Kau sudah besar. Rupanya kau bisa hidup dengan baik tanpa ayah. Kau terlihat bahagia," kata Marlin - ayah Lara. "Bisakah kau pergi dari sini? Aku tak ingin bertemu denganmu lagi," kata Lara dengan tatapan memohon. Pria berseringai tajam. "Kau tak ingin bertemu denganku?" Pria itu tertawa sambil mendekati Lara. "Tapi bagaimana ini? Ayah sangat ingin bertemu denganmu. Ayah sudah mencarimu selama lima belas tahun. Ayah tak bisa meninggalkan kalian lagi, apalagi ibumu. Dimana ibumu sekarang?" tanya Marlin. Tubuh Lara semakin menegang ketika ayahnya menanyakan ibunya. "Apa yang akan kau lakukan? Aku akan memanggil polisi jika kau melakukan hal macam-macam, Marlin!" kata Lara. Marlin menarik rambut Lara ke belakang. "Kau sudah berani memanggilku dengan kurang ajar. Apa ibumu yang jalang itu yang mengajarimu? Kau harusnya tak mengikutinya kabur dan tetap bersamaku, Bocah!" teriak Marlin. Lara melirik rumahnya, takut teriakan Marlin terdengar oleh ibu atau adiknya. Marlin menyadari itu dan langsung tertawa keras. "Oh, jadi ini rumah baru kalian?" tanya Marlin - terlihat sangat senang. Marlin melangkah mendekati rumahnya dan Lara menahannya dengan sekuat tenaga. "Jangan coba-coba, Marlin! Jangan coba-coba!" teriak Lara. Marlin mengangkat jari telunjuknya ke depan bibir Lara. "Jangan keras-keras, ibumu akan mendengarnya," kata Marlin dengan senyum jahatnya. Lara menahan tangan ayahnya itu dengan kuat. "Jangan coba-coba masuk ke dalam! Jangan coba-coba menemui ibu lagi! Jangan coba-coba!" "Ayah tahu, Sayang. Ayah tak akan melakukannya." Marlin mengusap lembut rambut Lara yang baru saja ditariknya dengan kuat. "Rupanya kau tak ingin aku bertemu dengan ibumu lagi. Menarik sekali. Kau sudah besar, Lara. Dulu kau hanya bersembunyi di kamarmu dan tak pernah peduli dengan ibumu. Tapi sekarang kau bertingkah seperti pahlawan, hah?" Lara tak menanggapi perkataan ayahnya dan menyeretnya ke gang di samping rumahnya. Lara mendorong pria itu dengan sekuat tenaga. Tapi ia tahu tenaga Lara tak akan pernah cukup untuk menyakiti pria itu. Lara masihlah gadis lemah seperti dulu. "Jangan pernah menemui ibu dan Daran lagi! Atau aku akan benar-benar melaporkanmu pada polisi!" ancam Lara. "Kau akan melaporkanku pada polisi?" Marlin mendekati Lara dan mendorongnya ke dinding gang. "Lalu apa kau tahu apa yang akan ayahmu ini katakan pada polisi? Aku akan memberitahu polisi bahwa ibumu pernah menusukku dengan pisau lima belas tahun yang lalu!" Marlin menaikkan kaos yang ia pakai. "Kau lihat ini?! Inilah yang ibumu lakukan padaku! Silakan saja laporkan aku ke polisi! Kita bisa tahu siapa yang akan dipenjara! Aku atau ibumu!" kata Marlin. Lara melihat luka bekas tusukan di perut bagian kiri ayahnya itu. Lara mengingatnya dengan jelas - malam ketika ibunya tiba-tiba menusuk ayahnya yang sedang mabuk dan menarik Lara keluar dari rumah. Itu adalah malam ketika mereka melarikan diri dari ayahnya. Lara berpikir ayahnya meninggal, tapi satu tahun kemudian ayahnya menemukan mereka. Pria di depannya itu memukuli ibunya lagi sampai terluka parah. Lara pun membawa ibunya dan Daran pergi. Bersembunyi dari kota ke kota setiap tahun. Bersembunyi dari ayahnya yang masih mencarinya. Hingga ia sampai di kota ini. Lara sudah tinggal di sini selama tiga tahun karena ia tak bisa meninggalkan kuliahnya. Dan Lara tak bisa pergi lagi seperti dulu. "Apa yang kau inginkan? Apa yang bisa aku lakukan agar kau tak menganggaku dan ibu lagi? Apa yang harus aku lakukan?!" teriak Lara dengan putus asa. "Panggil aku Ayah!" Lara menelan ludahnya. "Ayah!" panggilnya. Lara bisa memanggil iblis di depannya itu ayah ribuan kali asalkan dia pergi dari hidupnya. Memanggilnya ayah bukanlah hal sulit - asalkan pria itu pergi secepatnya. Namun pria itu hanya tertawa. "Sayangnya, bukan itu yang harus kau lakukan! Tapi aku suka mendengar kau memanggilku ayah lagi." Marlin mengelus wajah Lara dengan lembut. "Aku lihat kau turun dari mobil mewah. Mobil itu persis yang dipakai bos di tempatku berjudi. Laki-laki yang mengantarmu tadi pasti orang yang sangat kaya. Aku yakin hanya dengan melihat wajah dan mobilnya," kata Marlin. Kening Lara berkerut, "Apa yang kau katakan?" "Bukankah kau ingin melakukan sesuatu agar aku tak mengganggumu lagi. Inilah yang harus kau lakukan. Beri aku uang 500 juta! Sekarang juga!" kata Marlin dengan seringainya. "Darimana aku dapat uang 500 juta? Aku tak memiliki uang sebanyak itu, Marlin!" ujar Lara. "Tapi pacarmu punya! Laki-laki yang mengantarkanmu tadi pasti punya! Mobilnya berharga miliaran! 500 juta pasti uang kecil baginya!" "Dia bukan pacarku," kata Lara. "Kalau begitu goda dia! Goda dia sampai jadi pacarmu!" Lara mengusap air matanya yang turun. "Aku tak mau melakukan itu." "Kalau begitu aku akan menemui ibumu," kata Marlin sambil melangkah menuju rumah Lara. Lara menahan tangan ayahnya itu. "Bisakah kau meninggalkan kami?! Bisakah kau membiarkan kami hidup dengan baik! Aku tak pernah meminta apapun padamu! Aku hanya meminta kau pergi dari hidupku dan ibu! Tak bisakah kau melakukan itu?!" teriak Lara. Marlin merapikan rambut Lara. "Aku akan melakukan itu, Lara. Tapi kau harus memberiku uang lebih dulu. Semua uangku habis di tempat judi itu. Aku harus membalas orang-orang yang mengambil uangku! Aku akan menang dan aku akan mengganti uangmu. Bahkan bisa dua kali lipat. Aku bisa memberimu 1 Miliar. Apa kau tak percaya padaku?" Lara menggeleng. "Aku tak butuh 1 Miliar. Aku tak akan memberimu uang sepeserpun! Karena aku memang tak memiliki uang, Berengsek!" "Karena itu aku menyuruhmu menggoda laki-laki tadi, Lara. Kenapa kau sangat bodoh?! Kau bisa menggodanya dengan mudah! Kau cantik! Dia pasti akan bertekuk lutut di depanmu jika melihatmu telanjang. Coba saja!" Lara menatap ayahnya tak percaya. "Kau gila!" "Berikan uang 500 juta dan aku akan pergi selamanya. Itulah kesepakatan kita. Aku akan menunggu satu minggu, kalau kau tak memberikanku uang itu, aku akan menemui ibumu dan kalau perlu - aku akan melaporkan perbuatannya padaku dulu ke polisi," kata Marlin tak main-main. Lara mendorong ayahnya dengan kuat. "Lebih baik kau bunuh saja aku, Marlin! Bunuh saja aku! Jangan sentuh Daran dan ibu lagi! Lampiaskan saja padaku! Apa yang ingin kau lakukan? Kau bisa memukulku, menamparku, mencekikku atau apapun yang kau inginkan, Psikopat! Lakukan saja padaku!" Rahang Marlin mengeras dan laki-laki itu mencengkeram leher Lara dengan kuat. Mendorong tubuh perempuan itu ke dinding dan menatap tajam matanya. Air mata mengalir membasahi pipi Lara. Ingatan masa kecilnya terulang kembali di tengah napasnya yang tersekat. Apa seperti ini yang dirasakan ibunya setiap hari? Kenapa Lara tak pernah membantu ibunya dulu? Kenapa Lara hanya diam di kamar meskipun ibunya berteriak kesakitan? Kenapa Lara tak pernah keluar dan melempar aquarium kecilnya ke kepala pria di depannya ini? Kenapa ia tak melemparkan batu ke kepala pria ini ketika ia tidur? Kenapa ia tak membunuh pria di depannya ini saat ia memiliki kesempatan dulu? Jika ia melakukannya, pria ini tak akan datang ke kehidupannya lagi dan merusak hidup yang Lara bangun dengan susah payah, kan? Tidak, kan? "Da-sar Gi-la!" kata Lara dengan suara tercekat. Perkataan Lara membuat cengkeraman di leher Lara semakin kuat. Lebih kuat dari yang dilakukan Damian tiga hari yang lalu. Lebih kuat dan Lara lebih bisa merasakan napasnya menghilang perlahan. Merasakan tubuhnya melemas dan saat Lara berada di ujung kegelapan itu - Marlin melepas tangannya dan membuat Lara hidup kembali. Menghirup udara sebanyak mungkin hingga dirinya tersedak. "Itulah yang akan aku lakukan jika kau ingin aku melampiaskannya padamu! Apa kau yakin bisa mengatasinya?! Kalau bisa, ikut dan tinggallah denganku, Anak Manis! Tinggalkan mereka dan ikut denganku. Kau berani?" tanya Marlin. Tidak. Lara tak berani. Lara memilih mati daripada tinggal dengan iblis di depannya ini. Lara tak akan tinggal dengannya atau membiarkannya bertemu dengan adik dan ibunya lagi. Tidak akan. "Kau tak berani kan? Karena itu bawakan saja uang 500 juta untukku. Itu pilihan paling mudah. Bukankah kau pintar mencari uang?" kata Marlin sambil menjauh dari Lara. Pria itu berjalan ke arah rumah Lara dan memperhatikan rumah itu dengan senyum kecil di wajahnya. Pria itu pergi sambil menunjuk rumah Lara. Seperti memberitahu Lara bahwa ia akan mengawasi rumah itu. Lara jatuh ke tanah setelah pria itu menghilang dari hadapannya. Menangis di tempat itu sendirian sebelum masuk ke rumah. Setidaknya ia beruntung karena Daran dan ibunya sudah tidur - hingga mereka tak tahu kalau Lara pulang dengan keadaan menangis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD