PART 7 - Damian Lavingston

1821 Words
"Saya senang akhirnya bisa bertemu dengan Anda, Tuan Damian. Saya tak mengira kita sungguh-sungguh mendirikan gedung paling tertinggi di negara ini. Wah... 100 lantai. Melihatnya saja membuat kulit saya merinding," kata pria tua keturunan China di depannya. "Anda benar-benar arsitek terbaik di negera ini. Tuan Gerald pasti bangga memiliki anak seperti Anda," sahut salah satu dari investor di depannya. Damian meminum kopi hitam di depannya. "Saturday Hotel tak akan berdiri tanpa uang dari kalian semua. Harusnya saya yang berterima kasih," kata Damian. Investor di depan Damian tersenyum, lalu berdiri. "Saya masih ingin berbincang dengan anak muda cerdas seperti Anda, tapi saya harus segera pergi. Masih ada rapat yang harus saya hadiri. Dua minggu lagi akan ada pesta pembukaan, kan? Saya yakin Lavingston Grup akan membuat pesta termewah tahun ini. Saya nantikan undangan dari Anda," kata pria paruh baya itu lalu pergi meninggalkan Damian, diikuti oleh investor-investor lain yang juga pamit pada Damian. Setelah mereka semua pergi, Damian berdiri dan mendekati Lara yang duduk di kursi belakangnya. Perempuan itu menyandarkan kepalanya di dinding kaca restoran itu. Matanya terpejam. Menyadarkan Damian bahwa ia membiarkan Lara menunggunya selama berjam-jam sejak tadi. Damian bahkan tak memberinya makan sejak siang. Damian menarik kursi di samping Lara dan duduk di sana cukup lama. Matanya tak bisa berpaling dari wajah Lara. Damian menyentuh ujung rambut Lara yang menutupi kening perempuan itu. Ujung jarinya tak sengaja menyentuh kulit wajah Lara yang halus. Membuat mata perempuan itu mengerjap dan akhirnya terbuka. Damian segera menjauhkan tangannya. Laki-laki itu berdeham dan salah tingkah. "Bisa-bisanya kau tidur saat bekerja?" tanya Damian - berusaha terlihat marah. Lara langsung mengusap wajahnya dan merapikan rambutnya. "Maaf, Pak. Saya tak tahu kalau Pak Damian sudah selesai," kata Lara. Damian hanya diam dan Lara berkata lagi. "Apa kita pulang sekarang, Pak? Saya harus mengantarkan Anda ke kantor atau langsung ke rumah?" Damian tertawa kecil. Mungkin tawa pertamanya selama beberapa bulan ini. "Siapa yang mengantarkan siapa? Aku tak ingin diantarkan oleh perempuan yang sedang sakit seperti kau," kata Damian. Lara terlihat bingung. "Kalau begitu, saya pulang lebih dulu. Saya rasa Anda bisa pulang sendiri," kata Lara sambil berdiri. Damian menahan tangan perempuan itu. "Sudah malam. Makanlah lebih dulu," kata Damian. Lara mengangkat alisnya tak percaya. "Maksud Bapak, makan di sini?" "Lalu dimana lagi? Apa kau tak mau makan di sini?" Lara melihat sekelilingnya. Itu adalah salah satu restoran baru di Saturday Hotel. Restoran bintang lima yang hanya mampu didatangi oleh para pejabat dan artis karena butuh kartu anggota untuk makan di sana. Lara tak akan bisa masuk jika tadi pagi Damian tak mengajaknya. "Tak perlu, Pak. Saya makan di rumah saja," kata Lara. "Aku bukan hanya mengajakmu makan. Tapi aku ingin kau mencoba masakan di sini. Sebagai pegawai Lavingston Group, kau harus mencoba masakan restoran yang ada di hotel kita, kan?" Lara masih berdiri bingung dan Damian segera menarik tangannya untuk duduk kembali di kursinya. "Jangan banyak berpikir. Kau sangat beruntung karena bisa makan berdua denganku," kata Damian. Lara tak membalas perkataan Damian. Perempuan itu meletakkan tasnya di kursi sebelahnya ketika pelayan datang. Damian memesan banyak menu tanpa bertanya pada Lara. Mereka hanya diam hingga makanan datang dan Lara makan dengan lahap. Damian tersenyum di sampingnya. Sama sekali tak menyentuh makanannya karena perhatiannya sudah teralihkan semuanya ke Lara. "Apa kau begitu lapar?" tanya Damian. Masih dengan makanan di mulutnya, Lara menatap Damian dengan mata bulatnya. Perempuan itu mengangguk dan kembali fokus pada makanannya. Sama sekali tak peduli pada Damian. Hingga perempuan itu tersedak dan Damian segera memberikannya minum. "Makanlah pelan-pelan," kata Damian. Mata perempuan itu berkaca-kaca. Tak mampu menatap Damian karena malu. Perempuan itu melihat semua makanan di depannya yang sudah habis dan menyembunyikan wajahnya. "Maaf, saya menghabiskan semuanya. Saya tak menyisakan makanan untuk Anda," kata Lara. Damian tersenyum. "Tak masalah -" Perkataan laki-laki itu terputus ketika melihat seorang wanita masuk ke dalam restoran itu. Wanita itu melihat Damian dan tersenyum kecil. Damian mencengkeram gelas di depannya dengan erat. Sedangkan tangannya yang lain menyentuh bekas luka di pinggir matanya. Tubuh laki-laki itu kaku dan pandangannya mengabur - hilang bersama ingatan masa lalu yang tiba-tiba memenuhi kepalanya. Membuat tangan Damian bergetar dan laki-laki itu hampir menjatuhkan gelasnya jika Lara tak memanggilnya. "Apa Anda mengenal wanita itu?" tanya Lara ketika melihat wanita paruh baya itu mendekati mejanya. Damian tak menjawab karena wanita paruh baya itu sudah berdiri di depan Damian dan mencium kedua pipinya. Seketika kebencian mengalir ke seluruh darah Damian. Laki-laki itu menggertakkan giginya, berusaha tak berteriak karena bersentuhan dengan wanita itu. "Tak kusangka aku bertemu dengan anakku di sini." Wanita itu berbisik di telinga Damian. "Kau sulit sekali ditemukan, kenapa tak menghilang sekalian saja dari dunia ini?" bisiknya yang membuat Damian menggigit bibirnya sampai memutih. Wanita paruh baya itu menjauhkan wajahnya. "Wah, siapa ini? Perempuan yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Apa kau kekasih anakku?" tanya wanita itu. Lara berdiri dan membungkuk pada wanita itu. "Saya Lara - mahasiswa magang di kantor Pak Damian," ucap Lara. "Oh - aku kira kau pacar Damian, tapi ternyata hanya anak magang." Wanita itu melihat piring-piring kosong di meja. "Menarik sekali. Baru kali ini aku melihat Damian makan dengan orang lain," kata wanita itu sambil melirik Damian yang masih kaku tak bergerak. Lara melihat Damian dengan bingung. Sedangkan wanita yang mengaku ibu Damian itu masih tersenyum kecil, seperti menikmati apa yang ia lakukan. Sesekali wanita itu menatap Lara dengan tatapan menilai. Membuat Lara tak nyaman dan perempuan itu segera mengambil tasnya. "Kalau begitu, saya ke toilet dulu. Silakan kalau Pak Damian dan Nyonya Lavingston ingin mengobrol," kata Lara lalu pergi dari meja itu. Damian melihat kepergian Lara seperti ia melihat kepergian nyawanya sendiri. Laki-laki itu menatap kosong wanita di depannya. Wanita itu yang semula tersenyum ramah, kini memasang wajah tajam - penuh dengan kebencian. "Menarik juga perempuan itu. Dia meninggalkan kita untuk mengobrol." Wanita itu tertawa seolah ada yang lucu. "Memangnya apa yang bisa kita obrolkan? Apa kau ingin mengobrol dengan ibu tirimu ini?" tanya Estela Lavingston. Damian menatap tajam wanita di depannya. Sorot kebencian memenuhi matanya. Namun wanita di depannya itu sama sekali tak terganggu. "Jangan menatapku seperti itu. Orang yang melihat akan berpikir hubungan kita tak baik." Estela meletakkan tas mewahnya di meja. "Kau terlihat dekat dengan perempuan tadi. Siapa dia?" tanya Estela. Damian menggebrak meja dan berdiri. Tak mengatakan sepatah kata pun pada wanita di depannya. Laki-laki itu berjalan dengan cepat keluar restoran. Sebelum keluar, Damian mendengar Estela mengatakan sesuatu. "Kau terlihat baik-baik saja, Damian. Padahal kau tak boleh seperti itu," ucap Estela di tengah restoran yang sedang sepi itu. Damian tak menanggapi perkataan Estela dan masuk ke lift. Laki-laki itu bersandar pada dinding lift. Menggulung lengan kemejanya. Setetes keringat jatuh dari pelipisnya. Damian merasa sesak - dadanya sangat sesak. Ruangan sempit lift itu membuatnya semakin kehabisan napas. Laki-laki itu menatap nomor lantai satu -persatu. Menghitungnya dengan sisa napas yang mendesak di dadanya. Tiga Dua Satu Tingg! Pintu lift terbuka. Damian keluar dan mengambil napas dengan brutal. Laki-laki itu melihat seorang perempuan berjalan keluar dari lobi hotel dengan langkah kecilnya. Satu demi satu melangkah menjauhi Damian. Langkahnya terlihat ringan, berbanding terbalik dengan suara napasnya. Suara napas Damian yang memburu dan mencekat dadanya dengan kuat. Membuat Damian terengah-engah. Tanpa Damian sadari - kakinya melangkah sendiri mendekati perempuan itu. Damian tahu itu bukan pilihan yang baik. Damian tak tahu apa yang akan ia lakukan pada perempuan itu dengan keadaannya yang seperti ini. Tapi ia tahu pasti - itu bukan sesuatu yang baik. Dan yang paling penting - Damian tak ingin perempuan itu melihatnya seperti ini. Seperti orang yang kehilangan dirinya sendiri. Seperti biasa. Sangat kacau. Satu demi satu - ingatan jahat menguasainya. BrakkkkkkKKKK! Tangan Damian menarik tubuh perempuan kecil itu dan melemparnya ke dinding di belakangnya. Damian mendekati perempuan yang terkejut itu dan mencengkeram tangannya. Menahan tubuhnya di dinding dengan kuat. Menyentuh leher kecilnya yang rapuh dan menggenggamnya hingga perempuan itu kesulitan bernapas. Dengan itu - dengan itu - mungkin saja perempuan itu bisa merasakan apa yang ia rasakan sekarang, kan? "Pak - Da-mian - apa yang An-da la-ku-kan?" ucap perempuan itu terputus-putus. Damian tak menjawab dan semakin memperkuat cengkeramannya di leher kecil perempuan di depannya hingga wajahnya memutih dan pucat. "Pak - Pak Da-mian..." lirih perempuan itu dengan bibir bergetar. Damian melepaskan tangannya dari leher Lara dan meninju dinding di belakangnya. "Siapa yang menyuruhmu untuk pergi?! Siapa yang menyuruhmu meninggalkanku berdua dengan wanita tadi?! Siapa?!" teriak Damian. Lara terbatuk beberapa kali. Perempuan itu menatap laki-laki di depannya dengan kening berkerut. "Apa yang Anda katakan?" tanyanya dengan penuh amarah. "Kau! Kau tak boleh pergi begitu saja seperti tadi Lara! Tak boleh sebelum aku menyuruhmu pergi! Jangan melakukan apapun yang tak aku minta! Kau tak boleh!" kata Damian dengan tajam. Bibir Lara terbuka tak percaya. Perempuan itu menarik tangannya dari cengkeraman Damian dan menampar laki-laki itu. Tamparan yang cukup keras hingga membuat tubuh Damian kaku. Laki-laki itu memegang pipinya yang memerah. Sedangkan Lara sudah penuh dengan amarah. "Kau berani menamparku?" tanya Damian. "Kenapa aku tak berani? Kau benar-benar gila! Aku sudah menduga sejak pertama kali bertemu denganmu di klub malam dulu! Tapi aku tak menduga kau segila ini! Atas alasan apa kau memperlakukanku seperti ini, hah?" ujar Lara tak terima. Damian mengurung Lara dengan kedua tangannya. "Katakan sekali lagi apa yang kau katakan," ucap Damian dengan suara berat. "Kau gila!" kata Lara cepat. Sekilas ingatan membuat Damian seketika menegang. "Kau gila!" "Dasar anak gila! Kau melakukan ini karena kau ingin ibu mati? Kau ingin membunuhku? Seperti semua orang? Kau gila, Damian?" "Kau gila!" "Gila!" Damian menutup matanya - berusaha menghilangkan ingatan itu dari kepalanya. Laki-laki itu menyandarkan kepalanya di bahu Lara. Dan entah kenapa - hangatnya napas perempuan itu menyentuh lehernya dan membuat ingatan itu perlahan menghilang. Seperti sihir yang menyembuhkan Damian. Perlahan. "Lepaskan aku, Pak Damian," lirih Lara sambil menjauhkan kepala Damian dari bahunya. Damian menatap mata Lara dalam. Keningnya berkerut. Tak tahu apa yang baru saja ia lakukan. Damian membuat mata perempuan di depannya itu berkaca-kaca dan bibirnya bergetar. Damian melirik tangan Lara dan menemukan bekas kemerahan di pergelangan tangannya. Apa yang baru saja ia lakukan? Pada perempuan yang tak ia kenal itu? Dengan lemah, Damian menjauhi Lara. Sedangkan perempuan itu terlihat menahan tangisnya. Perempuan yang tak takut sedikitpun ketika orang menodongkan pisau di depannya itu - menahan tangis karena Damian. Perempuan itu menatap Damian dengan ketakutan. "Aku - Aku -" Damian tak menyelesaikan perkataannya karena Lara sudah berlari meninggalkannya. Laki-laki itu pun mengejarnya. Menarik tangannya yang merah sekali lagi - menyakitinya sekali lagi. "Maaf -" "Sebenarnya apa salahku? Apa meninggalkanmu dan ibumu untuk berbicara adalah hal yang salah? Kenapa kau melakukan ini padaku, Pak Damian? Apa yang salah denganmu?" kata Lara. Damian menundukkan kepalanya. "Aku hanya - aku hanya -" Lara menunggu Damian menyelesaikan perkataannya, tapi laki-laki itu hanya diam. Lara pun menarik tangannya dari Damian dan meninggalkan laki-laki itu dengan langkah cepat. Sedangkan Damian hanya melihat Lara semakin jauh - semakin kecil - dan menghilang. Seperti rasa bersalah dan penyesalan yang semakin jauh mengusiknya malam itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD