PART 6 - Bekas Luka

1677 Words
Damian masuk ke apartemennya. Sedikit terkejut ketika melihat sepasang sepatu berada di depan pintu apartemennya. Damian mengerutkan keningnya ketika mendengar suara televisi. Laki-laki itu masuk dan melihat seorang pria duduk di sofa ruang tamu. Meskipun dari belakang, tapi Damian sudah mengenalinya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Damian dengan kesal. Pria itu berbalik. Mulutnya penuh dengan roti yang Damian simpan di dapur. "Kenapa kau sudah pulang? Biasanya kau pulang pagi hari," kata pria itu. Damian membuka jasnya. "Jangan basa-basi dan katakan padaku kenapa kau kemari," kata Damian. "Hei! Jangan memperlakukanku seperti itu. Apa butuh alasan untuk seorang kakak mengunjungi adiknya? Aku hanya ingin memastikan kau hidup dengan baik," kata pria itu. Damian menghela napas. "Jangan bercanda. Kalau tak ada apa-apa, kau pulang saja. Aku lelah dan ingin tidur," kata Damian. "Tak biasanya kau pulang secepat ini. Apa tak ada perempuan di bar yang menarik perhatianmu malam ini?" tanya pria itu. Damian menatap tajam kakak tirinya itu. Pria berusia 35 tahun itu masih mengenakan jas formal. Menunjukkan kalau dirinya juga baru pulang dari kantor. Damian tak heran kenapa kakaknya itu bisa masuk apartemennya. Seluruh gedung di sepanjang jalan itu adalah miliknya. Ia bisa dengan mudah menyuruh karyawan untuk membukakan pintu apartemen Damian. "Apa perkataanku benar? Itulah kenapa aku menyuruhmu segera menikah, Damian. Agar kau tak mencoba semua wanita di kota ini dan berakhir mengidap HIV. Sebaiknya kau segera periksa ke dokter apakah kau bersih atau tidak," kata Anatta - kakak tiri Damian. Damian masuk ke kamarnya dan menatap tajam Anatta yang masih mengikutinya. "Apa kau akan terus di sini?" tanya Damian. "Sudah kubilang, kau harus segera menikah agar ada yang mengurusmu di apartemenmu yang besar ini. Kau tak bosan pergi ke klub malam itu setiap hari? Perempuan-perempuan di sana bahkan tak memuaskan," kata Anatta. "Pergi, Anatta!" bentak Damian. "Ayah memintaku untuk mencarikanmu istri, Damian," kata Anatta. Kening Damian berkerut. "Apa?" tanyanya sambil mencengkeram pintu kamarnya. "Dia sudah tak tahan melihatmu bergonta-ganti wanita." "Sejak kapan dia peduli dengan kehidupanku?" tanya Damian dengan kasar. "Ayah selalu peduli padamu, Damian. Karena itu ia menyuruhku memilihkan perempuan untukmu. Aku tahu kau tak akan suka dengan perempuan yang aku pilihkan, karena itu temukan sendiri perempuan yang ingin kau nikahi," kata Anatta. "Kau tahu aku tak akan menikah dengan siapapun," kata Damian dengan serius. "Kau tetap akan menikah. Kalau kau tak membawa perempuan yang ingin kau nikahi di pesta ulang tahun Ayah dua minggu lagi, aku akan membawa perempuan untukmu. Atau kau ingin ibuku yang memilihkannya? Tidak, kan?" Damian mengatupkan rahangnya kuat. "Aku tak akan datang ke pesta ulang tahun ayahmu," kata laki-laki itu. "Damian -" "Katakan pada orang tuamu kalau aku tak akan datang!" kata Damian sambil menutup pintu kamarnya, tapi Anatta lebih dulu menahannya. "Damian, kau sudah berumur 32 tahun. Sudah waktunya kau bertemu perempuan baik-baik dan menikahinya. Apa kau tak ingin jatuh cinta dan menikah dengan orang yang kau cintai?" tanya Anatta. "Jatuh cinta?" tanya Damian dengan senyum kecil. "Damian kau harus melupakan masa lalumu. Kau tak bisa terus terperangkap dengan semua itu," kata Anatta dengan sedih. Damian mendorong d**a Anatta hingga laki-laki itu terbentur dinding di belakangnya. "Jangan berbicara seolah kau mengetahui semuanya! Jangan bersikap seolah kau peduli padaku! Jangan masuk ke apartemenku tanpa izinku! Dan tolong - jangan berpikir kita adalah saudara, Anatta! Karena aku tak pernah menganggapmu sebagai saudaraku!" kata Damian lalu menutup pintu kamarnya. Terdengar gedoran di pintu kamarnya. "Aku sudah memperingatimu, Damian. Jangan salahkan aku jika Ayah datang ke sini dan langsung membawakan calon istri untukmu!" kata Anatta. Damian membaringkan tubuhnya di ranjang. Menutup matanya dengan tangannya. Beberapa detik kemudian, terrdengar pintu tertutup, menandakan Anatta sudah pulang. Damian pun memejamkan matanya. Meskipun tahu ia tak mudah tertidur, Damian masih berharap ia bisa segera terlelap, melupakan semua hal membosankan yang terjadi pada dirinya hari ini. Hidup Damian selalu membosankan- hingga ia berpikir tak apa jika Tuhan mengakhirinya sekarang. * * * * * Damian memasuki kantor sambil membawa segelas kopi hangat. Semua orang di kantor berdiri ketika dirinya masuk. Damian melirik Lara yang ikut berdiri. Tangannya masih terbalut perban. Perempuan itu menunduk ketika tahu Damian memperhatikannya. Dengan cepat, Damian masuk ke ruangannya, tak membalas satu pun bawahannya yang menyapanya. Laki-laki itu sedang membuka laptopnya ketika pintu ruangannya terbuka. Asistennya - Sasha - masuk dengan wajah gugup dan pucat. "Pak Damian, pukul sepuluh Anda harus datang ke pembangunan Saturday Hotel dengan para investor baru," kata Sasha sambil memberikan dokumen pada Damian. Damian mengangguk. "Baiklah. Segera siapkan mobil," kata Damian sambil membaca dokumen dari Sasha. "Tapi, Pak -" Sasha tak menyelesaikan perkataannya. Membuat Damian mendongak dan menatapnya bingung. "Ada apa?" tanyanya. "Bagaimana kalau Lara yang menemani Bapak hari ini? Saya harus ke rumah sakit karena adik saya baru saja kecelakaan," kata Sasha dengan penuh permohonan. Damian berdiri dan Sasha otomatis mundur selangkah. Setengah takut pada atasannya itu. Padahal Damian hanya membuka tirai jendela ruangannya. "Oke. Kau pergi saja," kata Damian. "Baik, Pak Damian. Terima kasih banyak," ucap Sasha lalu keluar dari ruangan Damian. Damian melihat jam tangannya dan segera keluar dari kantornya. Melihat Damian keluar, Lara langsung berdiri dan membawa tasnya. Perempuan itu mengikuti Damian yang berjalan cepat keluar dari kantor. Hingga ketika Damian masuk ke lift, Lara masih diam di depan lift. Ragu apakah ia akan ikut masuk atau tidak. "Kau tak masuk?" tanya Damian. Lara mengangguk dan segera masuk. Perempuan itu berdiri di pojok, sejauh mungkin dari Damian. "Bagaimana tanganmu?" tanya Damian. "Baik. Saya tak sempat mengatakannya kemarin, saya ingin berterima kasih karena Bapak sudah menolong saya," kata Lara. Damian hanya diam dan keluar dari lift ketika mereka sampai di parkiran. Lara yang menerima kunci mobil Damian dari Sasha langsung membukakan pintu belakang untuk Damian. "Apa yang kau lakukan?" tanya Damian. "Sasha menyuruh saya menyetir untuk Pak Damian," kata Lara. "Kau pikir aku akan membiarkanmu menyetir untukku dengan tanganmu yang seperti itu?" Lara melihat tangannya. "Tangan saya tak apa-apa. Saya masih bisa menyetir." Damian mendorong tubuh Lara dengan ringan dan masuk ke kursi depan. Laki-laki itu menutup pintu mobil dan membuka jendelanya. "Kenapa kau masih berdiri? Masuklah! Kau tak lihat ini sudah jam berapa?" tanya Damian. Lara langsung masuk dan duduk di samping Damian. Perempuan itu kesusahan memasang sabuk pengaman dan Damian membantunya. Ketika mendekat, Damian mencium aroma memabukkan seperti percampuran vanila dan bunga mawar. Menyadari dirinya terlalu dekat, Damian segera menjauh. Tak menyangka jika berdekatan dengan perempuan itu membuat dadanya berdesir hebat. Sesuatu yang Damian yakin adalah hal yang buruk. "Terima kasih," ucap perempuan itu lirih. Damian tak menjawab. Laki-laki itu membuka jasnya dan melemparnya ke kursi belakang. Masih merasa sesak, laki-laki itu membuka dasinya dan melepas kancing kemejanya hingga dadanya sedikit terlihat. Damian bisa melihat perempuan di sampingnya meliriknya tak nyaman. Dan itu membuat tubuh Damian semakin panas. Tatapan perempuan di sampingnya sudah cukup untuk membuat tubuhnya panas. Perempuan itu berdeham kecil. "Sepertinya itu jam tangan kesukaanmu. Kau selalu memakainya," kata Lara sambil memperhatikan jam tangan yang hampir diambil oleh perampok kemarin. "Jangan sok tahu," kata Damian. Lara tersenyum kecil dan tak berkata sepatah kata pun lagi. Perempuan itu hanya menatap jendela. Seperti tak bosan melihat kendaraan yang berlalu lalang di sampingnya. Damian yakin ia akan pusing jika melakukan itu. Perempuan itu hanya diam, tapi itu sudah cukup untuk membuat Damian penasaran. Sebenarnya apa yang dipikirkan perempuan itu? Kenapa perempuan itu seakan menatap jauh ke depan, seperti ada di dunianya sendiri? Kenapa Damian melihat kerapuhan dari wajah datarnya selama ini? "Ceritakan hal tentangmu," kata Damian tiba-tiba. Lara berbalik menatap Damian. Alisnya yang lebat terangkat. "Apa maksud Bapak?" Damian menelan ludahnya. "Tidak jadi." Damian menggeleng, tak tahu kenapa dirinya begitu gugup. "Maksudku - ceritakan tentangmu. Kenapa kau tak terlihat takut pada perampok kemarin?" tanya Damian. "Kenapa Bapak ingin tahu?" tanya Lara. Damian diam beberapa detik. "Lupakan saja apa yang kukatakan," kata Damian dengan sedikit kesal. Lara kembali menatap menembus jendela mobilnya. "Bapak tak akan suka dengan cerita saya. Dan saya tak suka bercerita. Saya lebih suka mendengarkan cerita orang lain," kata Lara. "Kalau begitu, kita tak akan pernah saling bercerita. Karena aku pun tak suka bercerita pada orang lain," balas Damian. Lara tersenyum kecil. "Sayang sekali, padahal saya ingin tahu sesuatu," kata Lara. "Apa yang ingin kau ketahui?" tanya Damian. Lara menunjuk bekas luka di pinggir mata Damian. Bekas luka yang kini tak terlihat karena tertutupi oleh rambutnya yang sedikit panjang. "Kenapa Bapak menyembunyikan bekas luka itu?" tanya Lara. "Aku pikir kau akan bertanya bagaimana aku bisa mendapatkan bekas luka itu. Bukankah bagaimana aku mendapatkan bekas luka lebih menarik daripada alasan aku menyembunyikannya?" Lara menggeleng. "Aku tak suka mendengar cerita sedih orang lain. Aku lebih penasaran kenapa Bapak menyembunyikannya. Apa karena bekas luka itu membuat Bapak terlihat jelek?" tanya Lara. Damian melirik perempuan di sampingnya itu. Tak menyangka ada orang yang mengomentari penampilannya. Selama ini tak ada yang mengajukan pertanyaan konyol seperti itu padanya. "Aku tak pernah merasa jelek meskipun wajahku penuh bekas luka, Lara," kata Damian. Kedua kali Damian menyebut nama perempuan itu. Dan sekali lagi - Damian merasa nama itu terasa indah saat ia ucapkan. "Lalu kenapa Bapak menyembunyikan? Biarkan semua orang tahu. Memangnya apa yang salah dari bekas luka? Itu membuktikan kalau Bapak orang yang kuat. Menyembunyikannya seperti itu, bukankah membuat orang yang pernah menyakiti Bapak selama ini tambah senang? Karena Bapak merasa terganggu dengan bekas luka itu," kata Lara panjang lebar. Damian tak menyangka perempuan itu akan mengatakan hal seperti itu. Seperti ia tahu semua hal tentang Damian, padahal perempuan itu tak mengenalnya sama sekali. Damian menatap Lara dan perempuan itu menghindari tatapannya. "Maaf, sepertinya saya terlalu berlebihan," katanya tanpa berani menatap Damian. "Kau memang berlebihan," balas Damian. "Saya tak bermaksud -" "Tak apa. Jangan membahas hal itu lagi." Lara semakin menunduk dan mereka saling diam. Damian mempercepat laju mobilnya. Membelah mobil-mobil di depannya - seperti tak memiliki rasa takut. Perkataan Lara terus terngiang-ngiang di kepalanya. Damian tak pernah membiarkan siapapun membicarakan tentang bekas lukanya. Tak pernah ada satu orang pun yang berani. Hingga perempuan di sampingnya itu - perempuan yang baru mengenalnya itu - menyentuh hal-hal yang Damian sembunyikan dalam hidupnya. Hal-hal yang tak pernah Damian biarkan orang lain menyentuhnya. Dan anehnya - Damian sama sekali tak terganggu dengan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD