Setelah Dion mengambil laptop khusus yang Ia pergunakan untuk menyimpan file-file foto yang penting, Ia kemudian memindahkan semua data gambar hasil pemotretan Dara sesi apartemen sore ini.
“Buset, password tumpuk-tumpuk begitu, Mas.”
“Ha-ha ... antisipasi aja, Non. Bukan sombong, tapi kalaupun ada yang bisa mengambil laptop ini, siapapun tak akan bisa mengakses file apapun di dalamnya.”
“Nggak bisa dipakai juga, dong.”
“Ha-ha-ha ... dibuka aja nggak bisa, apalagi dipakai. Iya, hanya fisik layarnya aja yang bisa dipandengin. Karena hanya bisa dihidupkan tanpa mampu membuka menu apapun di dalamnya.”
“Emang, isinya penting banget, Mas?”
“Bagiku, semua data di dalamnya penting. Isinya hasil karya dari awal aku berkarir. Tentu saja merupakan foto-foto pilihan yang punya kriteria sendiri. But, this is my copyright.”
“Hmm ... benar. Karena kadang-kadang orang nggak punya etika untuk membajak karya orang lain.”
“Itulah yang aku maksud. Negara ini belum bisa menjamin dan melindungi sepenuhnya hak cipta seseorang. And ... yes, selesai kita copy. Kamu siap untuk melihatnya?”
“Hi-hi ... sebetulnya malu, Mas. But, its oke.”
“Atau kamu mau lihat sendiri aja?”
“Enggak-enggak, aku mau ditemani Mas Dion. Sekalian kasih kritik juga nanti kalau ada pose yang kurang bagus.” Dara menolak untuk melihat foto-foto itu sendirian saja.
“Baiklah ... tapi kayaknya kita perlu mempersiapkan diri dulu biar betah lama di depan laptop.”
“Apa itu?”
“He-he ... minuman, dan tentu saja camilan. Biar kita betah nanti. Kamu mau minum apa?”
“Apa aja, Mas. Kalau bisa yang dingin. Gerah,” berkata demikian, gadis itu mengibas-ngibaskan bagian depan lingerie yang tetap dipakai sejak sesi foto berakhir.
“Hmmm ... Alkohol? or ... eits, kamu masih di bawah umur, kan?”
“Ihh ... apaan ... Dara udah 21, Mas. Udah dewasa lahir dan batin.”
“Oke. Cocktail, or sesuatu yang lebih ringan?”
“Mungkin sebaiknya bir aja.”
“Oke, Aku juga berpikir begitu. Sebentar, diambil dulu dari kulkas.”
Akhirnya sesajian telah terhidang di meja ruang santai. Bir kaleng dingin dan juga kacang sebagai cemilannya. Mereka lesehan di karpet dengan beralaskan bantal sebagai alas duduk sambil membahas satu persatu foto yang terpampang jelas di layar laptop.
Dengan alasan gerah meski AC sudah dinyalakan, lampu ruangan itu di stel redup. Hal tersebut juga agar mereka lebih fokus pada gambar monitor di atas meja.
Tentu saja Dara mendapatkan banyak masukan positif tentang gestur dan juga ekspresi dari ahlinya. Dion yang telah malang melintang dalam dunia fotografi modeling memang dinilai sukses dalam mengarahkan gaya untuk menggali inner beauty sang model. Feeling-nya telah terasah sempurna, sehingga tak percuma bila Ia menjadi tukang bidik andalan agency besar dan vendor-vendor terkenal lainnya.
Karena hasil foto yang bagus adalah merupakan gambar dengan banyak cerita, maka penghayatan dan ekspresi dari seorang model foto, sangatlah mutlak diperlukan.
Frame demi frame foto mentah yang belum di edit, mereka lihat dan kritisi bersama. Sampai pada akhirnya, lembar-lembar sesi terakhir pose yang diambil dalam kamar mulai dibuka. Bagi Dion, ternyata melihat sosok langsung dihadapannya dengan mengamati sebuah foto menjadi berbeda sekali artinya.
Di depannya kini, terpampang dengan jelas sesosok tubuh muda yang demikian memesona dan murni dalam kepolosannya. Pemandangan tersebut terlihat begitu memikat dan mendebarkan hatinya.
Mereka tak lagi berkomentar banyak, melainkan hanya menatap layar dan memandangi sosok hasil bidikan kamera yang seakan mampu menghantarkan aura magis. Dara begitu cantik dan natural, sementara sorot matanya yang tampak malu-malu menghadap kamera, justru seakan mengundang lelaki manapun untuk mendekat dan memberinya pelukan perlindungan bagi sebuah jiwa yang rapuh.
Berkali-kali Dion terpaksa harus mengalihkan perhatiannya pada kaleng bir dingin yang diharapkan mampu mendinginkan hatinya juga.
Demikian pula dengan Dara, wajahnya mulai memerah jengah, entah akibat minuman tersebut atau karena malu dengan gambar-gambar yang dengan vulgar memperlihatkan seluruh tubuh polosnya. Hanya suara ceklak-ceklik mouse laptop yang terdengar dalam ruangan itu. Gambar demi gambar berganti, dan semua itu semakin membuat gerah tubuh Dion.
Kemudian, sebuah hal yang Ia takutkan terjadi begitu saja. Dara yang berada disampingnya, tiba-tiba saja merangkul sebelah lengan Dion dan dengan nyaman menyender pada bahunya.
“Kamu ngantuk?” Dion mencoba menetralisir dengan pertanyaan ketika debar dadanya semakin bergemuruh.
Yang ditanya hanya menjawab dengan sebuah gelengan. Namun akibatnya ternyata menjadi lebih menggoda lagi. Rambut harus tebal yang dikuncir kuda, menyapu pipi Dion dan menghantar keharuman yang lebih menggoda angannya.
Tak tahan lagi oleh sebuah rasa yang entah bagaimana, Dion memberanikan diri melepaskan sebelah lengannya yang masih dipeluk oleh gadis itu. Kemudian, Ia mengalihkan tangan untuk merangkul pundak Dara.
Tiada kata maupun reaksi penolakan. Merasa lebih nyaman, Dara bahkan kini menyandarkan kepala pada d**a Dion.
“Dara...”
“Hmmm...”
“Are you oke?”
“Yes, I’m fine. Its oke, aku nyaman seperti ini,” jawab Dara lirih.
Dion diam. Ia kembali mengalihkan perhatian pada layar laptop. Namun disana, kembali seraut wajah cantik menggoda dalam sebuah senyum tersipu yang mengguncangkan d**a.
Gadis dalam layar monitor itu tersenyum simpul sambil melirikkan mata padanya, sementara kedua tangan tengah berusaha menutupi bagian tubuhnya yang polos.
Dion terhenyak, spontan Ia mendongakkan kepalanya agar teralih dari semua pemandangan dan perasaan menggoda jiwa.
Namun,
“Mas...”
Dion menoleh pada wajah gadis yang masih berada dalam pelukan. Sang gadis balas menatapnya, kemudian melepaskan diri dari rangkulan tangan sang lelaki yang masih berada di pundaknya.
Dara bangkit dari duduk, lalu berlutut di hadapan Dion sambil meletakkan tangan pada tubuh di depannya. Satu tangan Ia letakkan di pundak, sementara yang sebelah kanan Ia kalungkan pada belakang kepala Dion.
Lalu, wajah cantik itu mendekat dan tanpa ragu mencium bibir Dion yang masih terkesima dengan semua gerakan gadis tersebut.
Sesaat Dion masih tak memberi respon. Namun ketika bibir lembut itu terus menempel dan dengan gerakan canggung mencoba untuk mengecupnya, lama-kelamaan Dion menjadi tergoda. Dengan satu rengkuhan, tubuh yang tengah berlutut itu Ia raih dengan seribu kecamuk di d**a. Lalu bibirnya kini bergerak dan memberi komando untuk menuntun bibir sang gadis yang masih canggung.
Ciuman itu terasa begitu lama dan dalam. Walau untuk pertama seperti tak nyaman, akhirnya Dara menjadi terbiasa dan mengikuti ritme kecup demi kecup yang memabukkan.
Tapi, mendadak Dion melepaskan pagutan bibirnya.
“Ups, Sorry. Maaf, aku jadi lupa diri.”
“Its oke, Mas. Nothing wrong with that.”
“Ini salah, Non. Jangan....”
“Apanya yang salah? Kita sama-sama dewasa. Dan aku menginginkan itu.”
Mata Dion nanar menatap wajah polos yang begitu pasrah. Paras gadis itu memerah, senyumnya terlihat malu-malu. Namun tekad yang terdapat pada sorot matanya mengungkapkan sebuah kesungguhan.
“Why”
“Because, You are the man I have chosen.”
“But, why me?”
“Aku tak memerlukan sebuah alasan lain. Bagiku, Mas Dion adalah orang yang tepat.”
“I’m so sorry, Dara. Kamu masih terlalu muda, dan aku juga belum memikirkan untuk membuat komitmen dengan gadis manapun.”
...