Siapa perempuan itu?
Siapa orang yang menghubunginya malam itu?
Sudah tiga hari semenjak peristiwa perdebatan kecil antara dirinya dan juga Doni, Jenni masih mengingat jelas jika suaminya itu tengah meuduhnya berselingkuh tanpa alasan yang jelas. Di tengah malam dengan segala luapan emosi yang begitu terpancar nyata, seolah-olah dirinya telah melakukan sebuah kesalahab besar yang berdampak ke semua orang.
Penasaran, dia akui hingga saat ini tengah masih penasaran dengan sosok tersebut. Kemarin dia kembali mencoba menghubungi nomor telepon itu lagi, namun sayang nomor itu telah tidak aktif.
“Kalau salah sambung nggak mungkin tau namaku, berarti dia kan lagi dalam bahaya,” ucapnya sendiri sembari memikirkan sosok penelepon misterius itu. “Eh tapi kan nama Jenni nggak cuma aku doang, banyak banget nama Jenni di dunia ini, arghh nggak tau ah bingung.”
Jenni menggaruk kepalanya kasar, dirinya seperti seorang detektif di film anak kecil yang cosplay menjadi seorang detektif. Sangat tidak ahli dalam mendalami peran sebagai seorang detektif, Jenni lebih baik menjadi food vlogger saja yang jelas akan kekenyangan yang dia dapat.
“Sekiranya nggak penting-penting amat di hidupmu Jen, mending ngga usak dipikir deh,” tuturnya mengakhiri perdebatan dengan diri sendiri.
Perempuan yang tengah mencari referensi jurnal untuk membuat skripsi itu selalu menggerutu, menyalahkan semua hal yang ada di sekitarnya. Cahaya matahari yang menusuk mata, berisiknya kota Surabaya yang seolah tidak bisa berhenti dari pagi hingga malam dan sebaliknya, bahkan Rara sang sahabat yang tidak ada disampingnya itu juga dia salahkan karena merekomendasikan kafe dengan konsep panas seperti ini.
“Kafe nih kalau malem sebenarnya bagus, tapi kalau siang panas cuy.”
Seorang pelayan menghampiri mejanya, memberikan beberapa makanan dan cemilan untuk dirinya. Walaupun kecil namun makannya banyak, Jenni mampu menghabiskan semua ini jika dia sedang dalam mood yang baik.
“Makasih ya Mas,” ucap Jenni kepada pelayan.
Jenni berdecak pelan mengetahui fakta jika dirinya belum meminta ijin untuk pulang telat, dirinya ini butuh me time dari segala aktifitas kampus dan merangkap menjadi seorang istri. “Aduh Jen tadi kamu belum ijin suamimu yah, ijin dulu daripada di marahin.”
Di dering ke empat Doni telah mengangkat telepon darinya. “Assalamualaikum Mas, aku ijin pulang agak telat ya Mas, masih ngerjain skripisi di kafe.”
“Waalaikumsalam, di kafe mana?”
“Ini aku di Mentari Kafe daerah Kenjeran,” ucap Jenni dengan melihat nama kafe yang ada di depan pintu masuk.
“Kenapa jauh banget?” tanya Doni di seberang sana.
Jenni sudah menebak jika pertanyaan ini akan muncul di benak Doni mengingat daerah Kenjeran lumayan jauh dari area kampusnya. “Iya soalnya lagi grand opening Mas, aku kepo tempatnya makanya kesini.”
“Shareloc aja nanti Mas nyusul.”
“Oke, makasih ya Mas.”
Jenni menjauhkan telepon dari telinganya, menunggu Doni mematikan telepon terlebih dahulu dan baru bisa tenang. Entahlah selama ini memang dia tidak berani untuk mematikan telepon terlebih dahulu, aura kepemimpinan dari sang suami telah mendominasinya.
“Ini ijin suami kayak ijin panglima TNI aja yah, harus deg-degan banget.”
Senyuman tipis menghiasi wajah Jenni mendengar ucapannya sendiri, terkadang dirinya ini terlalu berlebihan menyikapi suatu hal, bisa dibilang lebay.
Brukk
“Eh?”
Atensi perempuan itu teralihkan saat melihat anak kecil yang berada di depannya terjatuh, darimana datangnya anak ini? Jenni dengan cepat membantunya, membersihkan sisa debu yang menempel di lutut anak itu dengan seksama. “Adek nggak papa kan?”
Ya Allah cakep banget ini anak, ucap Jenni dalam hati.
“Nggak papa kok, Ma.”
Eh?
Jenni seolah kehilangan fokus hingga salah mendengar ucapan anak kecil di depannya, Ma?
“Sini kamu duduk dulu di sini, jangan lari-lari nanti jatuh lagi loh,” ucap Jenni merapikan rambut makhluk kecil di depannya. “Kamu mau kemana sih kok sampai lari-lari hm?”
“Dika mau ngasih bunga ke Mama,” ucap anak kecil itu dengan menyodorkan sebuah bunga mawar kepada Jenni.
“Mama?” tanya Jenni dengan tidak percaya, ia menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri menatap kehadiran sosok lain di sebelahnya. Tidak ada siapapun, dirinya dipanggil mama?
“Dika mau ngasih bunganya ke Kakak?” tanyanya sekali lagi memastikan. Jenni melihat dengan jelas anggukan mantap dari anak kecil itu, meletakkan bunga ke tangannya dan memeluknya erat.
“Bunga ini spesial buat Mama, Dika sayang banget sama Mama. Dika seneng banget bisa ketemu Mama, Mama seneng gak ketemu Dika?” tanya anak itu dengan mendongakkan kepala menatap Jenni.
Sosok perempuan yang ditatap oleh Dika hanya bisa diam, hatinya bergemuruh hebat melihat tatapan sayang yang ditujukkan oleh anak ini. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini, ini social experiment atau apa? Di mana kamera tersembunyi itu? Di mana para kru yang merekam ini semua?
“Mama?”
Jenni tersadar dari lamunannya, tidak bisa disembunyikan bahwa mata indah itu telah berkaca-kaca. Panggilan penuh harap yang tertuju kepadanya seolah-olah meminta sesutu yang baik pula. Apa yang harus dia jawab?
Bahkan dia saja tidak mengenal Dika!
“Ka-Kakak juga sayang Dika,” ucap Jenni dengan terbata-bata.
“Mama.”
Seolah mengerti dengan pembenaran yang diucapkan Dika, Jenni kembali mengulang ucapannya yang tadi. “Ma-Mama juga sa-sa-sayang Dika,” ucapnya dengan susah payah.
Jenni tidak mengerti apa yang sedang terjadi, dirinya seolah tersihir dengan tatapan polos Dika yang benar-benar mengharapkan kehadirannya. Jenni ingin mengucapkan jika dia bukan ibunya, namun dia tega.
“Dika udah besar Ma, Dika udah nggak nakal lagi kok. Dika bakal nurut apa kata Mama, jangan tinggalin Dika ya Ma,” pinta bocah tampan dengan pandangan sulit dijelaskan. “Kata Tante. Dika nggak bisa lama-lama sama Mama, Dika harus belajar lagi biar bisa bareng Mama. Mama jangan ninggalin Dika yah, Dika pengen terus sama Mama.”
Cup
Kecupan ringan menghampiri pipi Jenni, perempuan itu termenung beberapa saat hingga tidak sadar bahwa anak kecil yang tadi memeluknya telah berlari pergi meninggalkannya. Jenni mengimbangi laju lari Dika sang anak misterius, menolehkan memutar badan guna menemukan sosok yang dicari. Bagaikan seekor cheetah yang mampu berlari cepat, Dika menghilang tanpa jejak.
Di tengah kebingungannya itu, dering ponsel menganggunya. Sebuah nomor tidak dikenal kembali menelponnya. Dengan ragu dia menjawab, menunggu sang penelpon untuk berbicara terlebih dahulu.
“Terimakasih atas waktu berharganya Nyonya Jenni, anda memang orang baik. Memang sudah hukum alam jika orang baik akan mendapat orang baik pula, tolong sayangi Dika seperti anak anda sendiri.”