Menjelang pukul tiga pagi, mereka mengakhiri pesta perayaan 'Rangga melamar Indah'. Rangga keluar dari dalam klub dalam keadaan mabuk. Ia pun berusaha meraih ponselnya dari dalam kantong celananya untuk memesan taksi, tetapi ponsel itu terjatuh dari genggamannya saking mabuknya. Sekar yang mendapati ponsel Rangga terjatuh segera mengambil ponsel itu dan memapah Rangga. “Rangga … aku anter pulang, ya,” ujar Sekar.
“Eh, lo siapa?” ujar Rangga yang setengah sadar. Saat ia mendekatkan wajahnya pada wajah gadis itu, barulah ia sadar bahwa orang yang memapahnya berjalan adalah Sekar. “Lepasin gue. Gue gak suka sama lo!”
Sekar tak mempedulikan ucapan Rangga. Ia tetap membawa Rangga ke dalam mobilnya dan Rangga tak sanggup menolaknya karena sedang mabuk berat. Sekar membawa Rangga ke unit apartemennya sebab ia tidak tahu berapa kode unit apartemen Rangga. Membawanya pulang ke rumah orang tua pria itu pun tidak mungkin. Orang tua Rangga pasti akan memarahi putranya itu yang pulang dalam keadaan teler.
Sesampainya di unit apartemen Sekar di bilangan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Sekar membaringkan Rangga di atas ranjangnya. Ia meletakkan tasnya di atas nakas lalu mengikat rambutnya. Ia berencana menghapus riasan dan mencuci muka lebih dulu sebelum tidur. Namun, Rangga menarik tangannya saat ia akan melangkah menuju kamar mandi.
“Sini aja. Jangan pergi,” ujar Rangga dengan suara yang terdengar sengau.
Tentu saja Sekar menuruti kemauan Rangga. Ia tak menolak sama sekali saat Rangga menarik tubuhnya dan terjatuh di atas ranjang. Rangga menciumi wajah dan leher Sekar hingga Sekar mendesah. Bodo amat pada nasib Indah, malam itu Rangga miliknya, pikir Sekar. Tanpa ragu Sekar membalas kecupan itu dan perlahan mereka mulai melucuti pakaian satu sama lain. Satu malam panas mereka terjadi lagi.
***
Sinar matahari yang mulai terik memasuki jendela kamar unit apartemen Sekar. Pantulan sinar itulah yang membangunkan Rangga dari tidur nyenyaknya. Kepalanya terasa sakit saat dirinya tersadar dari malam panasnya. Ia pun terkejut saat mendapati Sekar berada dalam pelukannya. Yang membuatnya lebih terkejut adalah ia mendapati mereka sedang dalam keadaan telanjang di bawah balutan selimut tebal. Rangga pun merutuki dirinya yang mabuk dan malah berakhir meniduri Sekar padahal ia amat membenci gadis itu setelah pernyataan gadis itu yang keberatan pada keputusannya untuk menikahi Indah.
Rangga menyingkirkan tubuh Sekar dari rangkulannya lalu bangkit dari ranjang yang membuat Sekar terjaga dari tidurnya karena merasakan adanya pergerakan. Saat membuka kedua kelopak matanya, Sekar mendapati Rangga bergegas memakai pakaiannya kembali dan panik saat mengetahui jam tangannya menunjukkan hampir pukul 11 siang.
“Rangga, kamu udah bangun. Mau aku buatin sarapan?” tanya Sekar yang masih berada di bawah selimut.
“Enggak. Gue mau pulang,” jawab Rangga cepat.
Rangga pun bergegas meninggalkan unit apartemen Sekar setelah memakai pakaiannya lalu menumpangi taksi untuk kembali ke apartemennya yang berlokasi di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Ia meminta sopir taksi untuk mengebut. Hari itu ia ada janji makan siang bersama keluarga Indah. Sialnya, dini hari tadi ia malah harus berurusan dengan Sekar. Ingin sekali ia langsung pergi ke rumah Indah, tetapi tidak mungkin ia hadir dengan memakai pakaian yang ia pakai semalam saat menemani Indah di pagelaran busana Yunita Djojodiningrat.
***
Sejak pagi, Indah sudah mandi dan berpakaian rapi. Ia mengenakan kaos berwarna pink pastel dan rok berwarna shocking pink. Indah tampak menggemaskan dengan pakaian yang lucu hingga kakaknya menggodanya. “Wadaw, ngapain nih si Patrick Star ada di sini?” celetuk Radit saat Indah turun dari lantai dua rumahnya. Tanpa ragu Indah menendang kaki Radit tanpa rasa bersalah hingga si empunya kaki mengaduh. “Ebuset, adek gue makan apa sih galak bener!”
Hari itu kekasih Indah akan makan siang bersama keluarganya. Indah pun pergi ke area memasak untuk memastikan bahwa hidangan makan siang itu dimasak dengan sempurna dan sesuai selera kekasihnya. Ia juga memastikan semua hidangan ditata dengan sebaik mungkin di atas meja makan. Ira, ratu di keluarga Hadiputro, sengaja memanggil koki ternama untuk memasak di rumahnya hari itu karena calon menantunya akan hadir. Hari itu mereka akan menyantap makan siang di meja makan yang berada di area halaman belakang rumah yang cukup luas untuk mengadakan pesta taman.
Jam sudah menunjukkan hampir pukul satu siang, tetapi Rangga tak jua terlihat batang hidungnya. Indah bersama kedua orang tua dan kakak ke duanya, Radit, sudah bersiap di halaman belakang. Radit pun sudah sedari tadi mengambil foto bersama kucing-kucing kesayangannya sampai merasa bosan.
“Radit, Indah, sini kumpul. Ada yang mau Papa omongin,” ujar Jeno yang sudah duduk di kursi meja makan bersama sang istri.
Indah dan Radit pun segera menempati posisi masing-masing. Dari nada bicaranya, sepertinya akan ada hal penting yang akan disampaikan oleh ayah mereka.
“Papa kan sudah tua. Sudah cukup lelah mengurus bisnis kita. Jadi, Papa akan segera mewariskan jabatan sebagai Direktur Utama ke kalian,” ujar Jeno dengan mantap. Ia berharap anak-anaknya akan berebut untuk mengambil alih kekuasaan itu walau ia yakin Indah maupun Radit tak ada yang mau.
“Aduh, Pa. Papa kan tau kerjaan Radit banyak. Lagipula Radit kan maunya jadi pengacara. Indah aja tuh,” tolak Radit seraya memakan kerupuk yang tersedia di atas meja makan.
“Ih ga mau! Aku mau jadi artis aja. Lagipula, aku kan capek udah ngartis masih harus ngurus bisnis fashion aku juga,” protes Indah.
Jeno pun mengembus napas dengan kasar. Sudah dapat diduga kedua anaknya itu akan menolak. Sejak kecil juga mereka tak bangga dengan perusahaan turun temurun milik keluarga mereka itu. Sebenarnya ia memiliki harapan penuh pada Arjuna, anak pertamanya. Sayangnya, komunikasi mereka kurang baik.
“Ndah, ini pacar kamu jadi dateng ga sih?” tanya Ira.
“Telpon gih. Laper nih gue!” ujar Radit yang ngambek karena perutnya sedari tadi sudah berisik.
Tampak raut wajah Indah yang cemberut. Satu jam yang lalu Rangga sudah meneleponnya dan mengatakan bahwa akan telat datang ke rumah Indah karena ada urusan pekerjaan. Sudah sejak Radit mengambil foto-foto bersama kucing-kucingnya pula Indah mengirimkan pesan singkat pada Rangga untuk segera datang ke rumahnya. Ia khawatir Rangga sedang menyetir sehingga ia ragu untuk menghubunginya lagi.
Dengan hati-hati, mbok Mimin datang menghampiri tuannya di halaman belakang rumah mewah itu untuk mengabarkan adanya tamu yang datang. Bukan tanpa sebab mbok Mimin melakukan hal itu. Dahulu mbok Mimin pernah mendapati tuannya itu marah besar pada sang tamu.
“Maaf Pak, ada tamu,” ujar Mbok Mimin.
“Tuh kan Rangga udah dateng,” ujar Indah dengan senyum semringah karena ia pikir Rangga telah datang. Radit pun bernapas lega karena ia pikir perutnya akan segera mendapatkan haknya.
“Ya sudah, suruh masuk dong tamunya, Mbok,” ujar Jeno.
“B-baik, Pak,” balas Mbok Mimin yang segera ngacir ke ruang tamu untuk mempersilakan sang tamu untuk datang ke halaman belakang rumah.
Sang tamu yang datang bersama sang istri segera mendatangi keluarganya yang sedang bersiap-siap untuk makan siang bersama calon suami dari anak gadis di keluarga itu. Raut wajah riang di wajah keluarga itu mendadak hilang setelah tahu siapa tamu yang dimaksud mbok Mimin. Radit pun menelan ludahnya. Tampaknya makan siang hari itu akan berjalan suram.
“Siang, Pa, Ma,” ujar Arjuna yang datang bersama Mirna, istrinya.
“Duduk,” balas Jeno.
Mirna menganggukkan kepalanya sebagai ucapan salam pada kedua mertuanya. Ira tampak tersenyum, tetapi Jeno hanya diam dan memasang raut wajah tegang. Arjuna pun duduk di antara Mirna dan Radit. Indah dan Radit tampak menyunggingkan senyumnya pada Arjuna dan Mirna dan tanpa mengeluarkan suara karena takut pada ayah mereka yang tidak merestui hubungan kakak dan kakak ipar mereka itu.
“Oke, karena semua sudah datang, ayo kita mulai makannya,” ujar Jeno.
“Lah Pa, Rangga kan belum dateng,” protes Indah.