Chapter 8 – Eh, Kok Canggung, Ya?

1083 Words
Makan siang bersama yang dirancang untuk mengakrabkan diri keluarga Hadiputro pada Rangga Himawan dimulai tanpa kehadiran sang calon menantu laki-laki keluarga itu. Sudah lebih dari satu jam berlalu setelah waktu yang dijanjikan, Rangga tak jua menunjukkan batang hidungnya. Perut Radit yang bersuara membuat Jeno memutuskan untuk segera memulai makan siang hari itu. Diam-diam Indah memandang sebal pada Radit yang cekikikan melihat adiknya itu memasang wajah masam. Gara-gara Radit, rencana Indah siang hari itu terancam batal. Makan siang hari itu berlangsung dengan canggung. Mirna berencana untuk segera pergi dari tempat itu. Ia sadar kehadirannya tidak diterima di keluarga itu. Namun, Arjuna segera menggenggam tangan Mirna begitu Mirna menunjukkan gelagat akan meninggalkan meja makan. “Bagaimana pekerjaanmu Juna?” tanya Ira untuk mencairkan suasana. “Baik, Ma. Mama apa kabar?” ujar Juna bertanya balik. “Baik. Anakmu kenapa gak diajak ke sini?” tanya Ira lagi. Indah pun mendapati kakak iparnya yang duduk tepat di seberangnya terlihat tak nyaman setelah ibunya melontarkan pertanyaan tersebut. “Lagi ada acara ulang tahun teman sekolahnya,” jawab Arjuna. Ia sudah menyiapkan jawaban terbaik versinya. Ia tahu anaknya, Ardana, tidak suka berada di rumah keluarga ayahnya karena sang kakek bersikap sangat dingin padanya. Makan siang kembali berlanjut setenang mungkin. Radit yang sangat kelaparan pun menjadi sungkan untuk mengambil jatah makan cukup banyak. Tiba-tiba saja mbok Mimin kembali lagi. Kali ini dengan tamu yang sudah dinantikan Indah. “M-maaf, semuanya. Saya telat datang karena tiba-tiba klien minta proyeknya diubah,” ujar Rangga dengan gelisah. Ia khawatir kebohongannya akan terbongkar. “Tidak apa-apa, Rangga. Kami paham kamu sibuk. Maafkan kami mulai makan duluan karena dari tadi Radit sudah ribut lapar,” balas Jeno seraya tersenyum semringah menyambut kedatangan calon menantunya itu. Sejujurnya, ia pun ragu Rangga ada pekerjaan mendesak di hari libur. Namun, ia merasa puas karena bisa menunjukkan pada Mirna bahwa orang yang seharusnya berada di keluarganya adalah orang-orang dari kaum kelas atas seperti Rangga Himawan. “Gapapa, Beb. Kita juga baru mulai kok,” ujar Indah seraya tersenyum semringah dan mempersilakan Rangga duduk di sampingnya. Rangga duduk di samping Indah dan berusaha tersenyum ramah pada semua orang agar tidak terlihat canggung. Ia merasakan adanya aura tegang di meja makan itu. Ia khawatir ketegangan itu disebabkan oleh keterlambatannya. Setelah pelayan menyediakan hidangan untuk Rangga, mata Rangga mendapati seorang wanita di samping Arjuna. Ia yakin wanita itu adalah istri Arjuna yang sering kali absen di acara keluarga Hadiputro. Wanita itu tampak manis di mata Rangga. Tak salah Arjuna memilih istri, pikir Rangga. Andai saja wanita itu berasal dari kelas menengah atas, bukan tak mungkin Rangga juga akan mendekatinya. *** Setelah makan siang mereka hari itu selesai, mereka berkumpul di ruang keluarga. Sementara itu, Jeno mengajak Arjuna ke ruang kerjanya. Radit pamit undur diri karena ada janji bermain golf bersama abang-abang kesayangannya di kampus dan di kantor, Yoga dan Arkan. Mirna menunjukkan foto-foto Ardana pada Ira. Ira sangat merindukan cucunya itu. Andai saja suaminya mau membuka hatinya untuk menerima Mirna, ia akan meminta agar Ardana tinggal bersamanya saja di rumah besar itu. Sejak Arjuna keluar dari rumah, serta Radit dan Indah sibuk dengan pekerjaannya, Ira merasa sedikit kesepian. “Maaf banget, Beb. Jujur aku ketiduran. Semalam mereka ngadain pestanya sampai hampir jam tiga pagi,” ujar Rangga sedikit berbisik agar tidak ada orang lain yang mendengar ucapannya pada Indah. “Kurang-kurangin, Beb. Aku tau, kamu mabok kan?” balas Indah dengan raut wajah kecewanya. “Maaf, Beb. Aku akan kurangin minum alkohol demi kamu. Lagipula kan kita akan menikah dan nantinya kita akan punya anak.” “Lakukan itu demi diri kamu. Dengan siapa pun nantinya kamu menikah, kamu harus tetap jaga kesehatan kamu.” “Ih, kok kamu bilang begitu?” protes Rangga. Dahinya mengerut sebagai tanda bahwa ia bingung mengapa kekasihnya bisa mengucapkan hal tersebut. “Kalau aku meninggal duluan, kamu akan rusak kesehatan kamu? Lakukan itu demi kebaikan kamu sendiri, jangan demi orang lain.” “Iya, Beb. Maafin aku, ya. Aku janji akan kurangin alkohol dan pergi ke night club.” Rangga membelai kepala Indah untuk menenangkan gadisnya itu. *** Di dalam ruang kerja pemilik Hadiputro Kimia Group, Jeno dan Arjuna sedang berbicara empat mata dengan sedikit ketegangan. Entah kapan terakhir kali Jeno dan Arjuna berbicara sebagai ayah dan anak. Ayahnya menginginkan Arjuna mengambil kuliah kedokteran dan menjadi dokter, tetapi Arjuna menolak keinginan ayahnya dan memilih kuliah di ilmu komunikasi. Arjuna anak yang pintar. Prestasinya di sekolah mengagumkan. Namun, ia ragu apakah ia dapat menjadi dokter yang pekerjaannya berhubungan langsung dengan nyawa manusia, sedangkan dirinya sedikit merasa takut saat melihat video pembedahan manusia. Ayahnya mencoba mengerti akan ketakutannya dan bernegosiasi agar ia mau mengambil jurusan kuliah di fakultas teknik, entah itu teknik sipil, teknik mesin, ataupun teknik industri. Namun, digital marketing lebih menarik minatnya. Setelah dewasa, Arjuna memilih bekerja di perusahaan lain dan tidak mengandalkan koneksi orang tuanya. Ia ingin tahu apakah dirinya memang benar dapat diandalkan, bukan karena nama besar orang tuanya. Nyatanya, ia berhasil mengandalkan kemampuannya. Kini ia bekerja sebagai Direktur Pemasaran di sebuah perusahaan asing dan bergaji sekitar tujuh puluh juta rupiah setiap bulannya. Setelah dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan anak gadis rekan bisnis orang tuanya, tetapi Arjuna nekat tetap menikahi Mirna, kekasihnya sejak ia bekerja di perusahaan tempatnya bekerja. Jadilah, mereka saling mendiamkan beberapa tahun. Hanya Indah dan Radit tempatnya mencari informasi tentang keadaan kedua orang tuanya. “Juna … Papa mau kamu menggantikan Papa mengurus Hadiputro Kimia, makanya kemarin minta Pak Pardi ke rumah kamu,” ujar Jeno. Pak Pardi adalah sopir pribadinya yang kemarin ditugaskannya menyampaikan pada Arjuna agar datang pada acara makan siang hari ini karena kekasih Indah akan datang. “Papa mau minta tolong ke Juna, tapi nyuruh orang lain ke rumah Juna. Wow!” balas Arjuna dengan menunjukkan seringainya. Jeno mengembuskan napas dengan kasar. Ia masih belum bisa menerima Mirna sebagai menantunya. Bahkan, menerima Ardana saja masih berat baginya. Namun, ia memerlukan Arjuna. “Perusahaan ini sudah turun temurun dari kakek kamu. Apa kamu tega melihat perusahaan kimia kita hancur begitu saja?” “One condition.” “Apa itu?” “Terima Mirna sebagai istri Juna dan menantu di keluarga ini.” Jeno terdiam sejenak. Otaknya berpikir apa ia akan sanggup menerima Mirna, gadis yang dulu dihinanya, untuk menjadi menantu sulungnya sesungguhnya. Namun, Mirna sudah memberikannya cucu. Tak perlu diragukan pula anak siapa yang dilahirkan Mirna. Wajah anaknya benar-benar mirip dengan wajah Arjuna. Jeno pun menganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuan. Tak ada salahnya menerima Mirna di keluarganya, pikir Jeno, karena telah hadir Ardana di antara mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD