Bukan Rama dan Sinta, tapi Bima dan Sinta

2567 Words
Angin ... bawa aku pergi, hingga aku tidak menyakitinya lagi. Demi seluruh langit malam, aku tidak ingin melihatnya menangis lagi. Melewati jalan setapak di sebuah gang, aku menyilangkan kedua tanganku di depan d**a, menahan hawa dingin yang tidak sanggup terhalang jaket kulitku yang sudah menipis. Tentu saja udara masih sangat dingin, waktu baru menunjukkan pukul empat pagi ketika aku keluar dari kontrakanku, sebuah kamar 3x4 persegi yang aku tempati bersama kedua teman baruku. Demi untuk menghemat biaya pengeluaran di Ibu Kota, kami rela tidur berhimpitan hanya dengan beralaskan selembar tikar lusuh. “Brrr ...” bibirku bergetar, musim kemarau yang panjang membuat malam-malam kami terasa dingin, udaranya menggigit menusuk tulang. Dulu, -kenapa beberapa bulan yang lalu terasa bagai sepuluh tahun buatku, sekarang- ketika aku masih tinggal di Magelang, jika malam di musim kemarau seperti ini, aku akan tidur berselimutkan kain tebal dan memeluk Sinta dengan erat. Aku tersenyum ketika seraut wajah manis muncul di benakku, Sinta istriku ... dia adalah wanita yang sangat aku cintai. Namun senyumku menghilang ketika aku mengingat apa yang sudah kulakukan padanya. Tiin ... tin .... Suara klakson angkutan yang cukup nyaring di pagi buta seperti ini membuatku tersadar dari lamunanku. Bergegas aku menaiki angkutan itu, dan duduk di kursi paling belakang. Menunggu beberapa saat hingga angkutan itu berjalan. Saat kendaraan yang kutumpangi melaju pelan, aku menatap kosong keluar jendela. Memperhatikan kesibukan pagi dari kaca jendela. Orang-orang yang berlalu lalang, beberapa pedagang yang mulai membuka kiosnya .... secara tidak sadar, kesibukan itu membawa pikiranku melayang ke masa lalu. “Mau apa laki-laki itu ke rumah kita?” tanyaku dingin, ketika baru pulang kerja dan berpapasan dengan mobil Rama yang keluar dari halaman rumah kami. “Siapa? Rama? Dia hanya mampir. Kebetulan ada tugas di kota ini.” Jawab Istriku lembut, dia menyodorkan segelas teh hangat yang sudah disiapkannya untukku. Tapi aku menampik gelas itu hingga terlempar dan pecah berantakan. Sinta menatapku tak percaya, bibirnya bergetar akibat menahan tangis. Teriakan kondektur yang meneriakkan bahwa tujuan sudah berakhir lagi-lagi menyadarkanku. Masih mendekap tubuhku, aku berdiri dan turun. Berjalan beberapa meter lagi untuk sampai ke pabrik tempatku bekerja. Beberapa teman mendahului langkahku seraya menepuk bahuku. Mereka menyapaku dengan hangat, merasa senasib sebagai buruh pabrik yang harus bekerja keras demi sesuap nasi. Di Magelang, pekerjaanku sebelumnya juga pekerjaan kasar. Sama-sama sebagai buruh di sebuah pabrik. Pendidikan yang hanya sampai SMP tidak memungkinkan aku untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tidak seperti Rama .... Rama mantan kekasih Istriku, Sinta. Dia berasal dari keluarga kaya, mempunyai gelar sarjana S2, dan sekarang menjabat sebagai Manager Keuangan di salah satu perusahaan kontraktor terbesar di Jogja. “Melamun saja kau, Bim.” Tepukan keras pada bahuku dan suara dengan logat batak yang sangat aku kenal membuatku berpaling ke samping. Bang Bonar, salah seorang temanku yang paling sering mengajakku bicara kini sudah berjalan di sampingku. “Bagaimana? Kau betah kerja di sini?” tanyanya. “Yah, betah nggak betahlah, Bang. Namanya bekerja kan harus sabar.” “Betul yang kau bilang itu. Kita harus bekerja keras untuk masa depan kita, kan?” Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku. “Eh, omong-omong, beraaapa kau punya anak?” Tersenyum, aku mengingat wajah-wajah keempat jagoanku. “Empat, Bang. Laki-laki semua.” Jawabku. “Bah, hebat kau ini. Satu lagi lelaki, jadi Pandawa Lima.” Aku tertawa mendengar ucapannya. “Doain aja, Bang. Biar bisa nambah lagi jadi lima.” Gurauku, membayangkan wajah terkejut Sinta jika aku benar-benar mengutarakan niatku untuk memiliki anak lagi. Bang Bonar tergelak mendengar gurauanku. Tawanya teredam suara mesin yang cukup keras saat kita memasuki area pabrik. Kemudian kami menuju tempat masing-masing untuk mulai bekerja. Tempatku bekerja adalah sebuah pabrik tua dengan ruangan-ruangan besar namun minim ventilasi. Membuat ruangan menjadi pengap dan panas meski di luar dingin. Sebagian pekerja yang kesemuanya laki-laki itu membuka kaosnya yang sudah basah kuyup. Pekerjaanku adalah bagian akhir, ketika dimana besi-besi yang sudah selesai diolah dipindahkan dengan alat derek ke lantai atas untuk proses selanjutnya. Jadwal kerja dibagi menjadi tiga shift, seminggu sekali kami bertukar shift. “Bima! Jangan melamun, ayo mulai kerja.” Mandor atasanku berteriak memanggilku, berusaha mengalahkan suara mesin. Tidak ingin kena semprot lagi, aku segera melakukan pekerjaanku. *** Malam sudah sangat larut ketika aku duduk di teras kamar kontrakanku seorang diri. Kedua teman sekamarku sudah masuk dua jam yang lalu, dan kini mungkin sudah terlelap. Aku menghisap rokok dalam-dalam, mengepulkan asapnya perlahan .... “Dek, kembalikan rokoknya.” Kataku ketika Sinta mengambil rokok yang sedang terselip di bibirku saat aku asik menyemir sepatu anak-anakku. Sinta tersenyum dan menggeleng, “Kan Sinta udah bilang, Mas Bima tidak boleh merokok lagi.” ujarnya seraya menyembunyikan rokok itu di belakang punggungnya. Aku memasang wajah memelas, “Kali iniii aja, Dek. Mulut Mas Bima rasanya sepet nih kalau enggak ngerokok.” Rayuku. Sinta tetap menggeleng. “Sinta enggak percaya lagi sama Mas Bima.” Melihatnya tetap bersikeras membuatku gemas, aku menyeringai dan berdiri bersiap menangkap Sinta. Sinta yang melihat gelagatku berbalik dan berlari, tawanya mengisi rumah kecil kami. Aku mengejarnya sambil tertawa juga, kami berkejar-kejaran di dalam rumah. Sampai aku bisa menangkapnya, kemudian  mengangkat dan menggendongnya ke dalam kamar kami yang berdinding bilik. Melupakan rokok yang tadi menjadi permasalahan utama kami. Asap kembali mengepul dari bibirku. Kenangan itu akan selalu menjadi yang terindah dalam hidupku. Kenangan lain menghampiri ingatanku, kenangan yang jauh lebih kelam .... “Tidak ada apa-apa antara aku dan Mas Rama, Mas. Dia Cuma mampir aja.” Gumam Sinta seraya terisak. Aku menatapnya tak percaya, kecemburuan yang menguasaiku membuat darahku bergolak karena amarah. Sama sekali tidak ada rasa kasihan di hatiku meski melihatnya menangis. Yang ada hanya rasa ketidakpercayaan dengan semua ucapannya. Mana mungkin dia hanya mampir ke sini, aku tahu Rama sangat mencintai Sinta. Semenjak berpisah dengan Istriku karena hubungan mereka tidak disetujui orangtua Rama, Rama tidak pernah berhubungan dengan siapa-siapa lagi. sampai sekarang pun dia belum menikah. Itu pasti karena dia masih mengharapkan Istriku. Mengingat itu, kecemburuan kembali menguasaiku. Aku menghampiri Sinta yang terduduk di lantai setelah aku menamparnya tadi, meraih sebagian rambut panjangnya yang sudah kusut, dan menariknya hingga wajahnya terangkat. “Aku tidak percaya.” Geramku, kemudian menghempaskannya kembali hingga ia tersungkur. Lalu aku berbalik dan melangkah lebar menuju dapur. Saat itulah aku mendengar gumaman Sinta. “Kalau Mas Bima kaya gini terus, aku mau berpisah saja.” Langkahku terhenti, tubuhku menegang kaku. Telingaku seakan berdenging mendengar ucapannya. Sontak, aku berbalik dan melihatnya yang sedang berusaha berdiri dalam posisi membelakangiku. Entah setan darimana yang menguasaiku, sebelum Sinta berdiri sempurna, aku sudah berlari ke arahnya dan menendang pinggangnya. Membuat dia kembali tersungkur dan jatuh tengkurap dengan lutut membentur lantai terlebih dahulu. Aku mendengarnya menjerit dan menangis. Geram, aku melempar rokok yang ada di tanganku, menaikkan kedua kakiku ke atas bangku yang kududuki dan menyandarkan punggungku pada dinding. Menatap langit yang gelap tanpa ada cahaya bintang. Di Magelang, aku bisa sepuasnya melihat bintang. Terkadang, aku mengajak Sinta ke belakang rumah untuk menikmati malam. Sinta akan menggelar selimut yang dibawanya, dan kami tiduran di atasnya, menatap bulan yang bersinar penuh atau hanya separuh, dikelilingi kerlipan berjuta-juta bintang. Terkadang, jika malam minggu, keempat buah hati kami akan ikut bergabung bersama kami. Aku meringis pedih mengingat semua itu, menyesali bahwa aku pernah menodai kenangan itu dengan berlaku kasar padanya. Aku belum pernah memukul Sinta sebelumnya, tapi sejak kejadian aku melihat Rama keluar dari rumah kami, kecemburuan yang sangat besar membutakan mataku. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan di rumah kami, meski berkali-kali Sinta meyakinkanku dia tidak melakukan apa-apa. Bahkan Yu Darmi tetangga kami juga mengatakan begitu, Yu Darmi berkata, Rama hanya mampir sebentar, tidak sampai sepuluh menit. Tapi aku mengabaikan semua itu. Berkali-kali aku menyakitinya ... membuatnya menangis. Sampai kejadian terakhir yang membuatku kalap, ketika aku mendengar kata dia ingin berpisah dariku. Tubuhku gemetar mengingat betapa aku telah sangat menyakitinya, menendangnya ... mencekik lehernya yang biasa kucumbu, membuat tubuhnya lebam karena perlakuan kasarku padanya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Yu Darmi tidak berteriak-teriak menghentikanku, membuat warga berkerumun di rumah mungil kami. Aku menginap di hotel prodeo malam itu. Hanya satu malam, karena kemudian Sinta tidak ingin mengadukan masalah itu ke badan hukum. Aku melangkah pelan memasuki kamar puskesmas, melihat dia terbaring lemah di ranjang besi berwarna putih. Dia sedang tertidur. Mendekatinya, aku meringis sedih melihat lebam-lebam biru yang memenuhi wajah dan lengannya. Tak percaya aku yang sudah melakukan itu padanya. Aku mengelus lengannya yang terpasang selang infus, dia membuka matanya, dan mencoba tersenyum ketika melihatku. “Mas Bima ...” gumamnya lirih. Seketika aku menjatuhkan kepalaku ke pangkuannya, menangis sesenggukan memohon ampun padanya. Sinta membelai rambutku dengan tangannya yang bebas, “Aku tidak apa-apa, Mas ...” bisiknya pelan. Aku sama sekali tidak bisa menghentikan air mataku, meremas tangannya merasakan hatiku bagai tersayat sembilu. “Kenapa kau tidak membiarkan aku dipenjara saja, Dek.” Gumamku di sela-sela tangisku. “Mungkin, aku benci sama kamu ketika kamu menyakitiku, Mas. Tapi kamu tetap Bapak anak-anakku.” Aku merasakan tangan Sinta bergetar di kepalaku. “Aku enggak ingin anak-anakku sedih, kalau Bapaknya masuk penjara.” “Seharusnya memang dia masuk penjara!” Aku mendongak mendengar suara ketus yang ada di belakangku.Menghapus air mataku, aku menoleh dan melihat Ibu Mertuaku yang sedang memandangku dengan sengit. “Wis to, Bu.” Bapak Mertua terlihat berusaha menenangkan Ibu. “Was wis, was wis opo to, pak. Bima itu memang seharusnya masuk penjara.” Aku menunduk, “Saya minta maaf, Bu. Saya benar-benar menyesal.” Bisikku pelan tak berani menatap mereka. “Poko’e sesuk kowe ngurus cerai karo Bima, Nduk.” Seolah tidak mendengar permintaan maafku, Ibu mengultimatum keputusan itu pada Sinta. Aku menubruk kaki Ibu mertua, berlutut di bawahnya, “Ampun, Bu. Kulo boten purun cerai kalih Sinta, kulo tresna Sinta, Bu.” “Alaaahh ... tresna ko diantemi.” Ucapan Ibu Mertua benar-benar mengena hatiku. Suara kentongan yang terdengar sayup-sayup dari pos ronda menandakan malam sudah semakin larut. Tapi aku masih duduk dan menyesali semua yang sudah kulakukan pada Sinta, hingga ia membenciku, dan ingin berpisah denganku. Aku mengusap sudut mataku dengan punggung tanganku, mencegah air mata agar tidak turun lagi. Air mataku tidak ada artinya dengan luka yang sudah kutorehkan pada Sinta. Aku hanya berdiri di depan pintu kamar, bersandar pada sampingnya, melihat sinta yang sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. Dan ketika dia mulai menutup ritsleting tasnya, aku tidak bisa menahan diri lagi.Aku berlari menghampirinya dan memeluk kakinya, menangis sesenggukan seperti anak kecil yang akan ditinggal pergi Ibunya. “Aku tidak ingin pisah, Dek. Tolong maafkan aku.” Sinta hanya terdiam. “Kamu jangan pergi, biar aku yang pergi. Aku akan ke Jakarta, cari kerja di sana.” Ujarku seraya terisak. Aku benar-benar tidak merasa malu menangis di hadapannya, pun ketika air mata dan ingusku membasahi kakinya. “Aku tidak akan pulang sampai kamu memaafkanku. Tapi, tolong ...  jangan minta cerai dariku.” Sinta hanya diam saja, sama sekali tidak menanggapi ucapanku. Aku hanya merasakan tangannya yang saling meremas, bergetar hebat. Aku di sini sekarang, menjauh dari orang-orang yang kucintai. Berjuang untuk mendapatkan kembali cinta dari Sinta, Istriku. Aku kembali menatap langit, masih gelap seperti saat kulihat tadi. Gelap seperti kehidupanku yang jauh darinya. Apakah akan selamanya menjadi gelap? Kalau tidak ... sampai kapan aku mampu bertahan .... *** Angin ...  jangan ceritakan tentang kisah Rama dan Sinta .... Ceritakan tentang Bima dan Sinta, yang mengisi seluruh langit malam dengan air mata dan tawa mereka. 2 bulan kemudian. Siang yang sangat panas ketika aku memulai shift siangku. Menggantikan teman-teman seperjuangan yang sudah terlihat kelelahan. Teriakan dan gelak tawa mengiringi pertukaran shift, berbaur dengan suara mesin yang terdengar kasar. “Bima!” Aku menoleh dan melihat Mandor atasanku berlari mendekat ke arahku. Aku berhenti dan menunggunya, “Ada apa, Pak?” tanyaku sopan. Pak Mandor mengeluarkan sesuatu dari tas pinggang yang selalu berada di pinggangnya, dan menyodorkan sebuah amplop padaku. “Bukannya  kemarin saya baru gajian ya, Pak?” gumamku tak mengerti. “Hush! Ini bukan gajianmu. Kamu dapat surat, tadi orang kantor yang ngasih ke saya.” Jelas Pak Mandor. “Surat? Dari siapa Pak?” “Mana kutahu. Nih, baca sendiri.” Pak mandor menyerahkan amplop putih itu padaku. Aku mengelap kedua tanganku dengan kaos yang kupakai dan menerima amplop tersebut, membolak-baliknya hingga aku menemukan nama pengirimnya. Wajahku langsung sumringah membaca pengirim surat itu. Dari Sinta. Aku mendongak dan tersenyum pada Pak Mandor yang masih memperhatikanku. “Dari Istri saya Pak, terimakasih ya.” Pak Mandor mengangguk anggukkan kepalanya, “Oh, Istrimu. Ya sudah.” Gumamnya sebelum berlalu meninggalkanku. Aku merasa tidak sabar untuk membaca surat dari Sinta, duduk di atas tumpukan besi, aku memyobek ujung amplop dengan hati-hati. Lalu mengeluarkan suratnya perlahan. Saat membuka lipatan kertas surat tersebut, selembar foto jatuh ke lantai, aku membungkuk dan memungutnya, tersenyum bahagia ketika melihat fotoku bersama Sinta dan keempat anak kami di sana. Lalu aku mulai membaca surat dari Sinta .... Mas Bima, Sudah tiga bulan sejak Mas Bima pergi, Sinta banyak berpikir ulang. Mengingat kembali kenangan-kenangan indah yang pernah kita lewati bersama ... rasanya itu baru saja terjadi kemarin. Sinta merindukan masa-masa saat bersama Mas Bima. Mas Bima, Setiap orang pernah melakukan kesalahan, dan setiap orang berhak untuk dimaafkan. Berbekal kalimat itulah aku ingin Mas Bima kembali bersama kami. Istri dan anak-anakmu. Pulanglah, Mas ... kami merindukanmu. Aku merasa tak percaya dengan yang aku baca, membacanya ulang dan mengulang lagi, namun isinya tetap sama. Sinta ingin aku kembali. Tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku, sudut mataku terasa basah. Senyum lebar tak bisa hilang dari wajahku. “Sintaaa ... akuu puulaaang ....” Nekat, aku berteriak memanggil namanya. Mengundang perhatian pekerja lainnya. “Bimaaa...! Gila kauuuu ...!” Bang Bonar yang melihatku berseru seraya tertawa. “Biaariinnn ....” Balasku seraya melambai lambaikan kertas yang kupegang pada Bang Bonar. Saat itulah aku melihat ekspresi Bang Bonar berubah, terlihat sangat ketakutan, tangannya menunjuk ke atasku. Aku mengangkat bahuku tak mengerti ... dan ketika aku mendengar teriakan-teriakan lain bernada khawatir, aku mendongak ke atas .... Besi berbentuk balok panjang hasil olahan pabrik tempatku bekerja, meluncur deras ke arahku .... .............................. *** Suasana di sebuah pertigaan jalan terlihat ramai menjelang siang. Para pedagang asongan berseliweran dari mobil yang satu ke mobil yang lain untuk menjajakan dagangannya. Seorang penjual koran meneriakkan judul terhangat dari koran dagangannya, berharap pembeli tertarik untuk membeli korannya. “Berita hangat ... berita hangat.” teriak penjual koran tersebut. Seorang laki-laki muda yang merasa jenuh karena terjebak kemacetan, memanggil penjual koran tersebut. Laki-laki itu mengambil selembar koran dan menyerahkan uang puluhan ribu kepada penjualnya, lalu membaca judul berita di halaman utama. SEORANG BURUH PABRIK DARI MAGELANG TEWAS TERTIMPA BESI Bekasi (15/9) seorang buruh pabrik asal Magelang tewas tertimpa besi seberat 100 kg. Alat derek yang digunakan untuk mengangkat besi tersebut rupanya sudah terlalu tua sehingga tidak kuat menahan beban besi tersebut, sehingga engselnya terlepas dan menjatuhi seorang pekerja bernama Bima. Pihak pabrik mengatakan hal itu adalah murni karena kecelakaan. Tapi pihak yang berwajib tetap menyelidiki kasus tersebut. Diduga, itu adalah keteledoran dari pihak pabrik karena masih menggunakan alat kerja yang sudah tidak layak pakai. Laki-laki muda yang membaca berita tersebut bergumam sendiri, mengutuk pihak pabrik yang menyebabkan kejadian itu sampai terjadi, lalu dia melihat foto korban yang di pasang di koran. Laki-laki bernama Bima itu masih muda, mungkin seumuran dengannya. Pandangan laki-laki muda itu beralih pada gambar di sebelah foto korban. Sebuah foto yang diambil dari kamera amatir, mungkin kamera handphone. Foto itu hanya menggambarkan tangan si korban yang memegang selembar kertas dan foto yang sudah terpercik darah. END
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD